Kebangkitan Baru di Abad Kedua NU
Presiden Joko Widodo berharap, NU terus menjaga toleransi, persatuan, kegotongroyongan, dan mengikuti perkembangan zaman saat memasuki abad kedua usia NU.
SIDOARJO, KOMPAS — Momentum abad kedua Nahdlatul Ulama diharapkan menjadi penanda kebangkitan baru bagi organisasi Muslim terbesar di Indonesia tersebut. NU diharapkan terus memperkokoh keislaman dan keindonesiaan, meningkatkan kesejahteraan umat, serta membangun masa depan Indonesia yang maju dan bermartabat.
”Memasuki abad kedua, insya Allah NU akan tumbuh semakin kokoh, menjadi teladan dalam keberislaman yang moderat, memberikan contoh hidup adab Islam yang baik, menjunjung akhlakul kharimah dan adat ketimuran, tata karma, ungah ungguh, etika yang baik ,dan adab yang baik,” ujar Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat membuka Resepsi Puncak Satu Abad NU di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023).
Sebagai tanda peluncuran memasuki abad kedua usia NU, Presiden memukul beduk digital didampingi oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar, dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Turut hadir dalam acara tersebut antara lain Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, serta sejumlah ketua umum partai politik dan kepala daerah.
Baca juga: Hadir Lebih Signifikan di Abad Kedua
Presiden berharap, NU terus menjaga toleransi, persatuan, kegotongroyongan, dan terus mengikuti perkembangan zaman. Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, NU juga dinilai layak berkontribusi untuk masyarakat internasional. Pemerintah pun sangat menghargai upaya PBNU untuk ikut membangun peradaban dunia yang lebih baik dan mulia.
Sebagai organisasi Islam yang mengakar kuat di masyarakat, NU telah terbukti mampu menjaga ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan dalam menghadapi hantaman gerakan-gerakan radikal, termasuk menjaga diri dari politik identitas dan ekstremisme. Selama satu abad pertama pun, NU dianggap telah memberikan warna yang luar biasa untuk ibu pertiwi Indonesia.
”Keislaman dan keindonesiaan, keislaman dan kebangsaan, persatuan dan kesatuan, serta kerukunan dalam keberagaman,” ujar Presiden.
Di tengah gelombang perubahan, Presiden mengingatkan agar NU menjadi bagian terdepan dalam membaca gerak zaman, membaca perkembangan teknologi dan transformasi ekonomi, serta menjaga tatanan sosial yang adil dan beradab. Oleh sebab itu, NU agar merangkul dan memberi perhatian serius kepada generasi muda supaya tetap mengakar kuat kepada tradisi dan adab. NU melalui lembaga pendidikan yang dimiliki diharapkan mempersiapkan kaum nahdliyin muda yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu menjadi generasi profesional dan unggul.
Baca juga: Kiprah Kebangsaan Kaum Nahdliyin
KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya mengatakan, satu abad pertama NU merupakan abad riyadhah (melatih diri) dan abad tirakat (usaha) dari para wali, kiai, dan segenap warga pencinta NU. Mereka dalam keadaan apa pun tidak pernah berhenti meyakini bahwa berkah NU adalah bekal masa depan yang lebih mulia bagi kita semua.
”Tirakat satu abad menjelma berkah raksasa, tirakat satu abad mendigdayakan NU. Hari ini, kita melangkahkan kaki memasuki gerbang abad kedua NU. Tidak ada yang lebih patut untuk kita lakukan pada kesempatan seperti ini selain bersyukur kepada anugerah ilahi,” katanya.
KH Miftachul Akhyar mengatakan, memasuki abad kedua, NU diharapkan menjadi organisasi yang sistemik dan satu komando. Selain itu, warga nahdliyin perlu menata mental yang lebih kuat sehingga tidak mudah terbawa arus pihak luar. NU harus menegaskan prinsip, kepribadian, mental, dan semangat dalam melakukan kebaikan.
”Kita harus punya hati dan otak dobel ibarat mobil punya dua gardan yang siap menggerakkan seluruh anggotanya, elemen-elemennya, dan untuk mendapatkan energi kekuatan di dalam memasuki abad kedua ini,” tuturnya.
Baca juga: Ikhtiar Merangkul ”Bola Dunia” dari Kramat Raya
Ketua Panitia Harlah Satu Abad NU Erick Tohir mengaku sangat bersyukur karena hari ini adalah acara puncak dari rangkaian peringatan hari lahir Nahdlatul Ulama yang ke-100 tahun. Beberapa acara di antaranya dihadiri dan dibuka langsung oleh Presiden Jokowi.
Dia mengatakan sebagai organisasi Islam terbesar, NU sudah berdiri melintas zaman mulai masa penjajahan, kemerdekaan, reformasi hingga era digital. NU tetap relevan dan dicintai. Para tokoh NU pendahulu telah menciptakan fondasi yang kokoh. Ia pun berharap agar NU dapat memelihara nilai dan tradisi Islam Nusantara untuk generasi penerus bangsa.
Erick yang mengutip hasil jajak pendapat Kompas menyampaikan, ada 71,8 persen masyarakat menganggap NU telah turut memperkuat nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Sementara 81 persen masyarakat Indonesia yakin dan sangat yakin NU akan memberi manfaat yang semakin baik untuk NKRI. ”Artinya, energi positif NU harus terus dipertahankan,” ujarnya.
Baca juga: Apresiasi Publik pada Kiprah NU
Radius 2 kilometer
Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama diawali dengan rangkaian ritual keagamaan yang dimulai pukul 00.00. Kegiatannya antara lain lailatul qiro’ah dilanjutkan dengan manaqib yang dipimpin oleh Syech Abdul Qodir Jaelani. Selain iitu, pembacaan asmaul husna dan ijazah kubro.
Resepsi Puncak Satu Abad NU yang digelar di Sidoarjo dihadiri jutaan massa warga nahdliyin dan masyarakat umum. Mereka datang dari sejumlah daerah, seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Acara juga dihadiri ratusan ulama dari luar negeri.
Para peserta resepsi telah memadati area di dalam dan di luar Gelora Delta Sidoarjo sejak malam hari. Kepadatan massa semakin tinggi seiring semakin banyaknya warga dari luar kota yang baru tiba di lokasi acara. Lautan manusia terlihat hingga radius sekitar dua kilometer di luar stadion.
Massa yang didominasi warga nahdliyin tersebut masuk dari berbagai arah, di antaranya Tugu Babalayar, Jalan Kavling DPR, Jalan Raya Cemengkalang, dan pintu keluar Tol Sidoarjo. Peserta harus berjalan kaki sejauh lebih dari 2 kilometer dari titik penurunan penumpang karena padatnya massa.
Di sepanjang jalan yang dilalui oleh peserta disediakan sejumlah fasilitas, seperti makanan dan minuman gratis, serta tempat wudu. Masyarakat lokal Sidoarjo membantu mengatur arus lalu lintas yang sempat mengalami macet panjang. Warga juga berupaya mencarikan lokasi parkir kendaraan peserta.
Piagam muktamar
Dalam kesempatan yang sama, KH Musthofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus dan Yenny Wahid membacakan piagam rekomendasi hasil Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang pertama. Piagam dibacakan dalam bahasa Arab oleh Gus Mus kemudian dibacakan dalam bahasa Indonesia oleh Yenny.
Piagam berjudul ”Tekad satu Abad Nahdlatul Ulama” itu berisi sebagai berikut: ”Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah, harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Sebab, cita-cita mendirikan kembali negara khilafah dalam hubungan berhadap-hadapan dengan nonmuslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi. Hal ini terbukti pada akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan Negara Islam Irak dan Suriah”.
"Usaha semacam ini niscaya akan berakhir dalam kekacauan dan justru berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok agama atau maqashidu syariah yang tergambar dalam lima prinsip; menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta,” ujar Yenny.
Baca juga: Taktik Guyonan ala NUtizen
Ia melanjutkan, usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara khilafah bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama tersebut. Ini karena usaha semacam ini akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik.
Lebih dari itu, jika pun akhirnya berhasil, usaha-usaha ini juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia. Sejarah menunjukkan, kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu didampingi dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda.
”Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik Muslim atau non-Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu adam (ukhuwah basyariyyah),” tutur Yenny.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya, kata Yenny, memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun, piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.
Daripada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilafah, NU memilih jalan lain dengan mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fikih. Adapun fikih yang dimaksud dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia.
”Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariah,” kata Yenny.