Mahfud MD Akui Ada Celah Hukum Terdakwa Kasus Pelanggaran HAM Berat Lolos
Terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, divonis bebas oleh majelis hakim. Menko Polhukam Mahfud MD akui ada celah sehingga terdakwa lolos dari jerat hukum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menilai ada celah hukum acara yang membuat terdakwa kasus pelanggaran HAM berat kerap lolos dari jerat pidana di pengadilan. Terbaru, terdakwa tunggal dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, divonis bebas. Bebasnya Isak menambah daftar panjang terdakwa kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang pernah dibebaskan oleh pengadilan.
Mahfud MD saat acara ”Catatan Akhir Tahun Menko Polhukam 2022”, Kamis (15/12/2022), di Jakarta, mengatakan, sejak awal pemerintah melalui Kemenko Polhukam sudah mengetahui bahwa data hasil penyelidikan Komnas HAM tentang peristiwa Paniai, Papua, yang terjadi pada 2014 tidak cukup. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat itu dinilai tidak memenuhi syarat. Bahkan, Jaksa Agung saat itu juga menyebut tidak ada cukup bukti dalam peristiwa tersebut.
Menurut Mahfud, salah satu masalah instrumental dalam penanganan kasus HAM berat adalah hukum acara yang dipakai untuk kasus pelanggaran HAM berat berbeda antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
”Visumnya tidak ada sehingga kalau dibawa (ke pengadilan) kalah juga. Ini hampir sama dengan kasus yang Timor-Timur itu. Sebanyak 34 orang (terdakwa) dibebaskan. Yang dihukum hanya dua, tetapi setelah naik ke peninjauan kembali (PK) di MA, bebas semuanya,” kata Mahfud.
”Visumnya tidak ada sehingga kalau dibawa (ke pengadilan) kalah juga. Ini hampir sama dengan kasus yang Timor-Timur itu. ”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga menceritakan bahwa sejak awal Jaksa Agung sudah ragu dengan rekonstruksi hukum kasus yang diajukan ke pengadilan. Saat itu, Jaksa Agung mempertanyakan konstruksi dari fakta ke fakta yang sulit dihubungkan antara peristiwa Wasior, Wamena, dan Paniai, Papua.
”Padahal, jaksa itu kalau tahu di pengadilan akan kalah akan jadi aib karena dia tidak bisa menyusun konstruksi tindak pidana. Namun, Presiden waktu itu memerintahkan untuk tetap dibawa ke pengadilan,” ucapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam putusan kasus Paniai, majelis hakim Pengadilan HAM yang diketuai Sutisna Sawati di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, menjatuhkan vonis bebas terhadap Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai 2014. Majelis hakim pengadilan HAM menyatakan bahwa terdakwa Isak tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan. Majelis hakim mengatakan, berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk saksi ahli, bukti-bukti, dan fakta-fakta persidangan, Isak tidak terbukti melanggar pasal yang disangkakan.
Sebagai perwira penghubung, secara struktural Isak tidak bertanggung jawab pada pasukan di Markas Koramil. Walau saat itu dia yang memiliki pangkat tertinggi, dia tak diberi mandat atau wewenang menggantikan atau mengambil alih tugas Danramil yang saat peristiwa sedang tidak berada di tempat. Fakta lainnya, hasil uji senjata api menunjukkan tak ada kesesuaian. Sementara itu, pemeriksaan atau otopsi terhadap korban meninggal juga tidak dilakukan, termasuk uji balistik pada peluru yang mengenai korban tewas (Kompas, 9 Desember 2022).
Atas putusan tersebut, Kejaksaan Agung akan mengajukan kasasi. Namun, proses hukum itu diduga akan terkendala karena sampai saat ini Mahkamah Agung belum memiliki hakim ad hoc HAM di tingkat kasasi.
Lemah
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar menilai vonis bebas terhadap terdakwa tunggal Isak Sattu di pengadilan HAM atas peristiwa Paniai adalah bukti bahwa negara tak berkutik terhadap para penjahat HAM. Putusan bebas itu dinilai sebagai buah dari buruknya kinerja penegakan hukum untuk penuntasan HAM berat di Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 itu secara jelas dinilai sudah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan.
Pengadilan memutus bebas salah satunya karena unsur pertanggungjawaban komando atau rantai komando tidak terbukti melekat dalam diri terdakwa. Alhasil, belum ada satu pun pelaku yang dihukum dari peristiwa yang menewaskan empat orang dan menyebabkan sedikitnya 10 orang luka-luka tersebut.
”Ini adalah bukti ketidakbecusan negara dalam penegakan hukum. Sudah dapat terlihat sejak gagalnya sejumlah tim yang dibuat untuk menuntaskan kasus ini. ”
”Ini adalah bukti ketidakbecusan negara dalam penegakan hukum. Sudah dapat terlihat sejak gagalnya sejumlah tim yang dibuat untuk menuntaskan kasus ini,” katanya.
Dia menambahkan, kasus yang disidik oleh Kejaksaan Agung sebagai pelanggaran HAM berat sejak Desember 2021 itu diproses dengan begitu banyak kejanggalan. Kasus minim melibatkan para penyintas dan keluarga korban.
Padahal, sejak awal, para penyintas dan korban ini secara proaktif memberikan keterangan dan bukti untuk mendukung proses hukum. Di pengadilan pun, persidangan didominasi oleh narasi aparat atau keterangan dari sisi para terduga pelaku dibanding narasi dari warga sipil, penyintas, dan korban.
”Di persidangan terungkap dugaan kuat nama-nama eksekutor yang membunuh dan menganiaya para korban. Jika informasi berharga ini tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan, keberpihakannya Kejaksaan Agung sangat patut kita permasalahkan,” lanjutnya.
Kontras juga mendesak agar Presiden mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung harus menindaklanjuti fakta persidangan dan menggelar upaya hukum lanjutan, baik terhadap terdakwa yang diutus bebas maupun dengan menyeret para pelaku lain di tataran langsung atau komando ke pengadilan. Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Kejaksaan Agung harus melibatkan dan memulihkan para penyintas dan keluarga korban peristiwa Paniai.