DPR Minta Pemerintah Serius Tindak Lanjuti Rekomendasi Tim PPHAM
Perlu ada kompensasi bagi para korban pelanggaran HAM berat dalam bentuk materiil dan nilai ekonomi. Sesuai UU Pengadilan HAM, kompensasi diberikan setelah putusan pengadilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR mengingatkan pemerintah agar menindaklanjuti rekomendasi dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dengan sungguh-sungguh, serius, dan segera. Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, tindak lanjut dan aksi nyata pascarekomendasi adalah momen krusial. Jika tindak lanjut gagal, negara justru menambah beban korban.
”Jika sampai rekomendasi itu hanya dijadikan bahan politik, negara justru menjadi bagian yang turut menzalimi korban. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya,” kata Taufik, Sabtu (21/1/2023).
Dia juga berharap, pemerintah melakukan pencarian dan pengungkapan kebenaran dengan memverifikasi dan validasi laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dokumen dan arsip yang dimiliki negara yang relevan dengan peristiwa pelanggaran HAM yang berat diminta untuk dibuka.
Untuk pencarian kebenaran, dia juga meminta agar korban dilibatkan dan dibuka ruang seluas-luasnya bagi korban untuk menceritakan semua yang dialami sembari melakukan pendataan dan identifikasi korban. Menurut mantan aktivis 1998 itu, apabila pengungkapan kebenaran sudah dilakukan, laporannya bisa dijadikan sejarah resmi negara.
”Buka ruang bersaksi bagi semua pihak yang memiliki informasi mengenai peristiwa. Indentifikasi dampak dan kerugian yang dialami akibat peristiwa tersebut,” katanya.
Adapun terkait program pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban, Taufik meminta agar bentuknya berupa restitusi atau memulihkan keadaan korban terenggut akibat peristiwa pelanggaran HAM berat. Sejumlah korban membutuhkan pemulihan pekerjaan, pendidikan, harta benda, status, dan identitas pribadinya dalam bentuk kebijakan negara kepada individu korban. Selain itu, rehabilitasi yang meliputi pelayanan medis, psikologis bagi para korban.
Dia juga berharap ada kompensasi atau penggantian kerugian korban secara materiil dan nilai ekonomi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kompensasi bisa diberikan kepada korban setelah putusan pengadilan.
”Pemulihan harkat martabat (satisfaction) berupa pemberitahuan kepada korban mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Negara juga perlu meminta maaf atas ketidakmampuan memberikan perlindungan dan membuat simbol peringatan sebagai pengingat akan peristiwa dan para korban,” katanya.
Untuk upaya pencegahan agar peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di masa depan, pemerintah juga diminta untuk membuat reformasi hukum, kebijakan, dan institusi serta langkah perbaikan yang bertujuan agar terdapat jaminan ketidakberulangan (non-reccurence).
Pemerintah juga diminta menyusun langkah-langkah dukungan terhadap proses yudisial dengan memberikan informasi dan data yang diperoleh dari penanganan yudisial.
Anggota Komnas HAM, Anies Hidayah, Jumat (20/1/2023), mengatakan, secara pribadi, dia mempertanyakan kebijakan yang diambil pemerintah. Dia khawatir logika yang digunakan pemerintah melompat. Sebab, idealnya, proses yudisial atau hukumnya berjalan terlebih dahulu. Setelah itu, proses penyelesaian yudisial atau rehabilitasi korban baru bisa berjalan.
”Kami ingin mendorong momentum mekanisme penyelesaian nonyudisial itu dibesarkan karena kalau membaca dokumen Komnas HAM situasinya miskin, akses kesehatan belum punya semua. Kami juga ingin mendorong agar ada terobosan, agar berkas penyelidikan dari Komnas HAM tidak lempar-lemparan dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dan sebaliknya,” ungkapnya.
Wakil Ketua Komnas HAM Abdul Haris Semendawai mengatakan, terkait dengan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial, ada kendala teknis baik kelemahan di undang-undang maupun pola komunikasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Komnas HAM sudah menyampaikan kepada pemerintah agar dibantu terobosan koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Bagi Komnas HAM, paling penting setidaknya ada perbaikan mekanisme penyelidikan agar lebih diakui oleh Kejagung. Jika mekanisme penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sudah diakui Kejagung, sistemnya bisa digunakan untuk kasus-kasus masa lalu maupun masa depan.
”Kami juga sudah berbicara dengan Mahkamah Agung terkait dengan penanganan hukum kasus Paniai. Ternyata tidak seperti yang kami bayangkan. Jaksa sudah melimpahkan kasusnya, tetapi hakimnya belum ada. Begitu juga pada saat proses kasasi, belum ada hakim ad hoc HAM di tingkat kasasi sehingga kasusnya tidak bisa ditangani segera. Padahal, ada batas waktu penyelesaiannya,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan dalam dua bulan ke depan instruksi presiden untuk penyelesaian 11 rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM) bisa dirampungkan. Setelah itu, Presiden Joko Widodo akan mengunjungi korban pelanggaran HAM berat, baik di dalam maupun luar negeri. Selain langkah awal untuk pemulihan korban, hal ini juga diharapkan jadi langkah awal untuk menggali kebenaran menuju rekonsiliasi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (20/1/2023), mengatakan, semua langkah untuk merealisasikan rekomendasi Tim PPHAM akan dituangkan dulu dalam inpres kepada 17 kementerian dan lembaga. Inpres akan dilengkapi dengan keputusan presiden tentang tim pemantau agar materi dan tenggat setiap program dapat terkendali.
”Direncanakan dalam dua bulan ke depan kami sudah akan kick off. Ada usul agar kick off implementasi itu dimulai dengan kenduri dan zikir nasional sesuai dengan spesifikasi kasus dan daerahnya. Namun, ini baru salah satu usul,” katanya.