Pengadilan HAM kasus Paniai dinilai tidak menyentuh substansi pelanggaran HAM berat. Karena itu, pengadilan tersebut mendapat perhatian serius dari koalisi masyarakat sipil.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sidang perdana pelanggaran HAM berat Paniai yang mengadili satu terdakwa, Mayor Isak Sattu, Rabu (21/9/2022), dianggap Koalisi Masyarakat Sipil sebagai muslihat.
Saat peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 yang menewaskan sedikitnya empat orang dan 21 orang luka-luka, Isak menjadi Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai. Koalisi menilai, Isak hanya jadi kambing hitam dalam peristiwa yang sifatnya sistematis dan meluas dilakukan oleh aparat TNI/Polri.
Dinilai, ada unsur kebijakan negara dan pengerahan kekuatan berskala besar yang berujung pada tindakan pembunuhan dan penganiayaan. Koalisi mengatakan, bisa jadi, terdakwa IS hanya dijadikan ”kambing hitam” dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya gimmick sebagai bahan pencitraan pemerintahan yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Julius Ibrani dari PBHI mengatakan, kasus ini sengaja dilokalisir jadi tanggung jawab pribadi Isak sehingga pertanggungjawaban institusi hilang. Kasus ini seakan jadi kasus pidana umum. Negara dinilai jadi seakan-akan saja bertanggung jawab dengan mengadakan pengadilan HAM, padahal materinya peradilan umum. ”Ini peradilan rekayasa yang menutup unsur-unsur pokok dari pelanggaran berat HAM itu sendiri,” kata Julius dalam diskusi online yang diadakan YLBHI Makassar.
Wirya Adiwena, Deputi Direktur Amnesti Internasional Indonesia, mengatakan, dari peradilan ini tidak menunjukkan negara berhasil membawa rasa keadilan untuk masyarakat Papua. Padahal, pengadilan ini bisa jadi akuntabilitas penegakan HAM di Indonesia. ”Banyak pihak curiga dan khawatir sidang ini tidak akan membawa keadilan,” kata Wirya.
Ini peradilan rekayasa yang menutup unsur-unsur pokok dari pelanggaran berat HAM itu sendiri.
Beri perhatian serius
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil, baik yang berada di Jakarta, Makassar, maupun Papua, memberikan perhatian serius terhadap jalannya proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat Paniai.
Komisi Yudisial didorong untuk melakukan supervisi terhadap Mahkamah Agung agar menjamin akses keterbukaan bagi publik, utamanya para saksi, penyintas, dan keluarga korban dan masyarakat sipi.
Dinilai, kesaksian dari saksi dan korban yang akan dihadirkan dalam persidangan diduga akan diwarnai dengan sandiwara dan kebohongan semata karena selama proses penyidikan bergulir, saksi-saksi yang diperiksa oleh Jaksa Agung tidaklah berasal dari saksi-korban.
Untuk itu, Komisi Yudisial didorong untuk melakukan supervisi terhadap Mahkamah Agung agar menjamin akses keterbukaan bagi publik, utamanya para saksi, penyintas dan keluarga korban, serta masyarakat sipil.
Haedir dari LBH Makassar memperkirakan, pengadilan kasus Paniai ini akan gagal menemukan kebenaran yang sebenarnya. ”Bagaimana mengonstruksi satu dakwaan peristiwa yang sistematis hanya dengan satu terdakwa,” katanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.