Jaksa Banding Putusan Korupsi Izin Ekspor Minyak Sawit
Jaksa pada Kejaksaan Agung telah mengajukan banding atas putusan majelis hakim terhadap lima terdakwa perkara korupsi fasilitas ekspor minyak sawit. Banding diajukan karena putusan hakim dinilai mencederai rasa keadilan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan telah mengajukan banding atas putusan majelis hukum terhadap kelima terdakwa korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya pada Januari 2021 sampai Maret 2022. Kejaksaan menilai, putusan majelis hakim tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Pada 4 Januari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada lima terdakwa perkara tersebut. Bekas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana divonis 3 tahun penjara, sedangkan Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Para terdakwa lainnya, yakni analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) atau bekas anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, serta Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, masing-masing dihukum 1 tahun penjara.
Padahal, jaksa menuntut mereka berlima dengan pidana penjara 7-12 tahun.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga ketika dihubungi pada Rabu (1/2/2023) mengatakan, jaksa penuntut umum telah mengambil langkah hukum banding atas putusan majelis hakim terhadap kelima terdakwa. Jaksa penuntut umum tengah menyiapkan memori banding berdasarkan pertimbangan putusan majelis hakim.
”Pertimbangan memori bandingnya seperti apa tidak bisa saya sampaikan karena itu merupakan bagian dari strategi jaksa penuntut umum,” kata Bima.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyampaikan, permintaan banding tersebut telah diajukan dan teregistrasi pada Akta Permintaan Banding Nomor 01 sampai 05 atas nama masing-masing terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Upaya hukum banding tersebut diajukan karena putusan majelis hakim dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
”Terutama kerugian yang diderita masyarakat, yakni perekonomian negara, termasuk kerugian negara,” kata Ketut.
Jaksa mendakwa kelima terdakwa tersebut telah memperkaya korporasi, yaitu perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar, Grup Musim Mas, dan Grup Permata Hijau. Perbuatan itu telah merugikan keuangan dan perekonomian negara hingga Rp 18,3 triliun.
Permintaan banding tersebut telah diajukan dan teregistrasi pada Akta Permintaan Banding Nomor 01 sampai 05 atas nama masing-masing terdakwa.
Hakim menilai bahwa kerugian keuangan negara dalam kasus ini berupa keuntungan tidak sah dari setiap perusahaan atas penerbitan persetujuan ekspor senilai Rp 2 triliun.
Meski demikian, terkait dengan kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan dan mahalnya minyak goreng yang mencapai Rp 10 triliun, majelis hakim menyatakan, untuk membuktikan adanya unsur kerugian perekonomian negara, masih terdapat kesulitan. Sebab, ruang lingkupnya terlalu luas dan belum ada metode yang mengatur penghitungan kerugian perekonomian negara.
Kerugian perekonomian
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman menilai, secara formil, jaksa sudah seharusnya mengajukan banding. Sebab, putusan yang dijatuhkan majelis hakim kurang dari dua per tiga sebagaimana tuntutan jaksa. Namun, menurut Boyamin, yang lebih penting adalah bahwa dalam kasus tersebut, perbuatan para terdakwa berdampak luas di masyarakat, bahkan bisa mengancam stabilitas negara.
Oleh karena itu, Boyamin menyayangkan putusan majelis hakim yang tidak hanya jauh dari tuntutan, tetapi terlebih karena penilaian hakim mengenai sulitnya menghitung kerugian perekonomian negara. Menurut dia, adanya saksi ahli yang dihadirkan di persidangan seharusnya bisa membantu majelis hakim untuk mengonstruksikan kerugian perekonomian negara.
”Hakim itu tugasnya juga memaknai putusan dalam konteks memberikankeadilan dan berlindung dengan menyatakan bahwa cakupan kerugian perekonomian itu luas. Ya, seharusnyahakim mempersempitnya karena tugas hakim adalah untuk menemukan hukum,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, kelangkaan minyak goreng yang kemudian mengerek harganya menjadi mahal bukan berarti tidak bisa dihitung. Agar bisa dihitung, hakim dapat membuat batasan dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Dengan demikian, belum adanya aturan yang mengatur tentang penghitungan kerugian perekonomian negara bukan menjadi alasan.
Di sisi lain, perkara korupsi dengan menyertakan kerugian perekonomian negara harus diapresiasi sebagai sebuah terobosan. Sebab, selama ini jarang ada kasus korupsi yang menyertakan kerugian perekonomian negara. Khusus terkait minyak goreng, mestinya hakim bisa melihat bahwa dampak dari kelangkaan minyak goreng tidak hanya sekadar menjadi mahal, tetapi bisa juga menimbulkan gejolak sosial.
”Jadi, terobosan atau kreativitas jaksa seharusnya diapresiasi, termasuk oleh majelis hakim,” kata Boyamin.
Terdakwa juga banding
Tak hanya jaksa, penasihat hukum beberapa terdakwa dalam perkara ini juga mengajukan banding atas putusan hakim terhadap kliennya. Maqdir Ismail selaku penasihat hukum terdakwa Lin Che Wei mengatakan, pihaknya juga telah menyatakan banding terhadap putusan majelis hakim tersebut. Menurut dia, saat ini putusan majelis hakim sedang diperiksa ulang.
”Memori banding pasti segera kami selesaikan kalau putusan yang definitif kami terima,” kata Maqdir.
Aldres Napitupulu selaku penasihat hukum terdakwa Indra Sari juga menyampaikan, pihaknya sudah menyatakan banding. Namun, hingga saat ini pihaknya belum menerima salinan putusan tersebut. Padahal, pertimbangan yang dimuat dalam salinan putusan akan menjadi dasar penyusunan memori banding.