Setelah Vonis Surya Darmadi, Duplikasi Tuntutan Kerugian Perekonomian Negara
Vonis hakim atas Surya Darmadi membuktikan kerugian perekonomian negara bisa dibuktikan. Selama ini, tuntutan kerugian perekonomian negara jarang diterapkan meski bisa memulihkan kerugian besar akibat korupsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Vonis terhadap terdakwa Surya Darmadi untuk membayar kerugian perekonomian negara dinilai sebagai putusan yang luar biasa karena baru pertama di Indonesia. Proses penegakan hukum dengan mendakwakan serta menuntut penggantian kerugian perekonomian negara diharapkan diduplikasi di kasus korupsi lainnya.
Pada Kamis (23/2/2023), majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun kepada Surya Darmadi dalam kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group. Selain itu, majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 2,23 triliun dan kerugian perekonomian negara Rp 39,7 triliun (Kompas, 24/2/2023).
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, ketika dihubungi, Minggu (26/2), mengapresiasi vonis majelis hakim yang dipimpin Fahzal Hendri serta didampingi Susanti Arsi Wibawani dan Sukartono sebagai hakim anggota atas Surya Darmadi. Menurut catatannya, untuk pertama kalinya, tuntutan jaksa atas kerugian perekonomian negara dikabulkan.
Hal ini berbeda dengan vonis hakim dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah dan turunannya, awal Januari lalu, di mana tuntutan kerugian perekonomian negara tidak dikabulkan dengan alasan perhitungannya belum jelas.
Helikopter yang diduga terkait kasus dugaan korupsi dan pencucian uang dengan tersangka Surya Darmadi. Helikopter itu disita penyidik.
”Menurut saya, ini (vonis Surya Darmadi) satu putusan yang monumental, yang harus kita apresiasi dan ini menjadi tonggak sejarah baru dalam penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Putusan ini sangat positif dalam rangka pemulihan aset,” ujar Zaenur.
Menurut dia, kerugian perekonomian negara bukan hal baru dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, selama ini jarang digunakan karena dianggap belum memiliki kepastian hukum perihal perhitungan kerugian perekonomian tersebut.
Meski tidak semua dari jumlah tuntutan kerugian perekonomian negara terhadap Surya dikabulkan hakim, hal itu sudah menjadi langkah maju karena hakim mengakui adanya kerugian perekonomian negara.
Dalam amar putusannya, hakim menghitung kerugian perekonomian negara pada kasus Surya menjadi Rp 39,7 triliun, berbeda dari tuntutan jaksa sebesar Rp 73,9 triliun. Alasannya, beberapa perusahaan milik Surya sudah memiliki hak guna usaha (HGU).
Zaenur pun berharap agar jaksa, baik di kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, tak hanya fokus pada kerugian keuangan negara dalam menjerat pelaku korupsi. Mereka diharapkan menduplikasi hal serupa dalam kasus korupsi lainnya dengan ikut memperhitungkan kerugian perekonomian negara.
Kerugian bisa dihitung
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman juga menilai positif vonis atas Surya. Dengan putusan tersebut, publik bisa menyaksikan bahwa dampak dari sebuah perkara korupsi itu tidak hanya pada hilangnya uang negara, tetapi ada dampak lain yang lebih luas.
Boyamin juga menolak adanya pendapat yang menyebut perhitungan kerugian perekonomian negara sulit. Menurut dia, kerugian perekonomian negara bisa dihitung ahli ekonomi yang menguasai ilmu akuntansi dan manajemen.
Aparat penegak hukum lainnya diharapkan menerapkan pasal kerugian perekonomian negara. Dengan demikian, tujuan untuk memulihkan aset dalam kasus korupsi bisa terwujud.
Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Hendro Dewanto turut mengapresiasi putusan hakim. Ia menilai, putusan yang mengabulkan tuntutan kerugian perekonomian negara sebagai putusan yang fenomenal.
”Pembuktian perekonomian negara yang telah diperjuangkan jaksa yang pertama kali secara mutlak dibebankan kepada terdakwa,” ujarnya.