Ada dua masalah utama yang akan dihadapi oleh penyelenggara pemilu karena tak ada revisi UU Pemilu. Problem yang bersifat prosedural dan substansial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengamat kepemiluan menilai tantangan yang akan dihadapi penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024 tak mudah. Mulai dari tantangan hukum, teknis, hingga legitimasi hasil pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai tak banyak membantu mengurai kesulitan itu.
Anggota KPU 2012-2017 dan Ketua KPU 2017-2021 Arief Budiman dalam diskusi bertema ”Peluang dan Tantangan Penataan Penyelenggaraan Pemilu Menuju Pemilu Serentak 2024” yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Selasa (6/12/2022), menuturkan, tantangan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 cukup berat. Kesulitan dari sisi teknis pelaksanaan dimulai dari jarak waktu pelaksanaan pemilu dan pilkada yang jaraknya berimpitan. Pemungutan suara pemilihan presiden dan legislatif dihelat pada 14 Februari 2024. Sementara pemungutan suara pilkada diadakan pada 27 November 2024. Irisan tahapan pemilu dan pilkada yang berdekatan akan membuka tantangan kerumitan tersendiri.
Adapun dari sisi tantangan alam, pelaksanaan pemilu nasional pada awal tahun juga diperkirakan akan terkendala kondisi cuaca tak menentu. Pada saat tahapan distribusi logistik pemilu, curah hujan, dan ombak di wilayah kepulauan Indonesia biasanya tinggi. Kondisi tanah longsor dan banjir juga akan menjadi kendala petugas di lapangan.
”Dengan sistem pemilu yang masih seperti sekarang, kompleksitas pengelolaan logistik akan luar biasa. Makanya, dulu sempat ada usulan bahwa pemilu itu diselenggarakan di tengah tahun dengan alasan cuaca lebih bersahabat,” ungkapnya.
Selain Arief, narasumber lain adalah Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia Hurriyah, dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M Nur Ramadhan.
Dari sisi internal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus merekrut dan melantik komisioner KPU provinsi, kabupaten, dan kota yang akhir masa jabatannya tak serentak. Ada penyelenggara KPU daerah yang berakhir masa jabatannya di hari pemungutan suara pilkada. Oleh karena itu, di rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) diusulkan penyerentakkan akhir masa jabatan KPU daerah.
Dari sisi beban kerja, penyelenggara ad hoc juga masih akan mengalami beban kerja berat yang harus diantisipasi sejak awal. Sama seperti Pemilu 2019, mereka akan melakukan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima kotak, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika tak dimitigasi dengan baik, beban kerja bertumpuk, dengan waktu kerja yang overtime bisa kembali menyebabkan kematian. Pada Pemilu 2019, ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia karena kelelahan dan penyakit kardiovaskuler.
”Stamina petugas juga akan banyak terkuras di Pemilu 2024 ini,” terangnya.
Tantangan yang dialami Bawaslu juga tak kalah berat. Sebanyak 271 daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Situasi itu bisa menciptakan masalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) hingga netralitas aparat, baik TNI maupun Polri.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI berpendapat, ada dua masalah utama yang akan dihadapi oleh penyelenggara pemilu karena tak ada revisi UU Pemilu. Pertama adalah problem yang bersifat prosedural. Regulasi di UU Pemilu menciptakan arena permainan yang tidak setara dalam kompetisi pemilu. Contohnya, aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang dinilai terlalu tinggi.
Sehingga banyak calon pemimpin potensial yang bisa ikut kontestasi karena aturan itu. Selain itu, parpol calon peserta pemilu juga menjalani verifikasi yang berbeda. Parpol di parlemen seolah masuk jalur tol, setelah lolos verifikasi administrasi. Sementara parpol nonparlemen dan parpol baru harus menjalani verifikasi ganda, yaitu administrasi dan faktual.
”Ketidaksetaraan regulasi antara partai besar dan kecil ini membawa masalah dalam sistem demokrasi kita. Ini memperlihatkan demokrasi kita tidak inklusif,” katanya.
Kedua adalah masalah substansial. Demokrasi di Indonesia masih sebatas prosedural dan belum sampai pada tataran substansial. Partisipasi masyarakat hanya bermakna saat pemilu. Setelah pemilu, terjadi keterputusan antara parpol dan masyarakat. Kebijakan-kebijakan politik lebih banyak mengakomodasi kepentingan parpol. Publik kadang diabaikan suaranya pada saat menyampaikan aspirasi atau menyampaikan kritik dan masukan saat pengambilan kebijakan.
”Pemilu belum bergerak lebih jauh. Dari berbagai literatur, manfaat pemilu lebih banyak dirasakan oleh parpol. Pemilih hanyalah suara saat pemilu, bukan menjadi pemangku kepentingan elite saat membuat kebijakan politik,” imbuhnya.
Saan Mustopa mengatakan, meskipun UU Pemilu tidak direvisi, pembentuk UU akan mengeluarkan Perppu Pemilu sebagai konsekuensi lahirnya empat daerah otonom baru (DOB) Papua. Adanya empat provinsi baru, yaitu Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya, membuat daerah pemilihan bertambah. Oleh karena itu, DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu sepakat ada revisi terbatas melalui penerbitan Perppu Pemilu.
”Karena masih menggunakan UU No 7/2017 tentang Pemilu, secara teknis pelaksanaan sama persis dengan Pemilu 2024,” katanya.
Menurut Saan, di dalam perppu diatur pasal-pasal yang dipandang perlu untuk penataan penyelenggaraan pemilu. Mulai dari penambahan dapil dari 575 kursi menjadi 580 kursi hingga penyerentakan akhir masa jabatan KPU daerah. Pembentuk UU dan penyelenggara pemilu menilai harus ada penyerentakan akhir masa jabatan yang akan diperpendek pada Mei 2023. Perpendekan masa jabatan KPU daerah itu juga digunakan sebagai mekanisme evaluasi penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu yang dinilai kinerjanya kurang baik akan diganti dengan orang-orang baru.
Selain itu, juga ada pengaturan distribusi logistik 25 hari sebelum masa kampanye. Setelah penetapan daftar calon tetap (DCT), 25 hari digunakan untuk antisipasi penyiapan dan distribusi logistik. Perppu akan mengatur hal-hal tersebut untuk menata pemilu serentak 2024 yang dinilai rumit dan kompleks.
Dengan tantangan masalah itu, dia memberikan saran kepada penyelenggara untuk menjalin kerja sama yang baik dengan pemangku kepentingan. Penyelenggara dituntut untuk menyelenggarakan pemilu bukan hanya sekadar sebagai business as usual. Penyelenggara pemilu diminta untuk menggunakan kajian-kajian yang dibuat oleh masyarakat sipil sebagai panduan bekerja. Kritik dan masukan dari masyarakat sipil juga digunakan sebagai pembanding agar bisa menghadapi tantangan yang tak mudah itu.
Arief Budiman menambahkan, tantangan paling penting dalam penyelenggaraan pemilu adalah masalah integritas penyelenggara pemilu. Pemilu bisa berjalan baik dan sukses jika penyelenggara berintegritas. Dengan regulasi yang tidak setara, penyelenggara harus bersikap adil dan memegang teguh integritas. Aturan hukum harus dijalankan dengan patuh dan penuh integritas. Penyelenggara harus jujur, memegang tinggi asas keadilan, imparsial atau tidak berpihak, terbuka, dan bertanggung jawab. Dalam proses elektoral, tahapan harus dijalankan secara tepat waktu sehingga seluruh tahapan bisa berjalan lancar dan baik.