Sidang kasus pelanggaran HAM berat di Pania, Papua, menjadi batu uji penegakan keadilan. Jika persidangannya tak serius, kepercayaan hilang.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA, DIAN DEWI PURNAMASARI, CHRISTOPERUS WAHYU HARYO PRIYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengadilan hak asasi manusia atas kasus di Paniai, Papua, menjadi batu uji negara dalam penegakan keadilan. Sementara, keberadaan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu diharapkan tak melemahkan penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab menyatakan, pengadilan HAM kasus Paniai yang akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar menjadi momentum penegakan hukum di Papua. Pengadilan ini sekaligus menjadi kesempatan meyakinkan masyarakat Papua akan hadirnya keadilan.”Kalau (pengadilan HAM) tidak digelar serius, orang akan kehilangan kepercayaan,” kata Amiruddin saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Jumat (19/8/2022).
Kasus Paniai berawal dari insiden antara sejumlah aparat keamanan dan pemuda di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, pada 2014. Saat itu aparat keamanan menganiaya sejumlah warga yang memberikan peringatan karena ada aparat yang mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu. Masyarakat yang tidak terima berunjuk rasa. Mereka dihadang petugas gabungan yang hendak mengamankan aksi. Bentrokan pun pecah. Aparat menembakkan senjatanya untuk mengendalikan massa. Empat orang meninggal, belasan lainnya terluka.
Proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini ditangani Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah mengatakan, penyidik Jampidsus menetapkan seorang tersangka berinisial IS dalam kasus ini. ”(Tersangka) Purnawirawan TNI. Dulu (saat kejadian) perwira penghubung di kodim saat itu. Kodim Paniai,” kata Febrie (Kompas, 2/4/2022).
Menurut Amiruddin, proses pengadilan atas kasus Paniai akan menentukan efektivitas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Proses ini sekaligus menjadi batu uji komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Paniai hanya salah satu dari sejumlah kasus pelanggaran HAM.
”Kalau (pengadilan HAM) tidak digelar serius, orang akan kehilangan kepercayaan”
Agar pengadilan berjalan baik, ia pun menyarankan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) aktif memfasilitasi dan melindungi korban maupun saksi di persidangan.
Menyusul terbitnya keputusan presiden (keppres) tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, sejumlah kalangan di Papua menyorotinya. Sejumlah pihak berharap keppres tak menghambat penanganan kasus pelanggaran HAM. Saat menyampaikan Pidato Kenegaraan HUT Ke-77 Republik Indonesia, Selasa (16/8), Presiden Jokowi menyatakan telah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Namun, hingga Kamis (18/8), keppres belum dipublikasikan di laman Sekretariat Negara.Juru Bicara Jaringan Damai Papua Yan Christian Warinussy mengatakan, keppres itu dikhawatiran berdampak bagi penanganan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Dia menilai, penerbitan regulasi merupakan siasat politik yang berpotensi melemahkan upaya penyelidikan Komnas HAM.
”Tidak semua pelanggaran masa lalu dapat diselesaikan non-yudisial”
Yan menambahkan, penerbitan keppres dinilai juga mengabaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tengah berlangsung di DPR. ”Regulasi ini merupakan langkah politik yang justru tak mengakui KKR,” ujarnya.
Dalam pidatonya, Presiden juga menyinggung RUU KKR yang hingga kini masih berproses. Ia juga menyatakan keseriusan pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua Latifah Anum Siregar menyatakan, pemerintah harus serius menangani pelanggaran HAM masa lalu. Menurut dia, hanya masyarakat sebagai korban yang berhak menentukan kasus pelanggaran HAM berat ditangani yudisial atau non- yudisial. ”Tidak semua pelanggaran masa lalu dapat diselesaikan non-yudisial,” katanya.
Latifah mengingatkan, penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua harus mengacu pada UU Otonomi Khusus Papua. Sebab, dalam undang-undang itu ada mandat agar pemerintah menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM.
”Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat non-yudisial itu bentuknya RUU KKR. Tapi, UU KKR dibatalkan MK. Sekarang yang yudisial masih tetap jalan”
Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey menyatakan, keppres tersebut tak boleh menghambat upaya penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM di Papua. Ia meminta sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM diproses hukum.
Wujud kehadiran negara
Baca Juga: Kerja Nyata Tim Penyidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai Ditunggu
”Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat non-yudisial itu bentuknya RUU KKR. Tapi, UU KKR dibatalkan MK. Sekarang yang yudisial masih tetap jalan,” kata Mahfud.
Hal senada diungkapkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin. Ia menyatakan komitmen Presiden Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tak pernah surut.