Saksi Kasus Paniai Sebut Hasil Uji Senjata Tak Ada yang Identik
Sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai mendengar kesaksian saksi ahli. Satu saksi menyebut uji senjata menemukan hasil tak identik. Saksi lain menyebut terdakwa tak memiliki kewenangan melekat saat peristiwa terjadi.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS —Sidang kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat Paniai terus bergulir di Pengadilan Negeri Makassar dengan menghadirkan sejumlah saksi ahli. Saksi ahli balistik menyebut hasil uji balistik dari semua senjata yang ada di lokasi tidak identik dengan selongsong yang diteliti. Saksi ahli lainnya menyebut, terdakwa Isak Sattu yang menjadi perwira penghubung sebenarnya tidak bertanggung jawab atas pasukan saat itu.
Sidang yang berlangsung pada Kamis (20/10/2022) menghadirkan tiga saksi. Mereka adalah Kasubdit Puslabfor Mabes Polri Komisaris Besar Maruli Simanjuntak yang juga ahli balistik, dosen HAM Internasional dari Universitas Airlangga Imam Prihandoko, dan konsultan hukum forensik Robintan Sulaiman.
Saat ditanya oleh jaksa penuntut umum, Maruli mengatakan, seusai kejadian, tim puslabfor berangkat dari Jakarta. Saat itu mereka mendapatkan enam bukti selongsong dari penyidik yang dikumpulkan dari lapangan. Tim Maruli juga mengumpulkan tiga serpihan peluru dari lokasi kejadian di Lapangan Karel Gobay.
”Dari tiga proyektil yang kami temukan, dua di antaranya tak bisa diidentifikasi lagi. Satu yang bisa kami identifikasi berasal dari senjata genggam Revolver Colt kaliber 38. Hasil pemeriksaan lainnya dari proyektil yang diberikan penyidik menemukan anak peluru yang ditembakkan dari senjata laras panjang SS1 kaliber 5,56 dan senjata api jenis Sabhara V2 kaliber 7,62,” kata Maruli.
Dia menambahkan, peluru dengan kaliber 5,57 tak hanya bisa ditembakkan dari SS1, tetapi juga dari beberapa jenis senjata seperti M 16. Saat itu, seluruh senjata dari berbagai kesatuan yang ada di lokasi dikumpulkan.
”Kami lakukan uji coba menggunakan semua senjata, tetapi hasilnya tidak ada yang identik. Kendalanya saat itu yang kami periksa adalah bekas tembakan dari korban luka. Adapun korban meninggal tak diperiksa karena mereka sudah dikuburkan,” katanya.
Walau tak ada senjata yang identik, Maruli mengatakan, seluruh proyektil atau anak peluru yang diteliti berasal dari senjata organik yang menggunakan peluru tajam. Tak satu pun selongsong yang ditemukan yang berasal dari peluru karet dan peluru hampa.
Dia juga mengatakan senjata revolver bisa menembakkan peluru hingga jarak 2,5 meter. Adapun jangkauan SS1 bisa mencapai 160 meter.
Sementara terkait kewenangan perwira penghubung, dalam hal ini Isak Sattu yang menjadi terdakwa, saksi ahli Robintan Sulaiman mengatakan, dalam struktur, sebenarnya terdakwa tak harus bertanggung jawab. Posisinya sebagai perwira penghubung hanya memiliki kewenangan secara administratif dam bukan terhadap pasukan.
”Seorang yang memiliki kewenangan, tidak terkecuali pejabat sementara atau pelaksana tugas, adalah seseorang yang dapat mandat. Karena itu, kewenangannya melekat. Selama tidak ditugaskan, tak bisa disebut perwira penghubung mendapat mandat. Apalagi dia orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kewenangan terbatas. Kewenangan dan tanggung jawab itu mestinya ada pada pimpinan tertinggi di atas perwira penghubung,” kata Robintan.
Dia juga menyebut kurang tepat menyebut kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat karena sifatnya bukan direncanakan, tidak sistematis dan terstruktur, serta tidak meluas. Dalam peristiwa Paniai, Robinton melihat sebagai peristiwa destruktif dan spontan.
”Pelanggaran HAM bukan soal berapa banyak korban. Tapi jika sudah direncanakan, dilakukan secara sistematik, dan meluas. Misalnya, ada perintah untuk membunuh warga di beberapa kampung dan dilakukan terencana dan lokasinya meluas. Tapi ini kejadian spontan. Dalam hal ini, baik warga maupun anggota TNI sama-sama memiliki HAM,” katanya.
Saksi ahli Imam Prihandoko berbeda pendapat soal kewenangan. Menurut dia, karena saat peristiwa itu perwira penghubung yang pangkatnya paling tinggi, dia yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
”Sebagai perwira penghubung mestinya sudah mendapat informasi intelijen tentang potensi kerawanan karena peristiwa unjuk rasa warga di Koramil adalah rangkaian dari peristiwa sebelumnya. Jika sudah dapat laporan, tentu hal ini bisa dicegah misalnya dengan meninggalkan markas atau mengosongkan Koramil,” katanya.
Penggunaan senjata organik tambah Imam, juga tak berusaha dicegah oleh terdakwa. Padahal, seharusnya semua sudah mengetahui bahwa penggunaan senjata organik pasti akan berdampak korban jiwa.
Dia menyebut saat itu kekuatannya tidak imbang karena warga hanya bersenjata batu dan panah dan itu adalah pelanggaran HAM. Terlebih, penggunaan senjata oleh aparat tersebut ditujukan kepada warga sipil.