Sidang HAM Paniai, Saksi Lihat Tembakan Lurus ke Arah Warga
Sidang kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai kembali digelar di PN Makassar. Sejumlah saksi dihadirkan dalam persidangan tersebut.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN, FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Sidang kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, berlanjut pada Rabu (28/9/2022). Saksi yang dihadirkan dalam persidangan ini menyebut melihat tembakan lurus ke arah massa dan juga penikaman yang dilakukan anggota TNI kepada warga yang berunjuk rasa.
Sidang dengan agenda mendengar keterangan saksi ini menghadirkan empat anggota kepolisian sebagai saksi. Keempatnya berada di lokasi saat kejadian unjuk rasa di depan Markas Koramil 1705-02 Enarotali, di Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua, 8 Desember 2014. Empat saksi yang dihadirkan adalah Brigadir Satu (Briptu) A Ridho Amir, Briptu Abner W Windesi, Brigadir Kepala Riddo Bagaray, dan Ajun Inspektur Dua Haile ST Wambrauw.
Dalam keterangan di depan majelis hakim, saksi Ridho mengatakan, saat kejadian, dia berada di halaman Markas Koramil. Ridho, yang saat itu bertugas sebagai ajudan Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Paniai, sedang memanaskan kendaraan. Mobil dinas Asisten 1 itu memang selalu diparkir di halaman Koramil.
”Saat peristiwa unjuk rasa tanggal 8 Desember 2014, bersamaan hari Senin. Pagi itu anggota di Koramil sedang bersiap untuk apel. Namun, massa yang berunjuk rasa datang ke depan Koramil. Mereka berteriak meminta tanggung jawab tentara atas peristiwa malam sebelumnya,” kata Ridho.
Berdasarkan dakwaan jaksa pada sidang sebelumnya, peristiwa unjuk rasa ini adalah buntut pemukulan yang dilakukan anggota TNI kepada kelompok pemuda di Pondok Natal sehari sebelumnya, yakni pada 7 Desember 2014. Pemukulan ini terjadi akibat cekcok salah seorang anggota TNI dengan sekelompok pemuda pada pagi hari, saat anggota TNI nyaris menyerempet pemuda yang meminta sumbangan di jalan di sekitar Pondok Natal.
Menurut Ridho, saat unjuk rasa, sebagian massa menggunakan pakaian adat dan melumuri tubuhnya dengan lumpur dan menarikan semacam tari perang. Dalam unjuk rasa tersebut, kondisi akhirnya tidak terkendali dan massa mulai memanjat pagar.
Saat itu, Komandan Koramil (Danramil) tidak berada di tempat. Terdakwa Isak Sattu, yang saat itu menjabat sebagai perwira penghubung (pabung) Kodim 1705 Paniai, diketahui menelepon Komandan Kodim (Dandim) untuk meminta arahan terkait pengendalian massa.
”Saya dengar pabung berkata tunggu dulu, saya masih berkoordinasi. Namun, ada anggota menjawab, untuk apa menunggu, kita sudah diserang. Oleh pabung dijawab silakan (mengamankan massa) dan jangan ada tembakan. Lalu, anggota mulai mendesak massa mundur. Namun, saya melihat ada anggota yang menembak lurus ke arah massa dan saya melihat ada korban jatuh. Saat warga mundur, ada yang tertinggal satu orang di lapangan, lalu ada anggota TNI yang mengejar lalu menusuk pakai sangkur,” kata Ridho dalam kesaksiannya.
Menurut dia, saat keluar dari halaman Koramil, warga mundur ke arah lapangan Karel Gobay. Posisi lapangan ini ada di depan Markas Koramil. Adapun Markas Polsek Paniai Timur diapit Markas Koramil (Makoramil) Enarotali dan Kantor Distrik Paniai Timur.
Saksi lain, yakni Riddo, yang saat peristiwa berlangsung menjabat sebagai Komanda Peleton Dalmas Polres Paniai mengatakan, saat itu ada ratusan warga yang berunjuk rasa di Makoramil. Saat peristiwa terjadi, dia sedang berada di markas polres dan diminta segera merapat ke polsek.
”Saat tiba, keadaan sudah ramai. Massa mulai tidak terkendali. Kami sempat memberikan tembakan peringatan, lalu mengamankan diri karena situasi kacau. Lalu saya mendengar tembakan berkali-kali. Setelah kejadian, saya mendengar ada empat orang meninggal,” katanya.
Keterangan keempat saksi yang mengatakan mendengar suara tembakan bertubi-tubi, sesuai dengan bukti rekaman video yang dihadirkan di ruang sidang. Dalam rekaman video itu tampak warga mendatangi Makoramil. Di tengah aksi unjuk rasa, terdengar tembakan berkali-kali.
Saksi Haile mengatakan, tembakan pada mulanya berasal dari markas polsek berupa tembakan peringatan. Namun, suara rentetan tembakan berikutnya berasal dari Makoramil. Saat itu tak hanya Makoramil, tapi juga ada markas lain milik TNI, yakni Markas Paskhas dan Kopassus. Markas Paskhas saat itu dekat dengan bandara.
Terkait keterangan saksi ini, terdakwa Isak Sattu sempat membantah sejumlah keterangan. Dia menyebut tak benar jika disebut saat itu tak ada aparat kepolisian yang berjaga.
”Masalah jarak pagar dengan penembak bukan sekitar 2 meter sebagaimana keterangan saksi. Halaman Koramil sekitar 10 meter. Setidaknya jaraknya empat-lima meter antara penembak dan warga yang berada di pagar. Tidak ada anggota Koramil yang mengejar warga,” katanya.
Penanganan kasus ini menjadi momentum untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua.
Sementara itu, di Papua, juru bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, menyayangkan tidak hadirnya saksi dari keluarga korban dalam sidang lanjutan kasus ini. Padahal, saksi dari warga setempat menjadi titik kunci untuk membuka kasus tersebut secara transparan.
Yan menilai, kehadiran para saksi dari kerabat korban sangat diharapkan untuk menjelaskan kronologi kasus tersebut secara komprehensif dan sesuai fakta di lokasi kejadian, yakni lapangan Karel Gobay dan Pondok Natal.
Dia mengatakan, penanganan kasus ini menjadi momentum untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua. Karena itu, ia berharap terdakwa berkomitmen dan tidak takut menyampaikan kebenaran dalam kasus tersebut.
Tujuannya, untuk mengungkap pelaku lainnya yang terlibat dalam aksi penembakan yang menewaskan empat warga tersebut. ”Kesaksian Isak dapat membuka jalan untuk mengungkap pelaku lainnya yang melepaskan tembakan di Lapangan Karel Gobay,” kata Yan.
Anggota DPR Papua, John Gobay, mengungkapkan, tidak hadirnya saksi dari pihak warga karena masalah kekecewaan terhadap negara dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai. Masyarakat kecewa karena hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Ia berharap pihak kejaksaan memfasilitasi para saksi agar dapat menghadiri sidang tersebut. Kehadiran para saksi dari warga setempat akan mengungkap fakta baru dalam kasus ini. ”Proses hukum kasus pelanggaran HAM berat di Paniai memakan waktu hingga tujuh tahun. Masyarakat semakin hilang kepercayaan ketika hanya satu orang yang menjadi tersangka dalam kasus ini,” kata John.
Sebelumnya, Koalisi Pemantau Sidang HAM Paniai juga menyoroti perihal hanya ada satu terdakwa dalam kasus ini. Padahal, ada juga pelaku penembakan yang mestinya dijadikan tersangka dalam kasus ini.