Saksi Ahli Meringankan Soroti Perintah Atasan Tak Melawan Hukum
Saksi ahli pidana yang dihadirkan penasihat hukum menilai, perintah ”mengamankan” apabila sesuai fungsi dan kewenangan pihak pemberi perintah maupun mendapat perintah, maka tidak bisa masuk kualifikasi melawan hukum.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perintah atasan menjadi sorotan saksi ahli hukum pidana Agus Surono dalam sidang lanjutan perintangan penyidikan perkara pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan terdakwa Agus Nurpatria dan Hendra Kurniawan, Kamis (19/1/2023). Ahli pidana yang dihadirkan penasihat hukum kedua terdakwa itu menilai terdapat perintah yang tidak masuk dalam kualifikasi melawan hukum. Salah satunya perintah ”mengamankan” yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang.
Pembahasan soal perintah atasan bermula ketika Henry Yosodiningrat selaku penasihat hukum Agus Nurpatria dan Hendra Kurniawan bertanya soal unsur dengan maksud dalam Pasal 221 ayat (1) kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang perbuatan menutupi tindak pidana. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini, Henry bertanya kepada Agus Surono yang sebelumnya menjelaskan soal unsur tersebut.
”Berkaitan pasal itu, misal ada orang memberi perintah dan melaksanakan perintah, apakah perbuatan orang memberi dan menerima perintah bisa dikatakan dengan melawan hukum atau dengan sengaja dan tanpa hak?” kata Henry.
Menurut Agus Surono, unsur dengan maksud merupakan salah satu jenis kesengajaan yang di dalamnya mengandung willen en weten (kehendak dan pengetahuan). Artinya, pelaku menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuatan tersebut. Selain berkehendak, pelaku juga mengetahui apa yang diperbuat dan akibatnya.
Adapun kesengajaan itu dilakukan dengan cara tanpa hak yang berarti seseorang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan tersebut atau melawan hukum yang berarti melanggar asas-asas umum dalam lapangan hukum.
Sebelumnya, Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria merupakan mantan bawahan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo, salah satu terdakwa pembunuhan berencana Nofriansyah. Saat di kepolisian, terakhir Hendra menjabat sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Propam Polri, sedangkan Agus Nurpatria menjabat Kepala Detaseman A Biro Propam Polri.
Setelah pembunuhan terhadap Nofriansyah terjadi, keduanya diminta Sambo untuk ”cek dan amankan” kamera pemantau di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, tempat pembunuhan terjadi. Hendra dan Agus adalah dua dari tujuh terdakwa perkara perintangan penyidikan kasus pembunuhan Nofriansyah. Keduanya didakwa merusak barang kamera pemantau di Kompleks Polri Duren Tiga.
Dalam persidangan itu, Henry kemudian memberikan ilustrasi soal pejabat berpangkat komisaris besar yang mengemban fungsi dan kewenangan pengamanan internal (paminal), yang salah satunya pengamanan materiil, diberi perintah mengamankan sebuah ponsel dalam rangka penyelidikan peristiwa tembak-menembak anggota Polri.
”Apakah menjalankan perintah itu melawan hukum?"” tanya Henry.
”Ketika perintah itu diberikan oleh atasan yang memang mempunyai kewenangan untuk itu dan isinya perintah dalam rangka menjalankan fungsinya, maka itu tidak masuk dalam kualifikasi tadi melawan hukum,” tutur Agus, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pancasila ini.
Ketua majelis hakim yang memimpin sidang, Akhmad Suhel, sempat menyela tanya jawab antara penasihat hukum dan ahli pidana. Hakim mengingatkan agar ilustrasi dari penasihat hukum tidak boleh berupa fakta yang menjadi persoalan dalam perkara. Ia meminta penasihat hukum mengajukan pertanyaan yang langsung, tetapi tidak masuk ke substansi dari persidangan.
Henry kemudian melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan terkait Pasal 51 ayat (1) tentang perintah jabatan. ”Apakah pasal tersebut bisa diterapkan kepada pihak yang mendapat perintah dan menjadi pelaku tersebut?” kata Henry.
Menurut Agus, esensi ketentuan itu adalah adanya perintah atasan yang memiliki kewenangan dan adanya perintah dari atasan itu kepada bawahannya. Maka dari itu, konsekuensi bawahan ialah perbuatan yang dilakukannya dibenarkan secara hukum. Dengan demikian, unsur melawan hukumnya dihapuskan.
”Kalau tidak ada unsur melawan hukum, yang merupakan salah satu unsur intrinsik dalam pertanggungjawaban pidana, dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” kata Agus.
Sementara itu, jaksa penuntut umum menekankan bahwa Pasal 51 ayat (1) mengharuskan adanya perintah dari atasan langsung. Jaksa mempertanyakan, apakah perintah diberikan oleh orang yang bukan atasannya langsung memenuhi syarat dari pasal tersebut.
”Selama yang memberi perintah pejabat berwenang, kedudukannya tetap atasan meski tidak ada hubungan struktur, maka tetap memenuhi syarat. Kecuali, perintah diberikan oleh orang yang sudah tidak menjabat lagi,” kata Agus memberikan jawaban.
Di persidangan itu, penasihat hukum kedua terdakwa juga menghadirkan tiga ahli lainnya, yakni ahli pidana forensik Robintan Sulaiman, serta ahli linguistik Andika Duta Bahari dan Frans Asisi Datang.