Keseriusan KPK Tangkap Buron di Luar Negeri Dipertanyakan
KPK masih memiliki empat buron yang belum berhasil ditangkap. Dari jumlah tersebut, tiga orang di antaranya terdeteksi berada di luar negeri, yakni Paulus Tannos, Harun Masiku, dan Ricky Ham Pagawak.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengejar para buron, terutama yang berada di luar negeri, kembali dipertanyakan. Pengejaran buron kasus korupsi harus dilakukan secara menyeluruh melalui perpaduan kapasitas penyidik, jaringan kerja, teknologi, kemampuan lobi, sampai negosiasi.
Menurut Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, tidak ada kesulitan bagi KPK untuk menangkap buron di luar negeri. Sebab, pada 2011, KPK mampu memulangkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dari Bogota, Kolombia.
”Jarang kita berhubungan dengan Kolombia. Buktinya dulu KPK bisa menangkap Nazaruddin meski lari dari Singapura kemudian ke Kolombia,” kata Boyamin saat dihubungi di Jakarta, Minggu (29/1/2023).
Adapun tiga buron yang dideteksi berada di luar negeri yakni bekas Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin (tersangka kasus korupsi KTP elektronik); bekas calon anggota legislatif dari PDI-P, Harun Masiku (tersangka kasus suap penetapan anggota DPR periode 2019-2024); dan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak (tersangka dugaan penerimaan suap untuk proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua).
Satu buron KPK lainnya, Kirana Kotama alias Thay Ming, telah masuk daftar pencarian orang (DPO) KPK sejak 15 Juni 2017. Kirana ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi berupa pemberian hadiah atau janji terkait pengadaan pada PT PAL Indonesia.
Boyamin mempertanyakan mengapa sekarang KPK tidak bisa menangkap para buron yang berada di luar negeri. Menurut dia, ketidakmampuan KPK menangkap para buron tersebut karena tidak mau. Hal itu terlihat dari kasus Paulus yang pernah terdeteksi di Thailand, tetapi gagal ditangkap karena terkendala proses penerbitan red notice (permintaan mencari dan menangkap seseorang). Padahal, pengajuan red noticeke Lyon, Perancis, tersebut sudah dilakukan lebih dari lima tahun.
Jika KPK sungguh-sungguh, kata Boyamin, seharusnya dicek ke Perancis dan tidak hanya dengan mengirim surat. Menurut dia, pengurusan red noticeburonan kasus korupsi lebih mudah daripada kasus lainnya, seperti teroris dan narkoba. Bahkan, Boyamin mengetahui beberapa buron bisa ditangkap oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atas bantuan negara lain, seperti Malaysia, tanpa perlu ke Interpol.
Boyamin juga menyayangkan KPK yang mengeluarkan narasi seperti buron biasanya tertangkap dan buron tidak nyenyak tidurnya. Bahkan, Deputi Penindakan KPK Karyoto mengatakan bahwa pengejaran buron terkait dengan nasib. Menurut Boyamin, retorika tersebut dikeluarkan hanya untuk menghindari tanggung jawab.
”Terutama Harun Masiku, ini kan banyak faktor politis, jadi ya menurut saya akan sulit untuk dilakukan penangkapan buron-buron itu. Karena memang kemudian menjadi tidak mau, sehingga tidak mampu,” kata Boyamin.
Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha mengatakan, pengejaran buron kasus korupsi merupakan upaya yang dilakukan secara menyeluruh melalui perpaduan kapasitas penyidik, jaringan kerja, teknologi, kemampuan lobi, sampai negosiasi.
Ia menyayangkan pernyataan Karyoto yang mengatakan bahwa pengejaran buron terkait dengan nasib. Sebab, pengejaran terhadap buron membutuhkan perpaduan yang tidak sederhana.
”Sangatlah disayangkan karena seakan menyederhanakan segala proses yang dilakukan oleh KPK dan hanya bergantung nasib. Seharusnya KPK mampu menunjukkan bukan hanya kapabilitas, tetapi juga integritas ke publik. Bukan seakan melepas tanggung jawab pada nasib,” kata Praswad.
Menurut mantan penyidik KPK tersebut, pernyataan Karyoto menggambarkan situasi yang tidak profesional dalam penanganan kasus yang akan berdampak pada cara kerja kedeputian penindakan ke depan. Praswad menegaskan, Hal tersebut bukan pernyataan sederhana karena menunjukkan cara berpikir terhadap kerja yang dilakukan.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, dalam pencarian keempat DPO yang belum tertangkap, KPK terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait lainnya, baik di dalam maupun luar negeri.
”Karena persembunyian para DPO tersebut tentunya tidak terbatas hanya di wilayah NKRI saja, tetapi juga sangat terbuka kemungkinan mereka mengakses wilayah di luar kewenangan yurisdiksi Indonesia,” kata Firli.
Ia menegaskan, korupsi adalah salah satu kejahatan terorganisasi yang transnasional. Karena itu, tidak hanya pelaku, tetapi juga aset hasil tindak pidana korupsi pun sering kali disembunyikan di luar negeri.
KPK pun menegaskan tidak berhenti meminta dukungan dan peran serta masyarakat. Bagi yang mengetahui keberadaan para DPO tersebut untuk menyampaikan kepada KPK atau penegak hukum terdekat agar informasi tersebut dapat segera ditindaklanjuti.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menambahkan, KPK tidak pernah berhenti mencari para DPO karena menjadi kewajiban KPK untuk menyelesaikan dan membawa para tersangka ke persidangan. Karena itu, bantuan dari masyarakat yang mengetahui keberadaan dari DPO juga penting.
”Bukan berarti kami menyerahkan kepada masyarakat agar melaporkan kepada KPK dan kami diam, tetapi tentu di dalam upaya pencarian DPO KPK dan saya kira ini juga dilakukan oleh penegak hukum yang lain, pasti juga memerlukan kerja sama kita semua,” kata Ali.
Terkait dengan Paulus Tannos, kata Ali, ada pergantian nama, sehingga ada yang luput dalam dokumen administrasi. Adapun dalam kasus Ricky, KPK sudah menetapkan Ricky sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. KPK sudah menelusuri aset-asetnya dan menyita harta bendanya untuk dirampas negara.