Saat Sejumlah Parpol Coba Patahkan Uji Materi Sistem Pemilu
Nasdem membantah Yuwono Pintadi yang menjadi pemohon uji materi sistem pemilu merupakan kader partainya. Tindakan Yuwono pun tidak mewakili sikap partai.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Perdebatan mengenai sistem pemilu anggota legislatif dengan sistem proporsional daftar terbuka sebenarnya sudah berakhir ketika Mahkamah Konstitusi memutus perkara serupa pada 2008. MK diminta untuk konsisten terhadap putusan nomor 22-24/PUU-VI/2008 tersebut sebagai wujud Lembaga peradilan politik tersebut turut menjaga demokrasi di Indonesia agar tak mengalami kemunduran.
Partai Nasdem dan Partai Garuda meminta MK untuk menolak permohonan uji materi terkait dengan perubahan sistem pemilu dan diminta untuk mempertahankan Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang penggunaan sistem proporsional daftar terbuka dalam pemilu legislatif.
Hal tersebut disampaikan saat Partai Nasdem dan Partai Garuda memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam pengujian pasal tersebut, Kamis (16/2/2023).
Risky Dewi Ambarwati, yang mewakili Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Hermawi Taslim, mengungkapkan, sistem proporsionalitas terbuka merupakan bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi. Ini merupakan antitesis terhadap sistem pemilu sebelumnya, yaitu proporsionalitas tertutup yang digunakan di era Orde Lama dan Orde Baru sehingga permohonan agar kembali ke sistem proporsional tertutup merupakan sebuah kemunduran dalam berdemokrasi.
Lagi pula, tambah Risky, lahirnya sistem proporsional terbuka murni berawal dari dikabulkannya uji materi Pasal 214 UU No 10/2008 yang dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut UUD 1945. Ketentuan di UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat ditafsirkan MK bahwa dalam kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendaki.
Bagi Partai Nasdem, sistem proporsional terbuka merupakan praktik berdemokrasi yang ideal. Sebab, sistem ini memungkinkan seseorang dari berbagai latar belakang sosial dapat terlibat dalam politik elektoral.
”Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai,” ujarnya.
Partai Garuda, seperti disampaikan Munathsir Mustawan yang mewakili ketua umum dan sekretaris jenderal partai tersebut, mengungkapkan, penerapan sistem proporsional tertutup berakibat pada anggota legislatif yang terpilih tidak dikenal oleh rakyat. Sebab, anggota DPR dan DPRD tersebut dipilih oleh partai politik. Keterpilihan mereka bisa dilatarbelakangi oleh kedekatan dengan pimpinan partai politik, atau karena membayar sejumlah uang kepada elite partai atau adanya hubungan kekerabatan dengan pimpinan partai terkait yang pada akhirnya menciptakan dinasti dan oligarki parpol semata.
Selain itu, sistem proporsional tertutup membawa konsekuensi logis bahwa anggota DPR dan DPRD terpilih tidak memiliki legitimasi kuat dari rakyat.
Mereka, menurut Munatshir, tidak memiliki landasan dan akar yang kuat untuk membela kepentingan rakyat secara luas dan lebih berpotensi membela serta mengakomodasi kepentingan elite parpol. Padahal, yang seharusnya dicari adalah keseimbangan antara kedaulatan parpol dan kedaulatan rakyat sebagai pemilih untuk bisa menentukan wakil-wakilnya.
Sebelumnya, dukungan terhadap sistem proporsional terbuka juga telah dinyatakan delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR, yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hanya Fraksi PDI-P yang menolak pemberlakuan sistem proporsional terbuka untuk Pemilu 2024. Hal ini juga terungkap pada saat Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan di persidangan MK pada 26 Januari 2023.
Nasdem klarifikasi
Dalam sidang, Risky Dewi Ambarwati sekaligus mengklarifikasi keanggotaan salah satu pemohon uji materi (Yuwono Pintadi) yang menggunakan atribusi sebagai anggota Partai Nasdem.
Menurut Risky, Yuwono bukan lagi anggota atau kader Partai Nasdem sebab yang bersangkutan tidak tercatat dalam sistem keanggotaan Partai Nasdem.
Seperti diketahui, Partai Nasdem telah mengeluarkan surat edaran berisi kebijakan kepada semua anggota partai untuk memperbarui kartu tanda anggota (KTA) pada 2019. Apabila tidak memperbaharui KTA, dianggap mengundurkan diri sehingga tindakan Yuwono Pintadi untuk menguji sistem pemilu tersebut sama sekali tidak mewakili sikap Partai Nasdem.
Seperti diketahui, pengujian konstitusionalitas sistem proporsional terbuka diajukan oleh sejumlah warga negara, yaitu Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi selaku anggota Partai Nasdem, Fahrurozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Mereka menguji Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), dan Pasal 426 Ayat (3) UU No 7/2017.
Para pemohon mendalilkan bahwa norma-norma di dalam pasal tersebut mengakibatkan pemilu dibajak oleh calon anggota legislatif pragmatis yang hanya bermodal popularitas.
Caleg tersebut tidak memiliki ikatan ideologis dengan partai serta tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi yang berbasis sosial politik. Hal ini mengakibatkan caleg terpilih tidak mewakili parpol, tetapi mewakili dirinya sendiri.
Dalam perkara ini, MK sudah mendengar keterangan dari pemerintah, DPR, Komisi Pemilihan Umum, dan sejumlah pihak yang mengajukan diri sebagai pihak terkait. Pada sidang yang berikutnya, MK masih akan mendengarkan pendapat dari PKS, Partai Solidaritas Indonesia, dan Mohammad Soleh selaku pemohon uji materi sistem proporsionalitas tertutup pada tahun 2008 tanggal 23 Februari mendatang.