Kode soal capres yang kerap dilontarkan Presiden Joko Widodo meriuhkan panggung politik. Hal ini dinilai sebagai imbas dari ketiadaan ruang untuk memunculkan sari-sari politik.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
Kode ”wajah keriput” dan ”rambut putih” yang dilontarkan Presiden Joko Widodo sebagai figur yang tepat untuk memimpin bangsa di periode kepemimpinan berikutnya, meramaikan panggung politik. Terlebih tak hanya sekali Presiden melontarkan kode dukungan bagi figur potensial bakal calon presiden tertentu. Ada yang menilai hal ini tak etis dilakukan oleh pemimpin negara. Ada pula yang melihatnya sebagai sesuatu yang remeh-temeh sehingga meniadakan upaya pencerdasan politik masyarakat.
Kode-kode yang memicu keriuhan politik ini pun dibahas dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Siapa Si Rambut Putih Pilihan Jokowi?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (30/11/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini, menghadirkan narasumber Ketua Umum Seknas Jokowi (sukarelawan pendukung Jokowi di Pemilihan Presiden 2014 dan 2019) Rambun Tjajo, politikus PDI-P Adian Napitupulu, pengamat politik Mochtar Pabottingi, dan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera.
Kode ”wajah keriput” dan ”rambut putih” disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu massa sukarelawan pendukungnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (26/11). ”Jadi, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya, dari kerutan di wajahnya. Kalau wajahnya cling, bersih, tidak ada kerutan di wajahnya, hati-hati, lihat juga. Lihat rambutnya. Wah, kalau rambutnya putih semua, ini mikirin rakyat ini,” tutur Presiden, saat itu.
Meski ia tak menyebutkan figur yang dimaksudnya, kemudian spekulasi beredar bahwa kode dari Presiden Jokowi itu mengarah pada Gubernur Jawa Tengah yang juga kader PDI-P, Ganjar Pranowo. Ganjar memang berambut putih.
Terlebih, pada 21 Mei lalu, saat menghadiri Rapat Kerja Nasional V Projo (kelompok sukarelawan Jokowi lainnya), di Magelang, Jokowi juga melontarkan sinyal yang mengarah pada Ganjar. ”Urusan politik ojo kesusu sik, jangan tergesa-gesa, meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” katanya. Ganjar termasuk yang hadir dalam acara itu.
Namun, Rambun Tjajo sebagai sukarelawan Jokowi menolak menginterpretasikan kode-kode dari Jokowi tersebut. Bahkan, dia meminta para elite supaya tidak terlalu fokus pada hal tersebut. Sebab, Presiden sudah berulang menyampaikan bahwa soal pencalonan presiden merupakan wilayah partai politik, dan ia tak akan mengintervensi.
Sementara PDI-P meradang dan menyesalkan pertemuan Jokowi dengan sukarelawan pendukungnya itu, terutama yang digelar di GBK, akhir pekan lalu. Pertemuan itu dinilai menurunkan citra Presiden. Bahkan, Wakil Sekjen PDI-P Utut Adianto meminta Jokowi tak lagi mengeluarkan kode- kode soal capres karena dinilainya tak elok disampaikan oleh seorang kepala negara.
Adian Napitupulu menjelaskan sikap PDI-P tersebut berlatar banyaknya musibah dan bencana yang sedang menerpa Indonesia, seperti tragedi Kanjuruhan dan gempa Cianjur.
Namun, setelah publik dan panggung politik diramaikan oleh kode terbaru dari Presiden, Jokowi kembali meresponsnya. ”Rambut putih kan banyak
banget. Pak Basuki (Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) itu rambutnya putih, Pak Hatta Rajasa (Ketua Majelis Penasihat Partai Amanat Nasional) juga putih. Pak Ganjar juga putih. Pak Prabowo juga,” tutur Presiden di Pontianak, Selasa (29/11).
Jika ditilik ke belakang, kode dukungan dari Jokowi tak hanya disampaikan di hadapan sukarelawan pendukungnya.
Saat menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun Ke-58 Partai Golkar pada Oktober lalu, Jokowi menyebut Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon pemimpin yang mumpuni. Pada awal November, Jokowi menyebut, Pilpres 2024 merupakan waktu bagi Menteri Pertahanan yang juga bakal capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, untuk memenangi kontestasi setelah kalah di dua pilpres sebelumnya.
Kegenitan politik
Menurut Mardani Ali Sera, kode-kode dari Presiden yang mendukung bakal capres tertentu sebagai kegenitan politik. ”Secara etika, enaknya beliau betul-betul netral. Sebab, sebagai kepala pemerintahan punya bobot politik. Sebagai kepala negara, beliau seharusnya netral, beliau harus ikut konstitusi,” tutur Mardani.
Adapun Mochtar Pabottingi melihat kode-kode dari Jokowi sebagai akibat ketiadaan ruang untuk memunculkan sari-sari politik. Kode-kode itu disebutnya sebagai ampas politik atau hal remeh-temeh. Semestinya, hal-hal yang lebih substansial, seperti gagasan-gagasan politik yang lebih transenden dan mencerdaskan masyarakat, yang diangkat dan diramaikan.
Terlepas dari hal itu, kode dukungan bagi figur potensial bakal capres tertentu dari Presiden tak jarang disambut antusias parpol yang mengusung figur itu. Ini tak lain karena dukungan dari Presiden diyakini bisa memperbesar kans kemenangan jika figur tersebut betul-betul maju sebagai salah satu kandidat di Pilpres 2024.
Keyakinan ini bukan tanpa dasar. Mengacu pada hasil survei Litbang Kompas, 24 September-7 Oktober 2022, angka ketaatan warga memilih capres yang didukung oleh Presiden Jokowi sekitar 15,1 persen. Hal ini pula yang menjadi faktor yang diperhitungkan oleh para sukarelawan Jokowi. ”Bahwa kemudian ada faktor endorsement-nya yang menjadi penting karena (Pak Jokowi) presiden dua periode dan punya pendukung seperti saya dan teman-teman yang cukup besar,” kata Rambun Tjajo.
Meski demikian, Adian bersikukuh PDI-P tidak bisa ditekan oleh siapa pun dalam menentukan capres yang akan diusung. Semua akan mengikuti keputusan dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri karena itu yang diamanatkan oleh Kongres V PDI-P pada 2019.
Mardani lebih memilih tidak ambil pusing dengan kode dukungan Jokowi pada figur potensial bakal capres tertentu. Sebab, angka ketaatan 15 persen dinilainya tidak terlampau signifikan.
Adapun Mochtar mengingatkan, hal yang tak boleh diabaikan oleh parpol dalam pencalonan presiden-wakil presiden adalah hak prerogatif masyarakat dalam menentukan pilihan. Maka, semestinya ketua umum partai tidak melupakannya atau bahkan bersikukuh bahwa penentuan capres, wilayah mereka. Jadi, parpol bisa saja bunuh diri bila tak mengindahkan harapan dan suara publik. Demokratisasi di parpol dalam memilih capres juga menjadi salah satu kuncinya.