Selama 2022, Akuntabilitas Masih Jadi Catatan Kinerja DPR
Akuntabilitas kinerja DPR semakin bermasalah dengan minimnya dokumentasi rapat-rapat yang bisa diakses publik. Dari 402 rapat yang dilakukan seluruh alat kelengkapan dewan, hanya ada 196 laporan singkat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Masyarakat sipil menyoroti minimnya akuntabilitas dan partisipasi bermakna masyarakat dalami kinerja Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang 2022. Sebagian besar rancangan undang-undang atau RUU yang masuk dalam program legislasi nasional prioritas tidak dilengkapi dengan naskah akademik dan draf RUU. Mayoritas rapat dan pembahasan RUU pun tidak disertai dengan dokumen yang bisa diakses publik.
Sejumlah fakta tersebut terungkap dalam penelitian Indonesia Parliament Center (IPC) sepanjang 2022. Peneliti IPC Choris Satun Nikmah memaparkan, terdapat 62 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Dari 62 RUU tersebut, 25 RUU di antaranya dalam tahap penyusunan, sedangkan 18 RUU ada pada pembicaraan tingkat I dan 19 RUU lainnya sudah masuk ke pembicaraan tingkat II.
Choris melanjutkan, meski sudah masuk ke prolegnas prioritas tahunan, sebagian besar RUU tersebut tidak dilengkapi naskah akademik. Padahal, merujuk Pasal 43 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai dengan naskah akademik. “Dari total 62 RUU, hanya 15,5 persen (25 RUU) yang dilengkapi naskah akademik dan 16,1 persen (26 RUU) yang dilengkapi draf RUU,” ujar Choris dalam siaran pers daring, Kamis (29/12/2022).
Ia menambahkan, selain tak sejalan dengan UU, ketiadaan naskah akademik dan draf RUU yang tengah dibahas berdampak pada minimya partisipasi publik dalam pembahasan RUU. Sebab, masyarakat tidak punya acuan untuk mengikuti apa yang sedang dibahas. Ketiadaan dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa proses pembahasan RUU tidak transparan dan akuntabel.
Akuntabilitas kinerja DPR semakin bermasalah dengan minimnya dokumentasi rapat-rapat yang bisa diakses publik. Dari total 402 rapat yang dilakukan seluruh alat kelengkapan dewan, hanya ada 196 laporan singkat, 20 catatan rapat, dan 33 risalah yang dipublikasikan.
Dilihat dari catatan rapat dengar pendapat umum (RDPU), hanya ada lima RUU yang pembahasannya melibatkan sejumlah elemen masyarakat.
Tak hanya itu, dilihat dari catatan rapat dengar pendapat umum (RDPU), hanya ada lima RUU yang pembahasannya melibatkan sejumlah elemen masyarakat. Sebanyak lima RUU dimaksud adalah RUU tentang Praktik Psikologi, RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU tentang Pelindungan Data Pribadi, RUU tentang Ibu Kota Negara, dan RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
“Akuntabilitas kinerja DPR memang masih jauh dari harapan,” kata Arbain, Manajer Program IPC.
Menurut dia, hal itu terjadi di antaranya karena UU PPP tidak mengatur secara lengkap mengenai dokumen pembentukan UU apa saja yang seharusnya bisa diakses publik. Selain itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR juga tidak melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi Peraturan Sekretaris Jenderal DPR mengenai panduan pengisian sistem informasi legislasi. “Fraksi dan partai politik juga tidak berperan mengawasi akuntabilitas para anggotanya di DPR,” kata Arbain.
Mengenai partisipasi bermakna, lanjut Arbain, hal tersebut juga masih menjadi pekerjaan rumah. Sebab, hak publik untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang dikemukakan, sebagaimana diatur dalam UU PPP masih longgar. Ke depan, hal itu semestinya bisa diperkuat dengan membuat aturan turunan berupa peraturan DPR.
"Partisipasi bermakna belum terwujud karena UU PPP belum sungguh-sungguh mengaturnya dan aturan yang ada tidak diikuti dengan peraturan DPR, dengan begitu DPR bisa berlaku semaunya saja," ujar Arbain.