Deradikalisasi Tak Wajib, Eks Napi Kembali Jadi Teroris
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, masih ada 5-7 persen eks narapidana teroris yang masih berstatus ”merah” dari total 1.290 terpidana terorisme yang telah menjalani program deradikalisasi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Deradikalisasi terhadap tersangka, terdakwa, narapidana, dan eks narapidana terorisme tak bisa dilakukan atas dasar kesukarelaan. Negara diminta mengubah regulasi terkait agar mewajibkan mereka mengikuti program tersebut. Masih longgarnya ketentuan mengikuti deradikalisasi memperbesar potensi bagi terpidana terorisme kembali melakukan aksinya setelah bebas dari hukuman.
Tidak adanya kewajiban mengikuti program deradikalisasi dinilai sebagai salah satu persoalan di balik serangan bom bunuh diri yang dilakukan Agus Sujatno atau Agus Muslim di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/12/2022). Agus pernah terlibat dalam kasus bom Cicendo, Kota Bandung, pada 2017, lalu menjalani hukuman selama empat tahun hingga bebas pada Oktober 2021. Ia bebas dengan status ”merah” karena tak bersedia mengikuti program deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan.
Artinya, Agus keluar tanpa mendapatkan remisi. Berbeda dengan terpidana terorisme lainnya yang mengikuti program tersebut, mereka akan diganjar imbalan pengurangan masa hukuman sesuai dengan ketentuan. Agus pun bukan satu-satunya eks narapidana terorisme (napiter) yang masih ”merah”.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), masih ada 5-7 persen eks napiter yang masih berstatus ”merah” dari total 1.290 terpidana terorisme yang telah menjalani program deradikalisasi.
Kepala Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia M Syauqillah mengatakan, program deradikalisasi perlu dievaluasi. Deradikalisasi tidak bisa diposisikan sebagai aktivitas sukarela bagi tersangka, terdakwa, narapidana, dan eks narapidana terorisme, tetapi seharusnya diwajibkan.
Namun, mengacu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, tidak ada ketentuan untuk mewajibkan deradikalisasi.
”Dari segi regulasi, perlu ditegaskan kembali bahwa program deradikalisasi itu wajib,” kata Syauqillah dihubungi dari Jakarta, Minggu (11/12/2022).
Ia menambahkan, selama belum ada perubahan regulasi, aparat semestinya tidak berhenti begitu saja ketika napiter menolak mengikuti program deradikalisasi. Beragam cara dan pendekatan perlu diterapkan agar program bisa berjalan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan penilaian, mulai dari psikologis, latar belakang keluarga, hingga lingkungan sosial, untuk mencari titik masuk pendekatan terhadap mereka.
Deradikalisasi juga masih berjalan parsial karena setiap kementerian/lembaga terkait menjalankan programnya masing-masing. Padahal sesuai dengan ketentuan di UU No 5/2018, itu semestinya dikoordinasikan oleh BNPT. ”Koordinasi yang lebih baik akan meminimalkan deradikalisasi yang selama ini dipertanyakan efektivitasnya,” ujar Syauqillah.
Lebih dari itu, deradikalisasi belum berjalan optimal ketika terpidana terorisme bebas dari hukuman. Keterlibatan tokoh masyarakat, agama, dan adat di lingkungan masing-masing penting untuk diperkuat agar proses reintegrasi sosial eks napiter berlangsung dengan baik.
“Mekanisme ini harus integratif dan berkelanjutan, karena deradikalisasi adalah proses panjang, kita pun tidak pernah bisa memastikan apakah eks napiter bergabung ke kelompoknya lagi atau tidak,” kata Syauqillah.
Pendekatan keluarga
Eks napiter sekaligus penulis buku Internetistan: Jihad Zaman Now, Arif Budi Setyawan menambahkan, keputusan untuk meninggalkan kelompok teroris setelah bebas dari hukuman di antaranya terkait dengan proses yang dilalui saat di penjara.
Tidak jarang terpidana justru semakin radikal karena berinteraksi dengan kawanannya saat menjalani hukuman. Interaksi intens itu juga yang membuat hubungan dengan kelompoknya masih terus terjalin bahkan memperkuat niat untuk kembali melakukan serangan, terutama jika aksi yang pernah dilakukan sebelumnya gagal.
Salah satu langkah yang dinilai penting untuk memutus hubungan terpidana terorisme dengan kelompoknya adalah pendekatan terhadap keluarga sejak saat mereka ditangkap. Aparat sering kali kalah cepat dengan kelompok teroris yang kerap langsung mengurus, bahkan menjamin hidup keluarga para terpidana.
”Yang luput dari kontrol aparat adalah adanya sumbangan dari kelompok asal kepada keluarga mereka. Ketika keluarga merasa terikat dengan kelompok itu, otomatis terpidana juga merasa terikat,” kata Arif.
Hendro Fernando, bekas koordinator pendanaan dan persenjataan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pada 2014-2016, menambahkan, kesediaan para napiter mengikuti program deradikalisasi bahkan berikrar setia kembali pada NKRI kerap diwarnai pertanyaan mengenai jaminan terhadap hidup keluarga mereka.
Sebab, kelompok teroris umumnya lebih cepat memberikan itu ketimbang negara sehingga mereka merasa tergantung dan tetap beraktivitas sesuai dengan keyakinan kelompok tersebut.