Penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat dinilai terhambat karena belum efektifnya peradilan HAM. UU Pengadilan HAM tak dirumuskan dengan niat yang tulus.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diyakini bisa lebih mudah jika Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia direvisi. Hal itu di antaranya yang mengatur soal prosedur penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, penting pula mengatasi problem serius dalam hukum acara pengadilan HAM.
Ketua Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan, Selasa (17/1/2023), aspirasi korban, yang tidak puas dengan pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu dan tetap menuntut agar para pelaku pelanggar HAM diseret ke pengadilan, harus didengarkan. Pasalnya, para korban memiliki hak atas keadilan.
Namun, dia tak memungkiri bahwa selama ini hal itu masih terkendala. Berkas perkara bolak-balik dari Komnas HAM sebagai penyelidik ke Kejaksaan Agung sebagai penyidik karena penyelidikan Komnas HAM dianggap tidak lengkap oleh kejaksaan.
Kepada Presiden, Komnas HAM telah menyampaikan bahwa yang utama harus diperbaiki prosedur penyelidikan dan penyidikan. Untuk itu, Komnas HAM harus duduk bersama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan difasilitasi pemerintah, dan tak tertutup kemungkinan salah satu solusinya, perlunya merevisi UU Pengadilan HAM.
Selain itu, Komnas HAM melihat ada problem serius dengan penerapan hukum acara di pengadilan HAM. Menurut dia, majelis hakim masih menggunakan hukum acara pidana biasa untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat. Akibatnya, unsur-unsur tanggung jawab negara, seperti tindakan sistematis, meluas, dan terstruktur, sulit untuk dibuktikan. Terdakwa juga kerap dibebaskan karena tak cukup bukti.
”Ada persoalan fundamental yang harus diselesaikan, salah satunya merevisi Undang-Undang Pengadilan HAM,” ucap Atnike.
Total ada empat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terdakwanya divonis bebas, yakni Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984, Abepura 2000, dan Paniai 2014. Seusai rapat kabinet terbatas membahas tindak lanjut laporan dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat, Senin (16/1), Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan bahwa Presiden meminta Kejagung berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk penyelesaian yudisial kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Kasus Timor Timur
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, juga melihat penegakan hukum terhambat karena masih belum efektifnya peradilan HAM. Pengadilan HAM yang dibentuk lewat UU No 26/2000 dinilainya tidak dirumuskan dengan niat yang tulus. Hanya dibuat agar negara bisa menghindar dari peradilan internasional untuk kasus Timor Timur.
Direktur Amnesty International Usman Hamid pun melihat pengadilan HAM belum memiliki hukum acara yang memadai sehingga pelaksanaannya kerap sekali bersandar pada hukum acara di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Beberapa definisi mengenai pelanggaran juga tidak dijelaskan dengan baik.
Akibatnya, pembuktian kejadian pelanggaran HAM menggunakan pendekatan di KUHP. Padahal, tindakan pelanggaran HAM adalah peristiwa kriminalitas luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan tindakan pembunuhan pada umumnya. Hal ini pula yang membuat para pelanggar HAM bisa saja melenggang bebas dari peradilan HAM. Revisi aturan ini dibutuhkan agar para pelaku bisa dijerat dengan hukum yang ada.
Meskipun begitu, pemerintah dinilainya tak perlu menunggu hukum acara peradilan HAM bisa dirumuskan dengan sempurna karena penegak hukum bisa mengambil langkah lain, yakni dengan membentuk tim penyelidikan khusus.