MK Gelar Sidang Perdana Uji Materi Pasal Penghinaan Presiden di KUHP
Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur penyerangan kehormatan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk membatalkan pasal-pasal terkait penyerangan kehormatan presiden dan wakil presiden serta penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal-pasal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP tersebut dikhawatirkan akan membungkam suara kritis masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang diambil pemerintah atau lembaga negara.
Permohonan uji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP diajukan oleh Fernando Manulang, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Dina Listiorini, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, sejumlah mahasiswa, dan salah satu pemilik platform digital yang fokus pada persoalan hukum. Sidang perdana uji materi KUHP itu digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/1/2023) ini.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo itu, kuasa hukum pemohon, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 218 Ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 Ayat (1) dan Pasal 241 Ayat (1) KUHP. Menurut pemohon, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebenarnya tidak diperlukan. Sebab, di dalam KUHP baru, sudah termuat pasal penghinaan maupun pencemaran nama baik pada umumnya untuk individual warga negara.
Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 juga menjamin adanya perlindungan hukum yang adil, yang mengandung makna siapa pun warga negara tanpa memandang status, jabatan, agama, suku, status sosial atau harta kekayaan diperlakukan sama serta adil, tidak membeda-bedakan latar belakang.
MK memang pernah memutus perkara yang berkenaan dengan Pasal 218 Ayat (1) UU No 1/2023 terkait dengan penghinaan presiden dan wakil presiden. Namun, ada perkembangan terkini, yakni bahwa saat ini merupakan era 4.0 atau era teknologi informasi.
Hal ini dipertentangankan dengan presiden yang merupakan nama jabatan untuk suatu organisasi perusahaan atau negara. Presiden tidak termasuk sebagai orang. ”Apabila seseorang memiliki suatu jabatan, jangan ditempatkan setara dengan orang dengan meminta tidak boleh dihina. Jabatan tidak memiliki perasaan sehingga sangat tidak etis jika meminta untuk dipersamakan dengan orang,” kata Zico.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, MK memang pernah memutus perkara yang berkenaan dengan Pasal 218 Ayat (1) UU No 1/2023 terkait dengan penghinaan presiden dan wakil presiden. Namun, ia mengingatkan ada perkembangan terkini, yakni bahwa saat ini merupakan era 4.0 atau era teknologi informasi.
”Bahkan ada beberapa negara yang sudah menginjak era 5.0. Di era yang demikian berbeda dengan era ketika MK memutus (perkara penghinaan terhadap presiden/wapres). Era sekarang ditandai dengan istilah baru yang dikenal dengan disrupsi teknologi. Di era disrupsi teknologi, ada dampak negatif yang luar biasa, yaitu berkembangnya ujaran kebencian, hoaks, dan berkembangnya hal-hal yang sebetulnya salah, tetapi dianggap kebenaran atau disebut era post truth,” katanya.
Ia mempertanyakan kemungkinan hal tersebut memengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang akhirnya memutuskan tetap mempertahankan pasal penghinaan presiden, kekuasaan umum dan lembaga negara. Sebab, dampak negatif dari disrupsi teknologi bisa berakibat sangat buruk dengan maraknya ujaran kebencian di jagad maya, tak sekadar kritik yang konstruktif dan positif.
”Muncul influencer-influencer yang mempunya follower yang banyak, tetapi asal ngomong tidak konstruktif, tidak positif. Saya kira pemerintahan yang demokratis menghargai kritik dan saran yang konstruktif dan positif. Tetapi kalau itu ujaran kebencian, hate speech yang bisa memecah kohesi sosial masyarakat, bisa berdampak negatif bagi negara yang berdasarkan ideologi Pancasila,” kata Arief.
Begitu pula dengan pasal-pasal contempt of court atau penghinaan terhadap peradilan. Arief meminta pemohon mempertimbangkan kondisi tersebut dalam bangunan argumentasinya. Ia juga meminta para pemohon untuk mencari perbandingan ke negara-negara yang tingkat demokrasinya sudah mapan.
Selain itu, Arief pun meminta agar memperkuat argumentasi terkait dengan apakah kritik dapat dikatakan sebagai penyerangan terhadap kehormatan atau harkat martabat dan dapat disebut sebagai penghinaan. Sebab, frasa yang digunakan di dalam Pasal 218 dan 219 adalah ”menyerang kehormatan atau harkat martabat”, sedangkan Pasal 240 dan 241 menggunakan terminologi “penghinaan”.
Sementara itu, hakim konstitusi Suhartoyo meminta pemohon untuk mendalami apakah pasal penghinaan presiden/wapres yang ada di KUHP tahun 2023 sama atau apple to apple dengan putusan MK tentang pasal yang sama sebelumnya. ”Kalau Anda simpulkan sama, perhatikan juga bagaimana putusan MK itu dengan adanya UU yang baru,” katanya.
Atas nasihat-nasihat hakim, kuasa hukum pemohon berjanji untuk memperbaiki berkas permohonannya. MK pun memberi waktu hingga 6 Februari kepada pemohon uji materi memasukkan perbaikan permohonan.