Melawan narasi konservatif, @NUgarislucu yang memiliki 933.439 pengikut memilih taktik komunikasi satir. Inspirasinya berasal dari guyonan di pesantren yang diformulasikan menjadi cuitan asyik dan santai di medsos.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Malam kian temaram saat santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur mulai terlelap. Selepas rutinitas mengaji, sebagian di antara mereka bercengkerama. Di sebuah ruangan yang pernah menjadi markas redaksi majalah pesantren itu, tiga pemuda berdiskusi, sesekali tertawa lepas. Melalui panggilan video, seorang pemuda turut bergabung.
Biasanya, saat malam kian larut, ide kreatif untuk mengisi konten di akun Twitter @NUgarislucu mengalir. ”Besok kita gulirkan kultwit (kuliah Twitter) tentang Banser. Sebab, akhir-akhir ini ada banyak teman (NU) mengeluh soal kritik dan cibiran soal Banser,” ujar HM, salah satu admin @NUgarislucu, menceritakan ulang kejadian itu, Kamis (2/2/2023).
Para admin media sosial NU ini adalah pasukan pendengung untuk mengarusutamakan Islam moderat di dunia maya. Kehadiran narasi Islam moderat di ruang daring dirasa kian penting.
Di usia NU yang memasuki satu abad, tantangan menyampaikan pesan sejuk dan moderat berhadapan dengan perubahan sosial. Makin banyak warga yang terkoneksi dengan internet. Di sisi lain, penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyebutkan konservatisme agama di medsos masih dominan. Narasi keagamaan di medsos dikuasai akun-akun yang cenderung berpaham konservatif (Kompas, 2/1/2023).
Melawan narasi konservatif, @NUgarislucu yang memiliki 933.439 pengikut memilih taktik komunikasi satir. Inspirasinya berasal dari guyonan di pesantren yang diformulasikan menjadi cuitan asyik dan santai di medsos. Misalnya, pada 7 Mei 2017, akun @NUgarislucu menulis, ”Tugas aparat menjaga keamanan, tugas Banser menjaga kebinekaan. Tugas kamu beli kuota buat internetan”. Unggahan itu dibuat untuk merespons warganet (netizen) yang menyebut menjaga gereja saat Natal adalah tugas aparat. Mengusung slogan ”sampaikan kebenaran walaupun itu lucu”, para admin berusaha santai menanggapi komentar warganet yang pedas. Pesan yang disampaikan secara guyonan dinilai efektif.
Di usia NU yang memasuki satu abad, tantangan menyampaikan pesan sejuk dan moderat berhadapan dengan perubahan sosial. Makin banyak warga yang terkoneksi dengan internet. Di sisi lain, penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyebutkan, konservatisme agama di medsos masih dominan.
Menurut HM, sebelumnya mereka menerapkan kontranarasi. Unggahan dari akun provokatif dibalas dengan argumentasi kokoh sehingga sama-sama keras. Namun, strategi itu kurang efektif menggaet warganet. Pihak yang pro isu tertentu cenderung mendengarkan opini yang mereka sukai.
Pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, berpandangan, masyarakat Indonesia bersifat paguyuban yang cenderung mengedepankan perasaan orang lain. NU tumbuh di perdesaan yang relevan dengan kondisi itu. Maka, dia menilai wajar cara-cara guyonan dijadikan taktik menyuarakan moderasi beragama di ranah digital.
Namun, dia memberikan catatan agar guyonan itu tetap didudukkan proporsional. Unggahan yang lucu tetap harus memperhatikan etika masyarakat.
Narasi positif
Koordinator Nasional Arus Informasi Santri Nusantara (Aisnu) Anifatul Jannah mengatakan, medsos merupakan lingkungan kedua setelah dunia nyata. Maka, narasi di dunia nyata mesti disampaikan di dunia maya. Dengan demikian, dunia maya dibanjiri narasi yang positif dan menenggelamkan narasi konservatif.
Sama halnya dengan @NUgarislucu, Aisnu menjadi salah satu aktor yang mengalirkan narasi positif di media sosial, khususnya Instagram. Melalui akun Instagram @aisnusantara, mereka menyebarkan konten kegiatan pesantren dan santri di lingkungan NU. ”Kami adalah perkumpulan penggerak media digital dan literasi digital santri sehingga audiens produksi konten lebih ke santri dan pesantren NU dengan dasar wasatiah atau moderat,” tuturnya.
Media sosial merupakan lingkungan kedua setelah dunia nyata. Maka, narasi di dunia nyata mesti disampaikan di dunia maya. Dengan demikian, dunia maya dibanjiri narasi yang positif dan menenggelamkan narasi konservatif.
Selain inisiatif para anggota, NU secara lembaga memiliki ”senjata” khusus dalam menyebarkan moderasi beragama, yakni NU Online. Media resmi NU ini menyebarkan konten layanan informasi dan keislaman. Sejak Juli 2003, NU Online memproduksi beragam konten, antara lain tulisan, grafis, dan video.
Menurut Redaktur Eksekutif NU Online Mahbib Khoiron, media itu memperkuat kehadiran melalui Aplikasi Super NU Online. Portal yang awalnya hanya diakses melalui situs web kini menjadi aplikasi super. Tak hanya informasi, isinya juga meliputi 20 fitur, antara lain Al Quran, jadwal shalat, kompas digital, tutorial ibadah, dan kalkulator zakat.
Menurut dia, transformasi dilakukan untuk beradaptasi agar narasi yang disebar dapat diterima lebih banyak umat, terutama generasi muda. Konten yang dibuat tak hanya menyasar warga nahdliyin, tetapi juga umat Islam secara umum, seperti ibadah, Islam Indonesia, dan Pancasila.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Mohamad Syafi’ Alieha atau Savic Ali menyadari, dari sisi kuantitas, akun yang menggaungkan moderasi beragama kalah dengan akun bernada provokatif. Akibatnya, NU kurang terepresentasi di medsos.
Namun, ia melihat tren akun-akun yang menyuarakan moderasi beragama cenderung meningkat di medsos. Banyak ulama dan aktivis NU yang sudah sadar pentingnya mengarusutamakan narasi kebangsaan di jagat maya. Mereka menyadari ada tantangan yang harus diatasi dari kelompok yang memiliki misi politik keagamaan. Jika tidak dilawan dengan narasi lain, hal itu dikhawatirkan bisa memicu kebencian dan perpecahan.