Deradikalisasi Belum Merata, Eks Narapidana Terorisme ”Merah” Masih Terabaikan
Kembalinya eks narapidana terorisme melancarkan aksi teror menunjukkan, program deradikalisasi perlu dievaluasi. Perlu untuk melakukan pembaruan metode dan memperhatikan akar masalah terorisme.
JAKARTA, KOMPAS — Deradikalisasi dan reintegrasi sosial terhadap eks narapidana terorisme belum merata karena baru menyasar mereka yang sudah melepaskan afiliasi dari kelompok teror tertentu dan berikrar setia kepada Negara Kesatuan RI sejak berada di lembaga pemasyarakatan. Sementara itu, eks narapidana terorisme yang masih berstatus ”merah” atau belum bersedia mengakui NKRI selepas dihukum belum optimal dijangkau oleh negara.
Padahal, mereka rentan kembali bergabung dengan kelompok teroris, tak hanya karena faktor ideologi, tetapi juga ekonomi. Agus Sujatno atau Agus Muslim, misalnya. Pelaku bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu lalu, itu merupakan terpidana terorisme yang bebas pada Oktober 2021. Agus pernah terlibat teror bom di Cicendo, Bandung, pada 2017.
Polisi mengidentifikasinya sebagai bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok teroris yang terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Saat bebas dari penjara, Agus masuk kelompok merah karena tidak bersedia berikrar setia kepada NKRI.
Hendro Fernando, bekas koordinator persenjataan dan pendanaan JAD pada 2014-2016, mengungkapkan, setelah bebas, Agus pernah menjalin komunikasi dengan para eks narapidana terorisme di Bandung yang sudah berikrar setia kepada NKRI. Namun, relasi antar-eks narapidana terorisme itu tak bertahan lama. ”Setelah kami telusuri, Agus berpindah ke Solo, Jawa Tengah, akhir 2021. Di sana memang masih banyak eks narapidana terorisme yang masih merah,” kata Hendro saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Di Jateng, lanjut Hendro, Agus terindikasi bergabung dengan komunitas eks narapidana terorisme yang belum berikrar setia kepada NKRI. Keterlibatan dalam kelompok yang sama-sama merah cenderung dilakukan atas dasar pertimbangan ideologis. Mereka ingin tetap melancarkan aksi meski tidak dengan cara kekerasan.
”Keberadaan komunitas itu akhirnya menjadi magnet atau pijakan bagi para eks narapidana terorisme agar bisa tetap beramal walau dalam tingkatan yang paling rendah,” ujar Hendro.
Ada pula narapidana terorisme yang tak bisa lepas dari jejaring kelompok teroris karena faktor ekonomi. Umumnya komunitas menanggung biaya hidup keluarga narapidana terorisme selama menjalani hukuman. Kelompok itu juga yang membantu ketika narapidana terorisme bebas dan tak punya pekerjaan.
Sayangnya, selama ini tidak ada konsep reintegrasi sosial yang diterapkan untuk eks narapidana terorisme yang masih merah. Program yang ada baru kepada eks narapidana terorisme yang sudah (berikrar setia kepada) NKRI.
Hendro mengatakan, komunitas yang diikuti Agus mengklaim beraktivitas di bidang sosial. Namun, umumnya komunitas akan bergerak lebih jauh, termasuk menghimpun dana untuk pembiayaan aksi teror dengan selubung aksi kemanusiaan. Oleh karena itu, negara semestinya bisa membatasi ruang gerak mereka.
”Sayangnya, selama ini tidak ada konsep reintegrasi sosial yang diterapkan untuk eks narapidana terorisme yang masih merah. Program yang ada baru kepada eks narapidana terorisme yang sudah (berikrar setia kepada) NKRI,” kata Hendro yang kini aktif di Yayasan Debintal.
Adilaturahman, eks narapidana terorisme anggota JAD, yang kini berdomisili di Surakarta, Jawa Tengah, membenarkan, Agus dekat dengan kelompok terpidana terorisme yang belum berikrar setia kepada NKRI. Kelompok merah tersebut diakui masih eksis meski pengaruhnya tidak sekuat beberapa tahun lalu. Sebelumnya, pengaruh kelompok tersebut bahkan mampu membuat eks narapidana terorisme yang berikrar setia kepada NKRI takut untuk mengakuinya setelah bebas dari penjara.
Menurut dia, saat ini program reintegrasi sosial yang dilakukan pemerintah cukup efektif sehingga terpidana terorisme yang berikrar setia kepada NKRI bisa berhimpun secara terbuka. Ia, misalnya, kini tergabung dengan yayasan pemberdayaan ekonomi lewat pengembangan pertanian yang didukung oleh Densus 88 Antiteror.
”Keberadaan komunitas NKRI ini sangat penting karena memberikan dukungan psikologis bagi kami untuk bisa kembali ke masyarakat. Pemberdayaan secara ekonomi juga menjadi faktor yang mendukung sehingga kami bisa mulai mengubah cara pikir dan meninggalkan ideologi radikal,” kata Adilaturahman.
Perlu evaluasi
Kembalinya eks narapidana terorisme dalam aksi teror seperti dilakukan Agus menunjukkan bahwa proses deradikalisasi perlu dievaluasi. ”Metode deradikalisasi perlu pembaruan dan pengawasan perlu terus dilakukan,” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Deradikalisasi perlu memperhatikan sumber akar masalah seseorang jadi radikal. ”Cuci pemikiran lewat landasan-landasan. Kalau perlu dalil-dalil sehingga bisa mengubah pandangan itu,” kata Wapres.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, deradikalisasi dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam beberapa tahap. Mulai dari identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, hingga reintegrasi sosial. Tahapan tersebut dilakukan dengan pembinaan wawasan kebangsaan, keagamaan, dan kewirausahaan.
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris membenarkan, deradikalisasi tak hanya dilakukan terhadap terpidana terorisme yang berikrar setia kepada NKRI. Mereka yang masih berstatus merah saat bebas dari hukuman menjadi bagian dari program tersebut. Pemantauan terhadap aktivitas mereka pun dilakukan meski secara tidak langsung.
”Pemantauan secara tidak langsung tetap dilaksanakan bersama aparat wilayah serta kesbangpol (badan kesatuan bangsa dan politik) pemda (pemerintah daerah). Bersama segenap lapisan masyarakat mengajak mereka berbaur dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kebangsaan,” kata Irfan.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, penyerangan yang dilakukan oleh eks narapidana terorisme semestinya menjadi bahan evaluasi Polri dan BNPT terkait program deradikalisasi. Selama ini deradikalisasi terlalu mengandalkan pendekatan struktural, formal, dan seremonial. ”Perlu pendekatan semesta yang melibatkan semua elemen masyarakat dengan pendekatan teologis, sosiologis, dan edukatif,” kata Mu’ti.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa Nahdlatul Ulama yang juga anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Muchamad Nabil Haroen, sepakat bahwa program deradikalisasi penting untuk dievaluasi. Bukan untuk mencari pihak yang salah, melainkan untuk membenahi penanganan radikalisme dan kekerasan secara strategis. Pihaknya pun menawarkan kolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait.
Bukan aksi tunggal
Analis konflik dan keamanan wilayah Timur Tengah, Alto Labetubun, melihat bahwa bom bunuh diri yang dilakukan Agus bukan aksi tunggal atau lone wolf sebagaimana disebutkan kepolisian. Dua lokasi pengeboman yang menjadi sasaran pada 2017 dan 2022 yang hanya berjarak 2,4 kilometer menunjukkan bahwa tempat tersebut berada dalam zona yang telah dipetakan dan dikuasai Agus.
Dalam aksi terorisme, lanjutnya, meski dilakukan oleh pelaku tunggal, tetap ada jejaring yang memungkinkan serangan dilancarkan. Khususnya aksi bunuh diri yang membutuhkan pengajuan dan validasi dari orang atau kelompok lain. Selain itu, pelaku tentu memiliki afiliasi dengan pihak yang bisa memberikan akses pada bahan peledak atau pembiayaan.
”Agus tidak mungkin tinggal di tempat yang dianggap tidak nyaman dan aman sebelum dia melakukan aksinya. Sudah pasti dia akan tinggal di tempat dia merasa aman,” kata Alto.
Hendro sepakat, kedekatan dengan komunitas merah di Jawa Tengah memperkuat indikasi bahwa bom bunuh diri yang dilakukan Agus bukanlah aksi tunggal. Meski Agus merupakan ahli kelistrikan dan mampu merakit bom, ia membutuhkan unsur pendukung baik dari segi lingkungan maupun jaringan.