Meski mengaku bersalah dan menyesal atas kasus penembakan terhadap Brigadir J, Ferdy Sambo berkukuh bahwa dirinya tidak memerintahkan Richard Eliezer untuk menembak Brigadir J.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo, mengakui salah dan menyesal atas penembakan terhadap Nofriansyah. Meski demikian, Sambo tetap pada keterangannya bahwa yang ia perintahkan kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu adalah ”hajar”, bukan ”tembak”.
”Saya merasa bersalah karena emosi menutup logika saya. Saya sampaikan rasa bersalah dan penyesalan, pertama kepada keluarga korban karena emosi saya menyebabkan putra keluarga, Yosua, meninggal dunia,” kata Sambo di akhir sidang kasus pembunuhan berencana Nofriansyah dengan agenda pemeriksaan Sambo, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/1/2023).
Di dalam kesempatan itu, Sambo juga meminta maaf kepada semua terdakwa yang terjerat dalam kasus tersebut, termasuk dalam kasus perintangan penyidikan pembunuhan Nofriansyah. Sambo pun meminta maaf kepada Kepala Kepolisian Negara RI, institusi Polri, istri dan anaknya, juga kepada Presiden dan masyarakat Indonesia.
Selain itu, Sambo meminta kepada majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk menilai dengan bijak dan obyektif terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Sambo pun menegaskan bahwa ia mengaku bersalah akibat emosi yang kemudian menutup logikanya.
Atas pernyataan Sambo, ketua majelis hakim Wahyu Imam Santoso akan mencatatnya. ”Baik kami akan catat penyesalan saudara dan pengakuan saudara merasa bersalah tadi,” kata Wahyu Iman Santoso.
Di dalam permintaan maaf yang salah satunya ditujukan kepada Richard, Sambo memberikan pernyataan bahwa perintah ”hajar” kepada Nofriansyah di rumah dinas Duren Tiga ternyata diwujudkan dengan penembakan kepada Nofriansyah. Meski begitu, Sambo menyatakan akan bertanggung jawab.
Terkait dengan perintah ”hajar” tersebut, ketua majelis hakim mengungkapkan bahwa dalam keterangan Richard, perintah yang disampaikan Sambo adalah ”tembak”, bukan ”hajar”. Terkait hal itu, Sambo tetap memastikan bahwa ia memberikan perintah ”hajar”.
Ketika ketua majelis hakim menghubungkan perintah tersebut dengan keterangan Sambo saat memanggil Richard di rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling, Sambo mengatakan, dirinya tidak sempat memikirkan perintah yang akan disampaikan saat itu. Saat itu, Sambo meminta Richard untuk melakukan ”back-up” dan tembak jika Nofriansyah melawan.
Di dalam sidang, ketua majelis hakim melakukan konfirmasi terhadap keterangan Sambo yang berbeda dengan keterangan saksi atau terdakwa lain. Salah satunya adalah keterangan Sambo yang sempat mengatakan ”stop” sesaat setelah Richard menembak Nofriansyah beberapa kali, sementara para saksi yang ada di ruangan saat itu tidak ada yang memberikan keterangan tentang adanya kalimat atau perintah ”stop” dari Sambo, termasuk keterangan dari Ricky Rizal.
”Saya masih sempat menyampaikan itu, Yang Mulia, karena memang situasi waktu itu sangat cepat sehingga saya refleks menyampaikan untuk stop, berhenti, setelah Yosua roboh,” kata Sambo.
Ketua majelis hakim juga mempertanyakan keterangan Sambo yang menceritakan bahwa ia berhenti di rumah dinas Duren Tiga, Jakarta, karena sempat melihat Nofriansyah melewati rumah tersebut sembari mengendarai mobil. Ketua majelis hakim meragukannya karena pintu pagar terlalu tinggi untuk dilihat dari luar dalam posisi duduk di mobil.
Demikian pula ketua majelis hakim mempertanyakan keterangan Sambo mengenai senjata api yang terjatuh sesaat setelah Sambo keluar dari mobil adalah jenis Combat Wilson. Sementara keterangan ajudan Sambo, Adzan Romer, mengatakan, senjata api yang jatuh adalah jenis HS warna hitam.
Ketua majelis hakim juga mempertanyakan keterangan Sambo tentang adanya percakapan antara Sambo dan Nofriansyah sesaat sebelum Nofriansyah ditembak. Keterangan Sambo menyatakan, saat itu, ia sempat bertanya kepada Nofriansyah tentang perbuatan kurang ajar kepada Putri Candrawathi, istri Sambo, ketika berada di Magelang. Nofriansyah disebut sempat menantang Sambo dengan mempertanyakan maksud perbuatan kurang ajar tersebut.
”Saudara terdakwa, saya ingatkan bahwa dari keterangan terdakwa Richard Eliezer, Ricky Rizal, maupun Kuat Ma’ruf di persidangan tidak ada yang menerangkan bahwa saudara sempat bercakap-cakap dengan korban,” ujar ketua majelis hakim.
Keterangan Sambo lainnya yang dipertanyakan ketua majelis hakim adalah tentang penggunaan senjata api jenis HS milik Nofriansyah yang digunakan Sambo untuk menembak dinding guna mendukung skenario tembak-menembak antara Nofriansyah dan Richard. Sementara keterangan Ricky dan Richard menyebutkan, senjata api HS milik Nofriansyah masih diamankan Ricky di dalam mobil yang ditumpangi Putri dari Magelang menuju Jakarta.
Sambo pun tetap menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak menembak Nofriansyah ketika ketua majelis hakim mempertanyakan adanya selisih jumlah peluru dari senpi jenis Glock 17 yang ditembakkan Richard kepada Nofriansyah. Sementara dari hasil otopsi terdapat 7 tembakan masuk ke tubuh Nofriansyah.
Terkait dengan kasus perintangan penyidikan, Sambo mengaku bahwa ia telah memberikan perintah untuk menghancurkan dan memusnahkan rekaman kamera pengawas yang memperlihatkan Nofriansyah masih hidup ketika Sambo masuk ke rumah dinas Duren Tiga. Menurut Sambo, ia tidak memperkirakan bahwa rekaman kamera pengawas tersebut juga mengarah ke dalam taman rumah dinasnya.
Terkait dengan motif pembunuhan Nofriansyah, ketua majelis hakim mempertanyakan tentang tidak adanya saksi yang menyaksikan adanya peristiwa pelecehan seksual terhadap Putri di Magelang. Meski demikian, Sambo menegaskan bahwa ia mempercayai istrinya dan mengatakan bahwa Putri tidak mungkin berbohong mengenai hal itu.
”Saya tidak mungkin mengarang istri saya diperkosa. Apa manfaatnya buat saya. Saya yakini bahwa ini terjadi sehingga kemudian, saya sekali lagi mohon maaf, saya harus melakukan ini karena sudah terjadi penembakan,” tutur Sambo.
Dengan telah selesainya pemeriksaan Sambo sebagai terdakwa, ketua majelis hakim pun meminta jaksa penuntut umum untuk segera menyiapkan surat tuntutan. Jaksa penuntut umum meminta agar diberi waktu dua minggu untuk menyusun surat tuntutan, tetapi permintaan itu ditolak ketua majelis hakim.
”Satu minggu saja saudara jaksa penuntut umum, sama dengan terdakwa lain. Karena waktu penahanan berjalan terus sehingga kita akan selesaikan sebelum waktu penahanan habis,” kata ketua majelis hakim.