Mahkamah Konstitusi Diminta Tak Terjebak pada Penentuan Sistem Pemilu
MK sudah menjadwalkan sidang lanjutan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu. Sidang pleno untuk mendengar keterangan dari DPR, Presiden, dan pihak terkait dijadwalkan berlangsung 17 Januari mendatang.
Oleh
IQBAL BASYARI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua KPU Hasyim Asyari ketika menyerahkan plakat nomor urut kepada perwakilan pimpinan partai politik peserta Pemilu 2024 dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 di halaman Kantor KPU, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Dalam waktu dekat Mahkamah Konstitusi akan kembali menyidangkan permohonan uji materi Undang-Undang Pemilu terkait dengan pengaturan sistem pemilu. Terkait dengan hal itu, sejumlah pihak berharap MK tidak terjebak pada pilihan politik penentuan sistem pemilu. Sebab, penentuan sistem pemilu dinilai bukan menjadi kewenangan MK, tetapi kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono di Jakarta, Rabu (4/1/2023), mengatakan, MK sudah menjadwalkan sidang lanjutan perkara nomor 114/PUU-XX/2022. Sidang pleno untuk mendengarkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan pihak terkait dijadwalkan berlangsung pada 17 Januari mendatang.
Ketentuan sistem pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diuji materi ke MK. Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi pemohon perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) Huruf b, Pasal 386 Ayat (2) Huruf b, Pasal 420 Huruf c dan Huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua KPU Hasyim Asyari menyampaikan paparan dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU, Menyongsong Pemilu Tahun 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan, KPU siap memberikan keterangan secara proporsional sesuai bidang tugas dan ruang lingkup kerja KPU. KPU tidak akan berteori tentang kekurangan dan kelebihan sistem proporsional daftar calon terbuka dan proporsional daftar calon tertutup karena hal itu menjadi domain pembentuk undang-undang.
”KPU, kan, levelnya pelaksana undang-undang sehingga kalau memberi keterangan sesuai dengan apa yang dialami dan menjadi ruang lingkup tugas KPU dalam menyelenggarakan pemilu,” katanya.
Pengajar Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, beberapa kali dalam putusannya, MK mengubah pendirian hukumnya terhadap konstitusionalitas suatu norma, termasuk dalam pengaturan pemilu. Beberapa di antaranya terkait pengumuman survei di masa tenang dan hasil hitung cepat pemilu, model keserentakan pemilu, verifikasi faktual bagi partai politik, pencalonan mantan terpidana, serta kewenangan penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Pada saat MK memutus uji materi atas penentuan caleg terpilih berdasar suara terbanyak untuk Pemilu 2009, sejatinya MK tidak menentukan sistem pemilu mana yang konstitusional atau tidak. Oleh karena itu, putusannya sebatas menegaskan prinsip yang konstitusional. Saat itu, MK berpendapat, dalam hal sistem pemilu yang digunakan harus memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih caleg secara langsung, maka demi keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi caleg, MK menerapkan asas keadilan dalam penentuan calon terpilih. Dalam hal ini, nama caleg dibuka di surat suara sehingga pemilih bisa mencoblos caleg, tidak hanya tanda gambar parpol.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Pengajar Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini
Mengutip Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 23 Desember 2008, dalam pertimbangannya, MK mengutip Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tentang esensi dari kedaulatan rakyat. MK menilai mekanisme suara terbanyak dalam pemilu merupakan cara terbaik dan memenuhi asas demokrasi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kehendak pemilih. Titik hubung dari tujuan kedaulatan rakyat dengan kualitas penyelenggaraan pemilu adalah agar rakyat sebagai subyek utama dalam kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek dalam mencapai kemenangan semata.
MK yang saat itu dipimpin Mahfud MD juga mempertimbangkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka karena ada keinginan rakyat memilih wakilnya yang diajukan oleh parpol dalam pemilu. Harapannya, wakil rakyat tidak hanya mementingkan kepentingan parpol, tetapi juga mampu membawa aspirasi pemilih. Sistem proporsional terbuka membuat rakyat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih. Dengan sistem proporsional terbuka, akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan terbanyak.
Menurut Titi, pemohon kali ini meminta MK langsung menegaskan bahwa sistem yang konstitusional adalah sistem proporsional tertutup. Hal ini berbeda dengan permohonan yang saat diuji ke MK dan berpengaruh pada pelaksanaan Pemilu 2009.
”Pemohon hendak membawa MK ikut campur tangan dalam pilihan sistem pemilu. Padahal, itu bukan kewenangan MK. Pilihan atas sistem pemilu adalah keputusan pembentuk undang-undang yang harus dibuat berdasarkan proses yang demokratis dengan menyertakan partisipasi masyarakat secara bermakna,” ucap Titi.
Oleh karena itu, lanjutnya, MK seharusnya tidak terjebak masuk dalam pilihan politik untuk menentukan sistem pemilu. MK mesti fokus menegakkan asas dan prinsip konstitusional yang harus diikuti pembentuk undang-undang dalam memilih suatu sistem pemilu. Dengan demikian, MK turut menciptakan pemilu yang demokratis serta sejalan dan koheren dengan sistem politik, kepartaian, perwakilan, dan pemerintahan yang dianut di Indonesia.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Pakar hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, terhadap uji materi sistem kepemiluan di MK, hakim konstitusi seharusnya bisa membacanya dengan kacamata urgensi bagi Indonesia ke depan. Menurut dia, baik sistem proporsional terbuka dengan perolehan suara terbanyak yang dipakai sejak tahun 2009 maupun sistem proporsional tertutup masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. MK harus bisa mengevaluasi dan memberikan saran terbaik bagi praktik demokrasi di Indonesia.
”MK tidak harus terikat dengan putusan sebelumnya karena kita tidak menggunakan konsep yurisprudensi dan preseden yang mengikat. Putusan hakim sebelumnya sangat mungkin dikaji dan ditinjau ulang oleh hakim berikutnya. Apalagi, putusan sudah lama dan komposisi hakim sekarang juga berbeda,” katanya.
Zainal menyarankan MK mempertimbangkan relasi rakyat dengan kandidat. Putusan MK jangan hanya membatalkan atau tidak pasal yang diuji. MK juga harus bisa membangun argumen apa yang harus diperbaiki dari sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Secara pribadi, dia menilai sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak masih lebih baik. Sebab, demokratisasi di internal parpol saat ini masih tertutup dan dikuasai oleh oligarki politik. Jika diberlakukan sistem proporsional tertutup, dia khawatir gejala jual beli nomor di internal partai tinggi. Dengan proporsional terbuka, publik cenderung masih bisa mengontrolnya.
Namun, sayangnya, sistem proporsional terbuka juga memiliki kelemahan. Partai kemudian menjadi pragmatis dengan membajak tokoh populer seperti artis atau pengusaha yang memiliki modal besar sebagai vote getter. Adapun dengan sistem proporsional tertutup, partai bisa menentukan siapa kandidat yang layak maju sebagai caleg, dengan mempertimbangkan jenjang karier dan lamanya berkecimpung di partai. Namun, bagi publik, mereka seolah dijauhkan dari partainya dan seperti membeli kucing di dalam karung.
”MK bisa mengevaluasi dua sistem itu. Menurut saya, yang kita butuhkan adalah penguatan penegakan hukum. Untuk proporsional tertutup harus ada larangan pembatasan nomor jadi di internal partai. Sementara untuk proporsional terbuka harus ada pembatasan dana kampanye karena memang mendorong pertarungan bebas,” tutur Zainal.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar validasi dan approval surat suara DPR serta presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 di Gedung KPU, Jumat (4/1/2019).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, secara pribadi, ia menilai sistem proporsional tertutup mengurangi hak langsung dari pemilih. Sebab, pemilih tidak bisa memilih orang atau calon anggota legislatif. Pemilih hanya memilih parpol sehingga caleg terpilih ditentukan oleh parpol.
Namun, ia mempersilakan soal sistem pemilu disepakati di antara para pemangku kepentingan yang terlibat. ”Ini pendapat pribadi, tetapi kalau pendapat institusi itu memang belum ada,” katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, sesuai keputusan Muktamar Muhammadiyah, ada dua usulan mengenai sistem pemilu. Muhammadiyah mengusulkan agar sistem proporsional terbuka diganti dengan proporsional tertutup sehingga pemilih hanya memilih tanda gambar partai politik. Sementara usulan kedua, menggantinya dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Pemilih bisa memilih parpol atau nama calon anggota legislatif yang penghitungannya menggunakan bilangan pembagi pemilih.
”Dengan sistem proporsional terbuka terbatas itu, suara pemilih masih terakomodasi dan masih ada peluang bagi calon anggota legislatif untuk memiliki kesempatan terpilih, tidak di nomor urut yang teratas,” ujarnya.