Bertambah, Pihak yang Minta Perppu Cipta Kerja Dibatalkan
Kian banyak yang meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Perppu Cipta Kerja. Kali ini, permohonan uji formil Perppu Cipta Kerja diajukan 13 organisasi pekerja.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pihak-pihak yang mempersoalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bertambah. Setelah dipersoalkan oleh sejumlah dosen, pekerja migran, dan beberapa serikat pekerja, Mahkamah Konstitusi kembali menerima pendaftaran dari 13 organisasi pekerja yang meminta pembatalan Perppu Cipta Kerja.
Organisasi pekerja dimaksud ialah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan KSPSI, Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI, Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin SPSI, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi KSPSI, serta Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat. Selain itu, juga Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan, Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, dan Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92.
Didampingi Denny Indrayana dkk selaku kuasa hukum, Rabu (25/1/2023), mereka mendaftarkan perkara uji formil Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, penerbitan perppu tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional meski bersifat potensial.
Kerugian tersebut berkaitan dengan hak-hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum, penghidupan yang layak, mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil, layak, serta jauh dari sistem perbudakan dalam hubungan kerja. Hak-hak tersebut yang dinilai dilanggar dengan terbit dan diundangkannya Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam permohonannya, Denny mengungkapkan, penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan persoalan serius ketatanegaraan. Perppu dinilai tidak melaksanakan putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa proses pembuatan UU Cipta Kerja yang problematis. Selain tidak adanya landasan pembuatan undang-undang dengan metode omnibus law, ada perubahan norma hukum sebelum diundangkan dan tidak adanya partisipasi bermakna yang digarisbawahi oleh putusan MK.
”Dan, karenanya secara teori adalah pelanggaran terhadap konstitusi sehingga masuk ke dalam klasifikasi pengkhianatan terhadap negara yang dapat menjadi pintu masuk pemberhentian (impeachment) terhadap Presiden Joko Widodo,” ungkap Denny dalam permohonannya.
Selain itu, penerbitan Perppu No 2/2022 tersebut juga bertentangan dengan putusan MK No 138/2009 yang sudah memutus syarat adanya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan hukum secara cepat; kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau terdapat undang-undang tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara normal karena memakan waktu lama.
Tiga syarat kegentingan memaksa tersebut merupakan parameter obyektif yang harus digunakan saat Presiden menerbitkan perppu. ”Kegentingan yang memaksa harus dapat dipertanggungjawabkan secara logika dan akal sehat (logic and reasonable). Oleh karena itu, kegentingan yang memaksa tersebut semestinya didasarkan pada ancaman serius yang nyata, bukan perkiraan atau dugaan semata,” ujar Denny.
Ia juga mempersoalkan konsideran penerbitan Perppu Cipta Kerja, khususnya Huruf g, terkait dinamika global akibat kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim, dan terganggunya rantai pasokan yang telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi yang berdampak pada perekonomian nasional. Menurut Denny, pertimbangan tersebut bukan termasuk ancaman yang betul-betul serius dan nyata yang memerlukan perppu.
Lagi pula, putusan MK No 91/2020 juga mengarahkan pembuatan undang-undang, bukan perppu. Perppu tersebut dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap putusan MK No 91/2020. Tindakan menerbitkan Perppu Cipta Kerja boleh dikatakan sebagai pelecehan terhadap MK.
Sementara itu, pemohon uji formil perppu lainnya, yaitu perkara 5/PUU-XXI/2023, yang sidang perdananya dilakukan pekan lalu, telah mengajukan berkas perbaikan permohonan pada Selasa (24/1/2023) meski diberi waktu oleh MK hingga 1 Februari. ”Ini bentuk komitmen kami dalam mengajak Mahkamah Konstitusi untuk menggelar persidangan pengujian formil Perppu Cipta Kerja dengan proses speedy trial (peradilan cepat),” ujar Viktor Santoso Tandiasa.
Dengan demikian, pemohon hanya menggunakan waktu 5 hari dari 14 hari waktu perbaikan yang dihitung sejak sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada 19 Januari 2023. Viktor berharap, MK bisa mengimbangi hal ini dengan memperlihatkan good will untuk menangani perkara ini secara cepat. Apalagi, MK sudah dilecehkan oleh Presiden karena putusannya diabaikan dan tidak dipatuhi.
Selain memasukkan berkas perbaikan permohonan dengan memasukkan nasihat-nasihat yang diberikan hakim pada persidangan sebelumnya, ada pula penambahan jumlah pemohon. Ada tiga pihak yang masuk sebagai pemohon, salah satunya adalah Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa.
Hingga Rabu ini, MK menerima tiga permohonan pengujian uji formil Perppu Cipta Kerja. Perkara pertama, perkara Nomor 5/2023 yang diajukan sejumlah dosen, buruh migran, dan serikat pekerja, kemudian perkara Nomor 6/2023 yang diajukan oleh beberapa serikat pekerja.