Dukungan Jokowi dan Safari Prabowo Saat Elektabilitas Tergerus
Di tengah penurunan elektabilitas dan pergeseran pemilih, Prabowo mulai gencar bermanuver dengan sasaran spesifik, yakni kelompok nahdliyin.
> Prabowo Subianto menghadapi tantangan berat untuk maju di Pilpres 2024 meski dua kali Presiden Joko Widodo menyatakan mendukungnya
> Silaturahmi Prabowo ke kiai-kiai NU tak bisa dilepaskan dari intensi politiknya
> Tren penurunan elektabilitas Prabowo semestinya menjadi alarm
Kans Prabowo Subianto merebut kursi RI 1 pada Pemilihan Presiden 2024 sekilas tampak menjanjikan. Selain konsisten berada di posisi tiga besar calon presiden pilihan publik versi berbagai lembaga survei, ia juga dua kali memperoleh dukungan dari Presiden Joko Widodo yang disampaikan di hadapan publik pekan lalu. Namun, Prabowo juga menghadapi tantangan berat, yakni calon penantang yang mulai mengikis basis pemilihnya. Prabowo yang selama dua tahun terakhir menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai menteri pertahanan pun mau tak mau harus keluar dari sarangnya.
Awal November bisa jadi pekan paling sibuk bagi Prabowo Subianto. Bagaimana tidak, seusai mengurus Indo Defence 2022, pameran teknologi pertahanan dan persenjataan internasional dua tahunan yang digelar di Jakarta, 2-5 November 2022, ia langsung bertolak menuju Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam Indonesia (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Sabtu (5/11/2022) malam. Di salah satu ponpes Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, Prabowo disambut lalu bertemu secara tertutup dengan KH Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf, pimpinan ponpes.
Keesokan harinya, Ketua Umum Partai Gerindra itu melanjutkan perjalanan dari Magelang menuju Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia bermaksud sowan ke Ponpes Raudlatut Thalibin yang diasuh KH Mustofa Bisri. Di sana, Prabowo pun diterima dan diajak berbincang sekitar dua jam oleh KH Mustofa Bisri, ulama senior yang akrab disapa Gus Mus.
Tak berhenti di situ, perjalanan akhir pekan Prabowo berlanjut ke Surabaya, Jawa Timur. Ia menempuh jarak sekitar 200 kilometer untuk menemui Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar.
Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani yang turut mendampingi perjalanan Prabowo pekan lalu mengatakan, sejumlah pertemuan itu merupakan kelanjutan dari pembicaraan saat Prabowo bertemu dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar di Ponpes API Asri, September lalu. Saat itu, Prabowo menegaskan komitmen untuk memperhatikan ponpes serta mengintensifkan kunjungan dan komunikasi dengan para kiai.
Adapun Gerindra dan PKB telah membentuk koalisi untuk menghadapi Pemilu 2024. Sekalipun koalisi tersebut belum mendeklarasikan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung secara resmi, Prabowo dan Muhaimin sudah mendapatkan mandat sebagai capres dari partai politik (parpol) masing-masing. Gerindra mendeklarasikan Prabowo sebagai capres pada Agustus lalu, sedangkan PKB memberi mandat kepada Muhaimin melalui Muktamar PKB 2019.
Sekalipun baru dideklarasikan Gerindra belum oleh koalisi, Prabowo dua kali mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo untuk berkontestasi di Pilpres 2024. Pertama, ketika Jokowi menghadiri pembukaan pameran Indo Defence 2022, Rabu (2/11). Dukungan serupa disampaikan kembali ketika Presiden berpidato dalam peringatan Hari Ulang Tahun Ke-8 Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Senin (7/11).
Sebelum berkoalisi dengan PKB, Prabowo pun sudah gencar bersafari politik ke lingkungan nahdliyin. Tak hanya kepada para kiai di sejumlah ponpes pada momentum Lebaran, Mei, ia pun hadir ke kongres Fatayat NU, organisasi pemudi NU, pada Juli.
Baca juga: Safari Lebaran Prabowo Telah Melintasi Mayoritas Provinsi di Jawa
Wakil Ketua Umum Gerindra Irfan Yusuf Hasyim mengungkapkan, sejak lama Prabowo bersahabat dengan para kiai NU. Bahkan, sejak mantan komandan jenderal Kopassus itu masih bertugas di militer. Namun, komunikasi mereka sempat terputus karena kesibukan masing-masing, terutama ketika Prabowo menjabat sebagai menteri pertahanan. Prabowo yang tak mau menggunakan hari kerjanya untuk urusan lain pun harus mencari hari libur untuk bersilaturahmi.
Meski sebatas silaturahmi, Irfan yang juga mendampingi Prabowo dalam setiap kunjungan ke kiai NU mengakui, pertemuan dengan para ulama tak sepenuhnya bisa dilepaskan dari intensi politik Prabowo. Salah satunya ketika bertemu dengan Gus Yusuf. Pasalnya, Gus Yusuf tidak hanya memimpin Ponpes API Tegalrejo, tetapi juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKB Jawa Tengah. ”Pertemuan dengan Gus Yusuf bisa dikatakan safari politik karena keduanya sama-sama politisi,” kata Irfan saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Ia menambahkan, Gerindra dan Prabowo juga menyadari potensi besar NU secara elektoral. Sebagai organisasi kemasyarakatan dengan basis massa terbesar di Indonesia, NU merupakan ceruk suara pemilih yang potensial bagi Prabowo yang berniat maju pada PIlpres 2024. Tak bisa dihindari, partai pun memberikan perhatian besar bagi kelompok nahdliyin.
”NU memang jumlahnya lebih besar, tentu perhatian kami banyak ke sana. Walaupun demikian, itu tidak berarti kami tidak memperhatikan kelompok-kelompok lain. Kelompok lain tetap kami perhatikan juga,” ujar Irfan.
Baca juga: Ikhtiar Keempat Prabowo Subianto
Selain itu, ia juga tidak memungkiri, langkah memperkuat hubungan dengan kelompok nahdliyin merupakan respons dari dinamika politik yang berkembang. Partai selalu memantau perkembangan, tidak terkecuali hasil survei sejumlah lembaga, di antaranya soal kecenderungan pemilih Gerindra dan Prabowo. Namun, ia tidak menjelaskan tren yang dimaksud lebih rinci.
”Ada beberapa hal yang menjadi perhatian kami, termasuk arah (dukungan) dari calon pemilih juga kami perhatikan,” kata Irfan.
Pergeseran pemilih
Arah dukungan pemilih Prabowo setidaknya terbaca dari hasil tiga survei Litbang Kompas sepanjang 2022. Survei pada Januari, Juni, dan Oktober menunjukkan adanya peralihan dukungan dari pemilih Prabowo yang sebelumnya memilihnya pada Pilpres 2019 ke sosok lain, yakni Anies Baswedan, bakal capres yang didukung Partai Nasdem. Pergeseran pemilih ini terjadi di tengah penurunan elektabilitas Prabowo, yakni dari 26,5 persen pada Januari; 25,3 persen pada Juni; dan 17,6 persen pada Oktober.
Survei yang dilakukan dalam tiga periode terakhir menunjukkan tren peningkatan dukungan dari pemilih Prabowo terhadap Anies. Pada Januari, Prabowo masih mendapatkan dukungan dari hampir separuh pemilihnya pada 2019 (42,1 persen). Sementara dukungan ke Anies rata-rata seperlimanya saja (26,9 persen). Dukungan terhadap Anies dari pemilih Prabowo ini masih terpaut dua digit dari yang diraih Prabowo. Kondisi itu relatif stabil pada survei Juni 2022, yakni Prabowo (42,6 persen) dan Anies (20,9 persen).
Baca juga: Surya Paloh, Anies, dan Sembilan Jam yang Menentukan
Peta elektoral antara Prabowo dan Anies mulai berubah pada Oktober. Dukungan dari pemilih Prabowo terhadap Anies melonjak (31,6 persen), sedangkan dukungan terhadap Prabowo mengalami defisit (30,3 persen). Selisih angka elektoral keduanya menipis, bahkan relatif terbelah sama besar.
Hasil survei Kompas juga merekam bagaimana Prabowo dihadapkan pada tren penurunan dukungan dari pemilih berlatar belakang warga NU. Jika merujuk tiga survei terakhir, tingkat keterpilihan Prabowo di mata warga nahdliyin rata-rata sebesar 22,4 persen. Angka itu relatif stabil pada Januari dan Juni.
Sejalan dengan penurunan elektabilitas Prabowo di mata pemilihnya pada 2019, tren pemilih nahdliyin terhadap Prabowo juga menurun hingga enam poin pada Oktober. Dukungan warga NU pada Prabowo pada Juni mencapai 24,4 persen, sedangkan pada Oktober, elektabilitas Prabowo turun menjadi 18,5 persen.
Lagi-lagi gejala yang sama juga mengindikasikan bahwa penurunan terjadi karena kecenderungan pemilih NU yang sebelumnya memilih Prabowo mengalihkan dukungannya ke Anies. Di kelompok responden NU, elektabilitas Anies pada Oktober mencapai 15,1 persen. Angka tersebut berada di atas rata-rata tingkat keterpilihan Anies dari tiga survei yang berada pada angka 13,2 persen.
Baca juga: Prospek Setelah Sinyal Anies-AHY Muncul
Hal itu semakin menegaskan, ceruk pemilih Prabowo dan Anies berada dalam kuali yang sama. Jika keduanya sama-sama maju sebagai calon presiden di Pemilu 2024, besaran suara yang saat Pemilu 2019 yang diraih Prabowo diperkirakan akan terbelah.
Lebih luas
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan memandang, Prabowo memang mulai ditinggalkan sebagian pemilihnya sejak ia memutuskan bergabung ke koalisi pemerintahan usai kalah di Pilpres 2019. Kelompok pemilih dimaksud adalah sebagian kelompok Islam yang juga menjadi pendukung Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Kelompok yang menempatkan diri berseberangan dengan pemerintah atau Presiden Joko Widodo itu tak lagi mengidentifikasi Prabowo sebagai bagian dari mereka.
Kacung melihat, hal tersebut juga disadari oleh Gerindra dan Prabowo. Oleh karena itu, untuk menggantikan pemilih yang bergeser sekaligus memperluas basis dukungan, mereka mencoba menyasar kelompok Islam moderat, salah satunya yang terwakili oleh NU. Kecenderungan itu diperkuat dengan pemilihan PKB sebagai rekan koalisi. PKB dipersepsikan sebagai parpol yang memiliki hubungan erat dengan warga nahdliyin.
Pilihan untuk mendekati kelompok nahdliyin, menurut Kacung, merupakan langkah yang cermat. Namun, Prabowo tidak bisa berhenti hanya di level kiai. Meskipun preferensi elite agama masih menjadi rujukan, pemilih saat ini cenderung lebih independen dalam membuat keputusan. Berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya ketika pengaruh dan karisma pemuka agama masih sangat kuat mempengaruhi pilihan masyarakat.
Baca juga: Strategi Dua Kaki PKB demi Kuasai 100 Kursi Parlemen
”Yang lebih penting adalah bergerak ke sasaran pemilih. Kiai memang bisa menjadi payung untuk masuk ke akar rumput, tetapi Prabowo juga harus turun ke masyarakat secara langsung,” kata Kacung.
Upaya tersebut juga harus diperluas ke kelompok lain karena kelompok moderat tidak terbatas pada NU. Selain itu, Prabowo diingatkan untuk bergerak wilayah-wilayah di luar Jawa. Kantong suara pemilih Prabowo di Sumatera, Sulawesi, pada 2019 perlu dipertahankan agar tidak ikut bergeser ke sosok lain. Apalagi, jika merujuk survei Kompas pada Oktober, pemilih Prabowo sebagian besar ada di Jawa (51,4 persen). Adapun di pulau lain, di antaranya, Sumatera (21 persen), Sulawesi (9 persen), dan Kalimantan (8,2 persen).
Lebih dari itu, kata Kacung, indikasi pergeseran pemilih tersebut semestinya jadi alarm bagi Prabowo jika serius untuk kembali berkontestasi di Pilpres 2024. Ia harus segera bergerak menyosialisasikan diri untuk menggaet kembali pemilih lama dan calon pemilih barunya. Tanpa manuver yang intens, para pemilih yang semula bergeser berpotensi benar-benar meninggalkan Prabowo. ”Kalau Prabowo tetap pasif sampai akhir tahun, tren penurunan (elektabilitas) akan terus terjadi. Kalau mau rebound, dia harus keluar dari sarang,” ujarnya.
Di tengah penurunan elektabilitas dan pergeseran pemilih, Prabowo memang terlihat mulai keluar dari sarangnya. Namun, apakah safari politik akhir pekan ala Prabowo ini bisa kembali meningkatkan keterpilihannya di mata publik? Waktu yang bisa menjawab.