Sejumlah pihak menilai putusan bebas majelis hakim terhadap terdakwa pelanggaran HAM berat Paniai terjadi akibat lemahnya dakwaan. Jaksa juga dinilai tak mampu membuktikan dakwaannya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia menjatuhkan vonis bebas kepada Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM dalam kasus kekerasan di Paniai, Papua. Sejumlah pihak menyebut sidang ini tidak serius sejak awal. Dakwaan disebut lemah dan penuntut umum tidak bisa membuktikan kebenaran materiil di persidangan.
Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab saat dihubungi, Kamis (8/12/2022), menyampaikan, sejak awal, dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum lemah karena tidak bisa menjelaskan unsur rantai komando dalam peristiwa tersebut. Dakwaan tidak mengacu kepada konsep dasar kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur di Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di pasal 9 UU Pengadilan HAM disebut kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil.
“Dakwaan sama sekali tidak menunjukkan itu. Dakwaan hanya menyebutkan bahwa terdakwa ini bertanggung jawab secara komando terhadap anak buahnya yang melakukan perbuatan itu. Padahal, terdakwa tidak memiliki tanggung jawab komando itu,” katanya.
Selama persidangan, tim jaksa penuntut umum juga dianggap tak mampu membuktikan dakwaannya. Amiruddin yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM sempat memantau jalannya persidangan kasus Paniai di Pengadilan Negeri Makassar. Keterangan dari saksi menyebutkan bahwa terdakwa tidak dalam posisi memiliki tanggung jawab komando. Karena hal itu tidak bisa dibuktikan oleh JPU di persidangan, hakim memvonis terdakwa dengan putusan bebas.
Selama persidangan, tim jaksa penuntut umum juga dianggap tak mampu membuktikan dakwaannya.
“JPU tidak mampu menyajikan bukti yang meyakinkan tentang tanggung jawab komando yang dimiliki terdakwa yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu. Jaksa penyidik dan jaksa penuntut terlalu gegabah menjadikan Isak Sattu sebagai terdakwa tunggal,” ungkapnya.
Unsur pertanggungjawaban
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti juga berpandangan senada. Menurutnya, karena unsur pertanggungjawaban rantai komando dalam peristiwa ini dianggap tidak layak, akhirnya hakim memutus bebas. Sebab, sebetulnya ada tersangka lain yang tidak diperiksa sejak awal. Dalam konteks pertanggungjawaban rantai komando, pelaku pelanggaran HAM berat pasti lebih dari satu karena untuk membuktikan unsur kejahatan yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif.
“Karena hanya ada satu terdakwa, dari awal penuntutan JPU tidak lengkap. Penyidikan tidak berjalan efektif, dan tidak ada pelaku lain diperiksa. Ini sangat berbahaya bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat selanjutnya,” katanya.
Amiruddin menambahkan, vonis bebas terhadap terdakwa kasus Paniai seolah mengulang putusan lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Abepura (Papua), dan Tanjung Priok (Jakarta). Jaksa agung sebagai penyidik dan penuntut dinilai tidak belajar dari pengadilan-pengadilan sebelumnya. Sehingga, mereka tak bisa membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Unsur pertanggungjawaban rantai komando dalam peristiwa tersebut, lanjutnya, selalu berkaitan dengan operasi teritorial. Seharusnya, jaksa bisa menghadirkan siapa yang merancang operasi tersebut. Isak Sattu jelas bukan orang yang bertanggung jawab dan merancang operasi tersebut.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, Komisi III akan melakukan evaluasi terhadap jalannya pengadilan HAM yang terjadi selama ini. Sebab, tidak ada satu pun pengadilan HAM berat yang berhasil memberikan rasa keadilan bagi korban. Oleh karena itu, Komisi III akan melihat apa yang menjadi permasalahan dalam sidang-sidang tersebut.
Masalah yang dimaksud adalah permasalahan dari sisi regulasi atau undang-undangnya. Selain itu, juga masalah kemauan dan kemampuan dari Kejaksaan Agung untuk memproses sebuah kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan HAM.
“Kami akan melihat dan kami juga tidak mau negara menuju pada negara yang mempraktikkan impunitas atau kejahatan tanpa keadilan,” katanya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, Komisi III akan melakukan evaluasi terhadap jalannya pengadilan HAM yang terjadi selama ini.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa Isak Sattu. Majelis hakim yang diketuai oleh Sutisna Sawati itu menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana di dakwaan. Hakim juga membebaskan terdakwa dari semua dakwaan, dan mengembalikan harkat serta kehormatannya, (Kompas.id, 8/12/2022).
Vonis itu mementahkan tuntutan jaksa yaitu hukuman 10 tahun penjara. Jaksa dalam tuntutan menyebut Isak melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b, juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.