Kasus Surya Darmadi Tunjukkan Buruknya Perizinan dan Tata Kelola Kehutanan
Kasus Surya Darmadi telah menunjukkan buruknya tata kelola kehutanan, khususnya dalam aspek perizinan sawit. Bahkan, kasus tersebut membuktikkan masih terdapat celah yang berpotensi menimbulkan praktik korupsi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus Surya Darmadi telah menunjukkan gambaran penting buruknya tata kelola kehutanan, khususnya dalam aspek perizinan kebun sawit. Bahkan, kasus tersebut membuktikan masih terdapat celah dalam instrumen perizinan yang berpotensi tinggi terjadinya korupsi di bidang sumber daya alam.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi terkait perkara kasus korupsi Surya Darmadi di Jakarta, Kamis (22/12/2022). Surya Darmadi merupakan pemilik PT Duta Palma Group yang didakwa korupsi dan pencucian uang dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit hingga mengakibatkan negara mengalami kerugian Rp 86,5 triliun.
Dalam sidang perdana pada September lalu, perbuatan Surya juga ditengarai telah menimbulkan kerugian lingkungan hidup pada kawasan hutan di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.Beberapa perusahaan milik Surya juga tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) maupun upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring mengemukakan, selama ini, data menunjukkan, kegiatan perkebunan sawit dibiarkan tumpang tindih dengan tata ruang. Bahkan, perkebunan sawit kerap dibangun di kawasan yang sebenarnya dilarang untuk dikonversi, seperti kawasan hutan.
Menurut Raynaldo, selama ini sudah terdapat kebijakan dan skema penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Penegakan hukum atau kejahatan di sektor kehutanan juga harus menyasar pada korporasi. Mungkin dengan mendalami korporasi, tidak hanya bisa menguak korupsi, tetapi juga kejahatan kehutanan lainnya.
Selain itu, terdapat pula PP No 61/2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan serta PP No 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Semua aturan tersebut juga difinalisasi di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
”Namun, instrumen tersebut sebenarnya tidak terlalu memberikan konsentrasi penuh terkait dengan upaya kelestarian lingkungan. Instrumen ini juga tidak bisa mengendalikan ketelanjuran perizinan yang bermasalah dan menutup ruang-ruang korupsi,” ujarnya.
Raynaldo menyebut, instrumen yang tertuang dalam PP 60, 61, dan 104 juga masih memiliki celah atau potensi tinggi untuk korupsi. Potensi korupsi di bidang sumber daya alam pun diyakini akan jauh lebih besar apabila menggunakan instrumen dalam UU Cipta Kerja beserta aturan turunnya yang banyak masalah.
Lemahnya instrumen kebijakan hingga membuka ruang untuk praktik korupsi juga ditegaskan dalam temuan ICEL selama tinjauan perizinan 2015-2018. Dalam tinjauan itu, tipologi pelanggaran perkebunan sawit, salah satunya, yaitu aspek administrasi perizinan. Ini ditunjukkan dengan tetap dikeluarkan izin sawit meski jelas berada di kawasan hutan.
Celah dalam instrumen inilah yang disebut Raynaldo berkaitan dengan kasus korupsi Surya Darmadi. Menurut dia, Surya Darmadi dengan empat perusahaannya lebih senang melakukan tindakan ilegal ini karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah.
”Penegakan hukum atau kejahatan di sektor kehutanan juga harus menyasar pada korporasi. Mungkin dengan mendalami korporasi, tidak hanya bisa menguak korupsi, tetapi juga kejahatan kehutanan lainnya,” ucapnya.
Dampak bagi masyarakat
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, praktik koruptif yang dilakukan melalui aktivitas pekebunan sawit dalam hutan tanpa izin akan turut berdampak terhadap masyarakat lokal. Bahkan, siklus kehidupan masyarakat juga akan berubah seiring perubahan satu bentang hutan menjadi monokultur sawit.
”Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hutan dengan semua kekayaannya memiliki fungsi penting bagi kehidupan masyarakat sekitar. Dalam pemenuhan kebutuhan esensial, seperti pangan dan air, juga sangat bergantung pada kondisi bentang hutan,” katanya.
Selain itu, hilangnya satu bentang hutan menjadi perkebunan sawit akan memengaruhi berbagai kegiatan masyarakat lokal, mulai dari meramu, irigasi, hingga aktivitas perekonomian lainnya. Di sisi lain, konversi hutan menjadi perkebunan sawit, bahkan kerap menimbulkan konflik antara korporasi dan masyarakat adat atau lokal.
”Besarnya kerugian yang dialami negara maupun masyarakat membuat kami mendorong agar kasus Surya Darmadi perlu dibuka secara lengkap dan mengambil keputusan yang adil untuk semua. Ini bisa menjadi referensi atau penguat untuk penyelesaian kasus lain mengingat banyak korporasi melakukan hal yang sama,” ucapnya.