Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo mengatakan, korban Peristiwa 1965-1966 mengapresiasi pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi. Harapannya, pemerintah juga meluruskan sejarah untuk memutus stigma.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korban pelanggaran hak asasi manusia berat berharap pemerintah tidak berhenti pada sekadar pengakuan dan penyesalan terhadap terjadinya 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Sejumlah korban berharap pemerintah juga melakukan pelurusan sejarah untuk memutus rantai stigmatisasi dan diskriminasi para korban.
Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Bedjo Untung, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/1/2023), mengatakan, korban Peristiwa 1965-1966 mengapresiasi pengakuan dan penyesalan resmi dari Presiden Joko Widodo. Itu merupakan salah satu dari tuntutan korban. Meskipun demikian, korban berharap langkah pemerintah tidak berhenti sampai di situ. Bagi para korban, hal itu tidak cukup karena begitu dahsyatnya kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965-1999. Nyawa dan harga diri manusia tidak bisa ditukar dengan bantuan atau santunan.
”Yang paling penting bagi kami adalah supaya negara betul-betul mengungkapkan kebenaran. Kami ingin kejelasan peristiwanya. Sudah banyak temuan yang ditulis dari peneliti dalam dan luar negeri tentang kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Itu bisa digunakan sebagai sumber-sumber meluruskan sejarah,” kata Bedjo.
Pengungkapan kebenaran terhadap Peristiwa 1965, menurut dia, dibutuhkan untuk menghentikan persekusi, diskriminasi, dan stigmatisasi terhadap korban. Selama ini, korban tidak bisa berorganisasi dengan terbuka karena masih ada sejumlah peraturan diskriminasi yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Dia meminta agar pasal-pasal yang usang itu dicabut. Setelah itu, para korban baru bisa melakukan rekonsiliasi.
”Kami mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut peraturan yang dibuat oleh rezim Orde Baru yang penuh dengan kebohongan,” ucapnya.
Kami mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut peraturan yang dibuat oleh rezim Orde Baru yang penuh dengan kebohongan.
Sekretaris Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin menyebut, pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM yang berat merupakan peristiwa yang bersejarah bagi korban dan keluarga korban. Pernyataan Jokowi itu merupakan buah dari perjuangan panjang para korban dan keluarga korban. Pernyataan Presiden juga merupakan langkah yang baik bagi upaya penyelesaian secara menyeluruh atas pelanggaran HAM berat.
Kami juga didiskriminasi secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan adanya perlakuan yang berbeda dari warga negara atau masyarakat lainnya.
”Sepanjang enam dasawarsa berlalu, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang berat telah menanggung banyak derita atas stigma yang dialami. Kami juga didiskriminasi secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan adanya perlakuan yang berbeda dari warga negara atau masyarakat lainnya,” ucapnya.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, berpandangan, pengakuan negara atas terjadinya 12 pelanggaran HAM berat merupakan batu pijakan bagi langkah berikutnya untuk menunaikan kewajiban negara terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat dan pemenuhan hak-hak korban. Menurut dia, pengakuan negara merupakan peristiwa penting dalam kehidupan bernegara karena negara telah mengakui adanya kesalahan di masa lalu yang menjadi catatan kelam dalam sejarah kehidupan bangsa.
”Pengakuan itu mesti diikuti dengan rasa penyesalan mendalam atas kesalahan negara yang telah diperbuat di masa lalu. Pengakuan ini seharusnya membuka pintu bagi langkah selanjutnya, yaitu mengungkapkan fakta kebenaran atas peristiwa tersebut, mengusut pelaku, dan melakukan penegakan hukum, mengidentifikasi korban serta memulihkan hak-hak korban, serta melakukan evaluasi dan reformasi kebijakan, hukum, dan institusi untuk mencegah berulangnya peristiwa di masa mendatang,” ujarnya.
Pengakuan ini seharusnya membuka pintu bagi langkah selanjutnya yaitu mengungkapkan fakta kebenaran atas peristiwa tersebut, mengusut pelaku dan melakukan penegakan hukum, mengidentifikasi korban serta memulihkan hak-hak korban, serta melakukan evaluasi dan reformasi kebijakan, hukum dan institusi untuk mencegah berulangnya peristiwa di masa mendatang.
Dia juga berharap dalam waktu dekat ini sudah ada program tindak lanjut dari negara secara sistematis, terukur, realistis, dan komprehensif untuk pemulihan hak-hak korban.
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, skema pemulihan yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pembangunan memorabilia, penerbitan dokumen kependudukan yang selama ini terkendala, pemberian beasiswa rehabilitasi medis dan psikis perlindungan korban, pelatihan, usaha pertanian, peternakan, serta pemberian hak pensiun bagi TNI/Polri.
”Korban pelanggaran HAM berat akan mendapatkan program bantuan itu secara khusus tanpa harus seleksi seperti warga negara lain. Mereka akan diberi akses bantuan by name dan by address,” katanya.
Dalam waktu dekat ini, lanjutnya, Presiden akan melakukan rapat kabinet untuk memberikan penugasan bagi sejumlah menteri. Menteri akan diberi tugas dan target waktu untuk menjalankan rekomendasi dari tim PPHAM. Jika target tidak berjalan, Presiden juga akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawal implementasi rekomendasi tersebut. Satgas akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pemenuhan hak-hak korban, jelasnya, juga tidak akan menegasikan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial. Penyelesaian secara yudisial merupakan ranah tanggung jawab dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Untuk peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, DPR akan memutuskan dan meminta kepada Presiden untuk melakukan Pengadilan HAM Ad Hoc masa lalu.