Pesan Masyarakat Sipil agar KPU Terhindar dari Agenda Penundaan Pemilu
KPU dan Bawaslu dituntut untuk mengusut tuntas dugaan manipulasi dalam tahapan verifikasi faktual parpol calon peserta Pemilu 2024. Pengusutan ini penting untuk menghindari upaya mendelegitimasi pemilu.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
Dugaan manipulasi verifikasi faktual menyeruak beberapa hari menjelang pengumuman serta penetapan partai politik peserta Pemilihan Umum 2024. Isu itu tak pelak menimbulkan kekhawatiran dari kalangan masyarakat sipil akan adanya upaya untuk mendelegitimasi proses pemilu yang berujung pada usulan agenda-agenda politik, seperti penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Kalangan masyarakat sipil pun meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera mengusut tuntas dugaan manipulasi verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024 tersebut. Mereka meyakini pengusutan akan menutup celah bagi upaya-upaya untuk mendelegitimasi pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kalau ada tikus di lumbung, tangkap tikusnya, bukan bakar lumbungnya. Artinya, selesaikan masalahnya. Usut tuntas. Jangan sampai muncul pernyataan, ’Kalau KPU curang, untuk apa pemilu? Lebih baik pemilu ditunda saja!’,” kata Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo dalam diskusi bertajuk ”Seberapa Demokratiskah Politik Elektoral Menuju Pemilu 2024?”, Kamis (15/12/2022), di Jakarta.
Tiga hari jelang penetapan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024, tepatnya Minggu (11/12/2022), masyarakat sipil mengungkap temuan dugaan manipulasi data hasil verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024 di Sulawesi Selatan. Mereka juga mengantongi temuan serupa di beberapa daerah lain. Hal ini sejalan dengan informasi dan dokumen-dokumen berita acara verifikasi faktual parpol tahap pertama yang diterima tim Kompas dari penyelenggara pemilu di sejumlah provinsi serta kabupaten dan kota.
Ari tak dapat memungkiri bahwa potensi pelanggaran dari penyelenggara pemilu selalu ada. Namun, terdapat mekanisme tertentu yang dapat dijalankan baik oleh KPU maupun Bawaslu apabila terjadi pelanggaran.
Menurut Ari, apabila mekanisme internal KPU dan Bawaslu tidak berjalan, akan muncul ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Ia khawatir kondisi ini akan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mendelegitimasi proses pemilu. Pada akhirnya, kelompok itu mengusung kembali wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, dan presiden tiga periode.
”Nanti pihak-pihak ini mendesak pemilu ditunda. Nah, ini yang kita khawatirkan. Jangan sampai diamnya KPU-Bawaslu justru memberi amunisi bagi pihak-pihak dengan agenda demikian untuk memuluskan tujuan mereka yang tidak sejalan dengan tujuan demokrasi kita,” ujar Ari.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow juga mengemukakan kekhawatiran yang sama. Sebab, menurut Jeirry, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden itu selalu muncul. Termasuk yang terakhir digulirkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam pemaparan hasil survei Poltracking Indonesia yang disiarkan secara daring, Kamis (8/12/2022).
Jangan sampai diamnya KPU-Bawaslu justru memberi amunisi bagi pihak-pihak dengan agenda demikian untuk memuluskan tujuan mereka yang tidak sejalan dengan tujuan demokrasi kita.
Dugaan kecurangan KPU, tambah Jeirry, hanya akan menjadi alasan baru yang digunakan pihak tertentu yang menginginkan hal itu. Sebelumnya, pandemi dan pemulihan ekonomi menjadi alasan yang kerap dikemukakan oleh pihak yang menggulirkan wacana penundaan pemilu.
Adapun wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sudah ada sejak awal 2022 dan mendapatkan dukungan dari sejumlah partai politik. Namun, muncul pula penolakan dari berbagai pihak, mulai dari partai politik, akademisi, pakar hukum, hingga mahasiswa. Presiden Jokowi juga sudah beberapa kali menyatakan penolakannya dan akan taat pada konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden dua periode.
Jeirry pun menuntut KPU untuk peka akan isu yang berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu untuk ”menunggangi” mereka. Ia juga mendesak KPU memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi, bukan penjelasan yang sifatnya normatif dan tidak substansial. Tujuannya, agar publik tidak bertanya-tanya dan percaya pada penyelenggaraan pemilu.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, KPU telah menerapkan prinsip terbuka dan akuntabel dalam menjalankan verifikasi parpol. Hal ini dibuktikan dengan penyampaian berita acara verifikasi faktual secara hierarkis dari KPU kabupaten/kota sampai ke KPU pusat melalui Sipol (Sistem Informasi Parpol). Kemudian, berita acara rekapitulasi hasil verifikasi faktual disampaikan ke parpol dan Bawaslu. Selain itu, tidak ada yang berbeda dalam berita acara verifikasi faktual (Kompas, 12/12/2022).
”Kalau pertanyaan publik tak terjawab, maka akan ada pihak yang memainkan isunya. Pada akhirnya, publik percaya bahwa Pemilu 2024 perlu ditunda. Terlebih, penundaan pemilu ini dapat mudah terwujud lantaran secara politik tidak ada hambatan. Baik DPR maupun pemerintah tampaknya akan setuju apabila masa jabatan mereka ditambah,” ucap Jeirry.
Menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pernyataan dari KPU tidak menjawab persoalan. KPU melulu menekankan bahwa mereka sudah transparan dengan diadakannya rapat pleno secara terbuka atau data sudah diunggah ke Sipol. Padahal, yang dipermasalahkan ialah proses verifikasi, bukan hasil akhir yang sudah dituliskan di berita acara ataupun diunggah ke Sipol.
Ia mengatakan, KPU seharusnya bersikap lugas dalam menyampaikan pernyataan kepada publik. Jika tidak demikian, publik akan meragukan netralitas dan independensi KPU di tengah proses pemilu yang masih panjang. Bahkan, agar meyakinkan, KPU perlu memperlihatkan semua dokumen yang dipermasalahkan itu kepada publik.
”Selain KPU, ini juga menjadi momentum untuk melihat kembali kewenangan Bawaslu yang luas. Sebab, menjadi ironi ketika temuan sepenting ini munculnya dari media dan masyarakat sipil, bukan dari Bawaslu. Jangan pakai alasan klasik bahwa Bawaslu tidak punya data. Masyarakat dan media saja bisa dapat, kok. Jangan mau terima bersih saja. Harus investigasi juga dan kreatif,” tutur Ray.