MA Terjunkan 26 ”Mystery Shopper” untuk Tutup Celah Korupsi
Setelah dugaan suap penanganan perkara pailit KSP Intidana yang melibatkan dua hakim agung non-aktif, Sudrajad Dimyati dan Gasalba Saleh, sebanyak 26 ”mystery shopper” diterjunkan di MA.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terkuaknya dugaan praktik jual beli perkara di Mahkamah Agung atau MA menjadi momentum untuk menutup semua celah-celah atau kemungkinan masuknya ”mafia” yang beroperasi di pengadilan. Mahkamah Agung sudah mengintensifkan pengawasan aparat pengadilan, terutama MA, dengan menerjunkan lebih banyak mystery shopper atau pengawas yang berpura-pura menjadi pihak berperkara.
Pada tahun 2022, tepatnya setelah dugaan suap penangan perkara pailit KSP Intidana yang melibatkan dua hakim agung non-aktif Sudrajad Dimyati dan Gasalba Saleh, 26 mystery shopper diterjunkan di MA. Terkait peristiwa ini, Ketua MA M Syarifuddin melontar permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat atas insiden yang terjadi di institusi yang dipimpinnya. Ia sadar peristiwa tersebut telah mencoreng wajah peradilan di Indonesia.
”Oleh karena itu, atas nama pimpinan Mahkamah Agung saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para sesepuh dan senior kami, dan seluruh masyarakat Indonesia atas kejadian yang menimpa dua hakim agung dan beberapa aparatur Mahkamah Agung tersebut. Kami akan jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran untuk upaya pembenahan tubuh peradilan ke depannya,” kata Syarifuddin dalam konferensi pers refleksi akhir tahun MA 2022, yang diselenggarakan secara daring, Selasa (3/1/2013).
Dalam kaitannya dengan itu, pihaknya telah melakukan sejumlah langkah. Hal itu antara lain mengintensifkan pengawasan secara partisipatif (mystery shopper) dan memasang kamera pengawas di lokasi yang diduga potensial terjadinya penyimpangan yang terhubung langsung dengan ruang ketua Badan Pengawas MA.
Terkait mystery shopper, Syarifuddin mengungkapkan tidak ada yang mengetahui siapa saja mystery shopper yang ditunjuk oleh Badan Pengawas MA. Ia memastikan orang-orang tersebut berasal dari berbagai pengadilan yang tidak dikenal oleh pegawai-pegawai satuan kerja yang disasar. Pegawai-pegawai tersebut dibekali dengan alat-alat seperti alat perekam dan sebagainya.
Teknik pengawasan ”mystery shopper” atau dengan menyamar sebagai pihak berperkara tersebut diawali sejak 2018. Pada saat itu, Teknik tersebut merupakan bagian dari program managemen risiko Bawas MA yang diterapkan dengan terjunnya pimpinan MA ke pengadilan-pengadilan yang ”dipantau” atau berpotensi terjadi kasus korupsi.
Ketua MA menerbitkan Surat Keputusan Nomor 73/KMA/III/2018 tentang Pedoman Uji Integritas Pelayanan Publik Pengadilan (PUIP3). Mystery shopper dilakukan dalam rangka pengawasan penyelenggaran peradilan, juga untuk menjaga integritas aparatur pengadilan sekaligus meningkatkan kepercyaan publik.
Di bidang pengawasan, MA sudah menjatuhkan sanksi terhadap 271 hakim dan aparat pengadilan, baik sanksi berat, sedang maupun ringan. Mayoritas aparat pengadilan yang dijatuhi sanksi adalah hakim dan hakim ad hoc yang mencapai 146 orang, disusul oleh pejabat teknis seperti panitera, panitera muda, panitera pengganti, juru sita, dan juru sita pengganti sebanyak 85 orang. Sementara pejabat struktural yang dikenai sanksi sebanyak 19 orang.
Sanksi terhadap aparat pengadilan tersebut sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan tahun 2021. Sebab, pada tahun tersebut, MA menghukum 284 aparat pengadilan, yang terdiri dari hakim dan hakim ad hoc sebanyak 138 orang, petugas teknis (panitera dan lain-lain) sebanyak 107 orang, pejabat struktural 20 orang, dan lainnya.
Ketua MA mengakui aspek integritas menjadi kunci dalam upaya membangun peradilan yang bersih dan berwibawa. Ke depan, pihaknya akan membenahi dan memperbaiki lembaga pengadilan dengan menguatkan fungsi pengawasan dan pembinaan agar pelanggaran disiplin bisa berkurang.
Dalam kaitan dengan menjaga integritas petugas teknis, seperti panitera, panitera muda, dan panitera pengganti, MA sudah mengeluarkan kebijakan dalam pengisian jabatan tersebut. Proses itu melibatkan seleksi rekam jejak integritas yang bersangkutan, dengan memanfaatkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pengawas MA, Komisi Yudisial, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan lainnya. MA, kata Syarifuddin, juga mengeksaminasi sejumlah putusan dari calon panitera, panitera muda, dan panitera pengganti yang akan bertugas membantu hakim agung tersebut.
Pada tahun 2022, jumlah perkara yang masuk ke MA naik hingga 47,57 persen, yaitu dari 19.209 perkara menjadi 28.347 perkara. Dengan begitu, total beban perkara MA (ditambahi dengan sisa perkara tahun lalu 175 perkara) menjadi 28.522 perkara.
Dari jumlah tersebut, 28.371 perkara atau 99,47 persen dari total beban perkara sudah diputus per 29 Desember 2022. Meskipun ada masalah dengan dua hakim agungnya yang kini menjadi tersangka di KPK, rasio produktivitas MA memutus perkara melampaui target, yaitu hingga 75 persen. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan rasio produktivitas 1,7 persen.
Peningkatan yang cukup signifikan terlihat dari kerja minutasi MA. Apabila pada produktivitas minutasi pada tahun 2021 ada 21.586 perkara, tahun 2022 menjadi 30.195 perkara yang salinan putusannya berhasil diselesaikan dan dikirim ke pengadilan pengaju.
”Jumlah minutasi perkara pada tahun 2022 merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Mahkamah Agung. Kami yakin dan percaya insya Allah selama 1 tahun ke depan bisa kami kikis, hanya yang diputus dalam bulan Desember saja, begitu pula dengan perkara yang belum diputus hanya yang masuk di bulan Desember saja,” ujar Syarifuddin.
Direktur Indonesia Judicial Research Society (ICJRS) Dio Ashar Wicaksana memandang perlu adanya upaya pembatasan perkara masuk ke MA, khususnya perkara kasasi. Ia menilai perlunya hakim junior yang menyeleksi perkara mana yang layak masuk kasasi dan mana yang tidak.
Adapun, kasasi merupakan upaya hukum yang fokus pada pemeriksaan penerapan hukum yang dilakukan hakim sebelumnya (MA sebagai judex juris), tidak lagi memeriksa fakta (judex facti). Perlu ada kesamaan dalam penerapan hukum terkait dengan hal tersebut.
”Saat ini seleksi perkara ke MA adalah seleksi secara administrasi, berkasnya lengkap atau tidak,” ujar Dio.
Terkait dengan substansi perkara, pemeriksaan dilakukan oleh hakim agung. Apabila dinyatakan bukan kewenangan MA, maka perkara tersebut akan dinyatakan tidak diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO). Selain itu, pembatasan kasasi juga perlu dilakukan oleh penegak hukum yang lain seperti kejaksaan. Kejaksaan juga harus berperan dalam pembatasan perkara dengan hanya mengajukan kasasi terkait penerapan hukum hakim.