Utusan Golongan Dinilai Penting untuk Mengurangi Hegemoni Partai Politik
Problem bangsa saat ini dinilai terlalu dominan diputuskan lewat partai politik. Padahal, parpol tidak selalu mewakili keadilan dan kebenaran di masyarakat.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghadirkan kembali utusan golongan di MPR dinilai penting karena belum semua aspirasi masyarakat bisa terwakili oleh perwakilan partai politik dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Keberadaan utusan golongan juga dinilai penting untuk mengurangi hegemoni partai politik. Namun, untuk menghadirkannya, konstitusi harus diamendemen. Penentuan mereka yang menjadi utusan juga harus melalui pemilihan, tak lagi penunjukan seperti era Orde Baru.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, ketika merancang bangunan parlemen, para pendiri bangsa memahami keberagaman masyarakat dan pentingnya seluruh elemen di masyarakat bisa terwakili dalam parlemen. Dengan demikian, aspirasi setiap elemen bisa didengar dan diserap pemerintah. Karena itu, para pendiri bangsa tak hanya membentuk perwakilan politik dan daerah, tetapi juga menghadirkan utusan golongan.
”Pendiri bangsa kita dulu menyebut ketiga sistem, termasuk perwakilan golongan atau utusan golongan, karena pertimbangan keanekaragaman Indonesia. Jadi, ide untuk menghidupkan kembali utusan golongan ini merupakan upaya menghidupkan kembali ide asli pendiri bangsa,” kata Jimly dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk ”Urgensi Kehadiran Utusan Golongan”, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Selain Jimly, hadir pula sebagai pembicara Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia John Pieris.
Utusan golongan di MPR dihapuskan saat amendemen UUD 1945 pada 1999. Susunan keanggotaan MPR kemudian hanya berasal dari perwakilan politik dan daerah. Dengan keanggotaan MPR hanya berasal dari dua kelompok itu, menurut Jimly, tak semua kelompok masyarakat bisa terwakili, terutama masyarakat adat. Ini pula yang mendorongnya mengusulkan agar utusan golongan dihidupkan kembali.
Selain itu, menghadirkan kembali utusan golongan dinilai penting di tengah hegemoni partai politik (parpol). Menurut dia, semua permasalahan saat ini terlalu dominan diputuskan lewat mekanisme parpol. Padahal, parpol tidak selalu mewakili keadilan dan kebenaran di masyarakat.
”Saatnya utusan golongan dihidupkan kembali agar semua masalah bangsa tidak hanya diserahkan kepada parpol,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Lantas siapa yang nantinya bisa menjadi utusan golongan? Menurut Jimly, golongan penduduk dapat dibedakan menjadi dua besaran kelompok. Pertama, golongan masyarakat madani yang terorganisasi dalam kelompok masyarakat sipil dan golongan pelaku usaha dalam bentuk koperasi dan korporasi. Jimly mengatakan, idealnya kedua kelompok tersebut tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Namun, John Pieris mengingatkan, jika ingin menghadirkan kembali utusan golongan, harus didahului dengan amendemen kembali UUD 1945. Selain itu, harus ada kejelasan fungsi utusan golongan. Hal tersebut perlu dipertimbangkan agar utusan golongan benar-benar mewakili suara masyarakat.
”Utusan golongan jangan sampai mengulang kesalahan pada masa lalu. Harus dipastikan tidak seperti Orde Baru. Dulu, utusan golongan dalam praktiknya hanya memperkuat kekuasaan presiden, setelah itu bubar. Hanya hadir satu kali dalam lima tahun. Nah, jangan begitu lagi,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata John, utusan golongan harus dipilih secara terbuka, bukan dengan penunjukan. Pemilihan tersebut pun harus oleh rakyat. Sebab, ada prinsip ”semua harus diwakili” dan ”semua harus dipilih” sehingga prinsip permusyawaratan/perwakilan dapat terwujud. Adapun terkait pemilihannya, John menyerahkannya pada pemerintah dan parlemen.
Arsul Sani mengatakan, MPR menerima berbagai macam aspirasi dari masyarakat untuk mendalami dan mengkaji kemungkinan amendemen kelima UUD 1945. Namun, yang kemudian dimatangkan oleh MPR hanya yang terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Persoalannya, amendemen terbatas untuk PPHN tak bisa dilakukan sebelum Pemilu 2024 lantaran sudah terlalu banyak agenda. Paling tidak, menurut Arsul, jika langkah amendemen ditempuh, harus dilakukan setelah Pemilu 2024.
”Usulan amendemen tidak dapat diajukan kalau masa kerjanya (anggota MPR) kurang dari enam bulan. Jadi, kami mungkin bisa mengusulkan setelah Pemilu 2024 (tanggal pemungutan suara Pemilu 2024, 14 Februari 2024), masih ada waktu sekitar tujuh bulan. Mumpung pemerintahan lama belum berakhir dan pemerintahan baru belum dimulai,” ucap Arsul. Masa kerja anggota MPR periode 2019-2024 berakhir pada 30 September 2024.
Namun, sebelumnya, MPR sepakat menghadirkan PPHN tidak melalui amendemen UUD 1945, melainkan konvensi ketatanegaraan. Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, Badan Pengkajian MPR telah menemukan terobosan hukum untuk menghadirkan PPHN dengan bentuk hukum berupa konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam ataupun ke luar. Jalan amendemen konstitusi tidak dipilih karena dikhawatirkan akan disusupi berbagai macam kepentingan politik (Kompas.id, 10/8/2022).