Aduan Masalah Tanah Meningkat, Menko Polhukam Usulkan Bentuk Pengadilan Agraria
Menko Polhukam Mahfud MD menggagas sejumlah terobosan untuk atasi masalah tanah yang semakin meningkat pengaduannya, di antaranya membentuk Pengadilan Agraria. Payung hukum yang akan digunakan adalah terbitkan perppu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah aduan permasalahan pertanahan yang masuk ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan meningkat selama dua tahun terakhir. Menko Polhukam Mahfud MD pun menggagas sejumlah terobosan untuk mengatasi permasalahan itu, seperti membentuk Pengadilan Agraria.
Rapat percepatan capaian dan alternatif kebijakan program reforma agraria digelar di Kemenko Polhukam, Kamis (19/1/2023), di Jakarta. Rapat itu diikuti sejumlah pejabat, di antaranya Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Dirjen PSKP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Bambang Harymurti, Denny Indrayana, Suidi Tono, dan sejumlah pihak yang memiliki masalah terkait pertanahan.
Tahun 2021 ada 701 laporan pengaduan terkait permasalahan pertanahan. Adapun pada tahun 2022, jumlahnya meningkat menjadi 1.406 laporan pengaduan terkait permasalahan pertanahan.
Mahfud MD menuturkan, persoalan mafia tanah menjadi permasalahan yang sulit diurai karena mafia tanah melakukan pelanggaran hukum, sedangkan penyelesaiannya harus mengikuti tataran hukum. Penyelesaian melalui aturan hukum itu urut-urutannya panjang. Mulai dari harus memeriksa camat yang memberi izin rekomendasi, lurah yang memberi izin, dan kemudian Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal, kasusnya sudah lama sehingga pejabat BPN sudah diganti, lurahnya sudah meninggal, sedangkan notarisnya juga sudah pensiun.
Persoalan mafia tanah menjadi permasalahan yang sulit diurai karena mafia tanah melakukan pelanggaran hukum, sedangkan penyelesaiannya harus mengikuti tataran hukum.
Masyarakat yang diwakili Erros Djarot mengusulkan agar permasalahan tanah itu diselesaikan dengan sejumlah terobosan. Sejumlah permasalahan tanah yang masuk ke Kemenko Polhukam adalah masyarakat telah memiliki hak atas tanah yang dibuktikan dengan dokumen sertifikat, tetapi tanah itu dikuasai atau diserobot oleh pihak lain.
Kasus lain, tiba-tiba terbit sertifikat hak oleh tanah karena sertifikat tanah yang dihuni ada yang memperjualbelikan tanpa sepengetahuan penghuninya. Setelah diadukan ke pengadilan, pihak tersebut kalah sehingga tanah yang dimiliki secara turun-temurun itu tiba-tiba menjadi hotel.
Ada pula klaim tanah adat atau tanah ulayat di atas area tanah bersertifikat di masyarakat. Masyarakat yang menuntut haknya dikembalikan justru dipolisikan.
Selain itu, ada pula sejumlah persoalan lain yang dilaporkan ke Kemenko Polhukam. Menurut Mahfud, harus ada terobosan hukum untuk menjangkau persoalan yang sulit dijangkau dengan aturan hukum yang biasa tersebut.
Untuk mengatasi persoalan itu, dalam rapat di kabinet Indonesia Maju, beberapa kali disebut tentang ide pengadilan tanah dengan hukum acara yang berbeda dengan hukum pidana. Pengadilan Agraria bisa dibentuk dengan terlebih dahulu pemerintah berbicara dengan Mahkamah Agung.
”Pengadilan itu, kan, sudah ada pakemnya. Nanti kami bicarakan apakah pengadilan tanah itu masuk ke PTUN, perdata, atau ke umum. Tetapi, prinsipnya kami sudah berpikir harus dibuat instrumen hukum baru,” katanya.
Pengadilan itu, kan, sudah ada pakemnya. Nanti kami bicarakan apakah pengadilan tanah itu masuk ke PTUN, perdata, atau ke umum. Tetapi, prinsipnya kami sudah berpikir harus dibuat instrumen hukum baru.
Selain berbicara dengan MA, pemerintah juga akan membuat dasar hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai payung hukum pembentukan pengadilan tanah.
Mahfud juga mengakui bahwa karena permasalahan tanah di Indonesia terlalu banyak, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Tanah di Kementerian ATR/BPN tidak mampu menangani kasus tersebut. Penyelesaian kasus terkendala pada prosedur-prosedur dan bukti-bukti yang sifatnya formal sehingga dibutuhkan instrumen hukum baru.
PR yang mengganjal
Secara terpisah, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti mengakui masalah pertanahan hingga kini masih menjadi salah satu pekerjaan rumah yang masih mengganjal. Dia meminta agar hukum pertanahan ditegakkan dengan setegas-tegasnya tanpa pandang bulu. Pemerintah melalui lembaga terkait, yaitu Kementerian ATR/BPN, harus memastikan hukum pertanahan bisa berjalan dengan baik sehingga masyarakat tidak dirugikan. Apalagi, dalam masalah pertanahan, masyarakat kecil adalah obyek yang paling sering menderita kerugian.
Tidak semua masyarakat memahami bagaimana mengurus berkas pertanahan. Jika pun ada, tidak sedikit akhirnya berurusan dengan mafia tanah. Akhirnya, masyarakat harus mengeluarkan uang lebih besar.
”Tidak semua masyarakat memahami bagaimana mengurus berkas pertanahan. Jika pun ada, tidak sedikit akhirnya berurusan dengan mafia tanah. Akhirnya, masyarakat harus mengeluarkan uang lebih besar. Dan, tidak sedikit yang harus tertipu bahkan sertifikat yang dikeluarkan telah berubah nama,” ujar La Nyalla melalui keterangan tertulis.
Dia juga mendukung agar mafia tanah diberantas hingga ke akar-akarnya. Menurut dia, mafia tanah sangat membahayakan masyarakat dan bisa menyebabkan kerugian bagi negara. Jika tidak ada sikap tegas yang menimbulkan efek jera bagi masyarakat, tanah akan menjadi masalah yang tidak terselesaikan.
La Nyalla mencontohkan, seorang tunanetra bernama Banuara Viktor Sihombing (48), warga Cimindi Raya, Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi, Jawa Barat, yang meminta Kementerian ATR/BPN membatalkan sertifikat tanah seluas 3.275 meter persegi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 252 Desa Sundawenang, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi. Sertifikat itu sudah pernah terbit tahun 1992 dan tidak pernah hilang. Surat itu sudah diurusnya sebelum dia mengalami kebutaan. Masalah kemudian timbul pada tahun 2019 saat dia hendak melunasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang di kantor Desa Sundawenang. Namun, staf desa menyampaikan adanya SHM Pengganti Nomor 252 tahun terbit 2017 atas nama Yoerizal Tawi.
”Saya mendukung Kementerian ATR/BPN untuk membantu menyelesaikan masalah yang dialami Banuara Viktor Sihombing,” ungkapnya. (DEA)