ICW memproyeksikan kasus korupsi dengan modus manipulasi saham memanfaatkan pasar modal dan teknologi informasi berpotensi semakin masif terjadi pada 2023.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Suasana acara peluncuran pandangan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi tahun 2023 di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Jumat (6/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Manipulasi saham dan pemanfaatan dompet digital ditengarai menjadi modus baru korupsi yang bakal semakin marak terjadi pada 2023. Aparat parat penegak hukum dituntut untuk mengantisipasi modus-modus baru korupsi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi tersebut.
Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW Wana Alamsyah mengungkapkan, sejumlah modus baru korupsi bermunculan dalam tiga tahun terakhir. Salah satunya manipuasi saham memanfaatkan pasar modal.
”ICW memproyeksikan kasus korupsi dengan modus manipulasi saham memanfaatkan pasar modal berpotensi semakin masif terjadi. Gejala-gejala tersebut telah terlihat dari temuan ICW serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2022. Untuk itu, penegak hukum harus mengantisipasinya pada tahun ini,” ujar Wana Alamsyah dalam peluncuran Outlook 2023 ”Kemunduran Demokrasi dan Runtuhnya Agenda Antikorupsi: Refleksi dan Tantangan Pemberantasan Korupsi”, di Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Temuan ICW pada 2021 mengungkap, setidaknya ada dua kasus korupsi dengan modus manipulasi saham. Kasus yang dimaksud adalah dugaan korupsi di dua perusahaan asuransi besar, yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). Kerugian negara akibat kasus korupsi Jiwasraya mencapai Rp 16 triliun, sedangkan Asabri Rp 22,7 triliun.
Modus manipulasi saham atau pemanfaatan pasar modal yang menjadi temuan ICW itu juga sejalan dengan catatan PPATK pada akhir tahun 2022. Berdasarkan catatan PPATK, terdapat 1.215 laporan transaksi keuangan mencurigakan dengan nilai Rp 183,8 triliun. Transaksi sebesar lebih dari Rp 81,3 triliun di antaranya diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Hasil analisis PPATK juga menyebutkan, dana hasil korupsi umumnya ditransaksikan melalui penukaran valuta asing, penggunaan instrumen pasar modal, dan pembukaan polis asuransi.
ICW memproyeksikan kasus korupsi dengan modus manipulasi saham memanfaatkan pasar modal berpotensi semakin masif terjadi. Gejala-gejala tersebut telah terlihat dari temuan ICW dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2022. Untuk itu, penegak hukum harus mengantisipasinya pada tahun ini
Temuan-temuan itu, kata Wana, seharusnya segera ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Namun bersamaan itu, kompetensi penegak hukum juga perlu ditingkatkan agar bisa menangani modus-modus baru tindak pidana korupsi. Sebab, seiring dengan perkembangan teknologi bukan tidak mungkin semakin banyak modus korupsi yang bermunculan. Misalnya penggunaan dompet digital untuk menampung dana hasil korupsi atau pembelian aset kripto dengan menggunakan uang hasil rasuah.
Kendati belum ditemukan kasus korupsi dengan modus pemanfaatan teknologi digital, penegak hukum perlu bersiap. "Salah satu yang bisa dilakukan penegak hukum adalah mencoba menyisir transaksi-transaksi melalui dompet digital. Pada intinya, jangan sampai koruptornya lebih pintar dari penegak hukumnya," ucap Wana.
Koordinator ICW Agus Sunaryanto menambahkan, penegak hukum bisa menggandeng pihak-pihak yang terkait dengan pembayaran digital, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengantisipasi modus baru rasuah tersebut. Penegak hukum dapat meminta kedua lembaga itu untuk memantau secara periodik transaksi keuangan.
"Ini juga dapat diterapkan ketika hendak melihat ada tidaknya politik uang. Sebab, memasuki tahun politik, bukan tidak mungkin ada perubahan cara transfer uang untuk memenangkan suara. Terlebih, sekarang ada banyak platform pembayaran digital," ucap Agus.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW Wana Alamsyah (kanan) berbicara dalam acara peluncuran pandangan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi tahun 2023 di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Jumat (6/1/2023).
Sebelumnya dalam rilis catatan kinerja 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkap telah menerima 4.623 laporan rasuah dari masyarakat. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, banyaknya laporan menunjukkan tingginya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Namun, hal itu juga memperlihatkan kasus korupsi tetap marak dan bahkan terus berkembang mengikuti kemajuan teknologi informasi.
Senada dengan Firli, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, pelaku korupsi terutama suap sudah lebih berhati-hati dan lihai dalam menjalankan aksinya. Bahkan, kata Ghufron, komunikasi dan transaksi pelaku suap pun sudah semakin canggih sehingga sulit terdeteksi.
"Para pelaku ini, misalnya, pakai koding atau aplikasi yang sulit disadap. Artinya, prosesnya sudah semakin canggih. Namun, kami tidak akan melihatnya sebagai hambatan. Bagi kami, ini tantangan yang harus diselesaikan," ujar Ghufron.
Politik uang
Selain modus baru korupsi, praktik politik uang juga menjadi tantangan pemberantasan korupsi tahun ini. Pasalnya, sejumlah tahapan strategis, seperti pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg) dan kampanye pemilu, berlangsung pada tahun 2023 ini.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai gencar mengampanyekan anti politik uang dan politik sara. Kampanye anti politik uang dan politik sara itu salahsatunya dilakukan dengan pemasangan spanduk, seperti yang dipasang di sepanjang Jalan Ceger Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (5/3/2020).
Koordinator Divisi Hukum ICW Lalola Easter mengungkapkan, politik uang biasanya diawali dengan suap oleh calon anggota legislatif (caleg) kepada pimpinan partai politik (parpol). Uang itu diberikan untuk memperoleh dukungan partai sekaligus memperebutkan nomor urut caleg.
Praktik politik uang juga biasanya terjadi saat masa kampanye. Tidak sedikit caleg yang memberikan uang atau barang kepada pemilih dengan harapan mendapat dukungan dan dipilih saat pemungutan suara.
Easter menengarai, politik uang semakin massif jelang Pemilu 2024 karena praktik politik uang masih dianggap wajar oleh mayoritas masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga terhantam pandemi dan kini menghadapi ancaman resesi. ”Dengan demikian, bukan tidak mungkin penerimaan politik uang oleh masyarakat semakin meningkat dan masif,” ucapnya.