Usulan Amendemen Terbatas Bergulir Kembali
Pengaturan PPHN lewat amendemen konstitusi secara terbatas diusulkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan MPR, dalam rapat gabungan antara pimpinan MPR serta pimpinan fraksi partai politik di MPR dan kelompok DPD.
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat masih membuka kemungkinan untuk mengatur Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN dengan mengamendemen konstitusi secara terbatas. Namun, untuk menghindari masuknya berbagai macam kepentingan politik, proses amendemen diusulkan agar dilakukan setelah Pemilihan Umum 2024 sampai sebelum jabatan MPR periode 2019-2024 selesai.
Pengaturan PPHN lewat amendemen konstitusi secara terbatas ini diusulkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) MPR, dalam rapat gabungan antara pimpinan MPR serta pimpinan fraksi partai politik (parpol) di MPR dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Kompleks Parlemen, akhir Juli 2022. Usulan tersebut kini sedang dikaji.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Usulan serupa sebenarnya pernah muncul pada akhir September 2021. Saat itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengusulkan amendemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dengan hanya menyasar dua pasal. Pasal 3 UUD 1945 terkait kewenangan MPR menetapkan PPHN, dan Pasal 23 UUD 1945 tentang persetujuan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh DPR yang harus merujuk garis-garis kebijakan PPHN.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto saat ditemui di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (9/8/2022), mengakui, amendemen konstitusi menjadi salah satu dari empat alternatif payung hukum yang diusulkan oleh fraksi parpol di MPR untuk mengatur PPHN. Tiga alternatif payung hukum lain yang diusulkan adalah UU, Ketetapan MPR, dan konvensi ketatanegaraan.
”Semua usulan kami tampung dan kami masih terbuka untuk membahas apa payung hukumnya yang tepat nanti,” ujar Yandri.
Baca juga: PPHN Diusulkan Diatur UU, MPR Gerilya ke Partai Politik
MPR telah sepakat membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji payung hukum yang tepat untuk mengatur PPHN. Panitia ad hoc ini akan ditetapkan dalam Sidang Paripurna MPR pada 5 September atau 7 September mendatang. Adapun, panitia ad hoc akan terdiri dari 10 pimpinan MPR dan 45 anggota dari fraksi-fraksi partai politik di MPR dan DPD.
Yandri melanjutkan, saat ini, pimpinan MPR membuka seluas-luasnya bagi setiap fraksi di MPR untuk berkomunikasi dengan partainya. Selain itu, mereka juga bisa berkonsultasi dengan para pihak lain yang dianggap berkompeten terkait pembentukan produk hukum PPHN. Hal terpenting adalah usulan-usulan yang ditawarkan nanti harus memiliki argumentasi dan landasan hukum yang kuat.
”Harapan kami, pada periode MPR sekarang ini, PPHN ini bisa benar-benar lahir. Sebab, sudah dua periode, PPHN ini hanya sebatas rekomendasi kertas kosong. Kami tidak mau itu. Harus segera diakhiri,” tutur Yandri.
Baca juga: Tak Perlu Amendemen, PPHN Cukup Diatur dalam UU Saja
Fraksi PAN juga sangat terbuka dengan empat produk hukum yang ada, termasuk mengamendemen konstitusi secara terbatas. Semua itu sedang dibahas secara detail di dalam fraksi.
”Kami belum mengambil keputusan apa yang kami ambil dari pilihan empat itu tadi. Sedang dikaji,” ucap Yandri.
Disiplin waktu
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan, tujuan PPP mengusulkan amendemen konstitusi secara terbatas dilakukan setelah Pemilu 2024 adalah agar tidak menimbulkan kekhawatiran publik dan tidak membuka kotak pandora masuknya berbagai macam kepentingan. Dengan begitu, tak ada lagi isu soal penundaan pemilu, serta perpanjangan masa jabatan presiden.
”Kenapa? Karena periode presiden yang sekarang Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) sudah akan berakhir dan presiden yang terpilih belum menjabat. Namun, kalau amendemen terbatasnya itu dilakukan sebelum pemilu, itu kan akan menimbulkan kekhawatiran publik, membuka kotak pandora,” kata Arsul.
Meski demikian, lanjut Arsul, ada halangan dalam mengamendemen konstitusi itu. Halangannya adalah Pasal 109 Ayat 4 Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR di mana usulan perubahan UUD tidak dapat diajukan dalam enam bulan sebelum berakhirnya masa keanggotaan MPR.
”Nah, tapi kalau urusannya cuma peraturan tatib MPR, kan, bisa diubah sendiri oleh MPR. Diubahnya melalui apa? Sidang paripurna MPR. Tetapi mengubah itu, kan, tidak sejelimet (serumit) mengubah UU,” ujar Arsul.
Anggota MPR dari Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid, menyampaikan, pengaturan PPHN melalui alas hukum amendemen UUD 1945 hanyalah pertimbangan masalah situasi dan kondisi, apalagi nanti jelang Pemilu 2024. Namun, menurut dia, usul PPP tersebut tetap menarik untuk dikaji lebih dalam.
”Nanti tinggal bagaimana disiplin memanfaatkan waktu setelah pemilu. Karena ada pasal, (yang mengatur bahwa perubahan UUD 1945) diusulkan enam bulan sebelumnya dan juga harus selesai dalam waktu singkat,” tutur Sodik.
Jika anggota dan fraksi MPR bisa disiplin waktu, seperti pembahasan beberapa RUU di DPR yang disiplin, cepat, dan tepat waktu, sangat mungkin amendemen terbatas pasca-Pemilu 2024 bisa selesai. Namun, ia mengingatkan ada kendala lain yang juga harus diperhitungkan, yakni pilkada.
”Mudah-mudahan pimpinan dan anggota fraksi MPR yang akan membahas amendemen terbatas pascapemilu dan pemilihan presiden tidak terlibat banyak dalam pilkada,” ucap Sodik.
Terkait materi PPHN, Sodik mengungkapkan, setidaknya ada tiga pokok besar yang akan diatur di dalamnya, yakni masalah sumber daya manusia, tata kelola negara dan pemerintahan, serta keadilan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ia menyebut, sejauh ini belum ada pemikiran atau pembahasan terkait mengembalikan mandataris MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga pemilih presiden.
Namun, ia mengatakan, terkait tata kelola negara dan pemerintahan nanti, akan diatur soal mekanisme penegakan (enforcement mechanism) apabila presiden atau lembaga-lembaga negara tidak menjalankan PPHN. ”Soal enforcement mechanism jika presiden melanggar PPHN, sangat terpikirkan, dan itulah sebanya, dicari alasan hukum PPHN yang paling legal dan paling kuat,” tuturnya.
Fokus dan tidak melebar
Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai, langkah sejumlah fraksi di MPR yang akhirnya menginginkan amendemen terbatas setelah pemilu itu tidaklah datang tiba-tiba. Ia meyakini, langkah tersebut diambil berkat dorongan publik yang sejak awal khawatir pengaturan PPHN lewat amendemen konstitusi justru akan melebar ke isu lain, termasuk soal perpanjangan masa jabatan presiden.
”Saya pikir itu suatu praktik demokrasi berlandaskan hukum yang baik bahwa, pandangan-pandangan publik, memang seyogianya, memang selama pandangan itu rasional logis, ya, harusnya didengarkan, dipertimbangkan, dan diterima oleh pejabat negara. Saya pikir ini praktik dari demokrasi yang memang melibatkan partisipasi yang baik,” kata Bayu.
Namun, di sisi lain, jika bicara soal amendemen konstitusi, sudah jelas prosedurnya. Artinya, sejak awal, usulan amendemen itu harus sudah jelas menyebut pasal yang akan diubah beserta alasannya.
Untuk itu, jika fraksi-fraksi di MPR menyepakati untuk melakukan amendemen secara terbatas setelah pemilu, komitmen itu harus diikuti. MPR harus fokus pada pasal yang selama ini menjadi perhatian publik, yaitu soal PPHN dan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN.
”Fokus saja pada kebutuhan itu. Jadi tidak usah menyasar pasal-pasal lain yang itu sifatnya akan memperluas amendemen. Padahal, kan, komitmennya amendemen terbatas, yaitu ingin menghadirkan kembali PPHN,” kata Bayu.
Ia berharap, MPR tidak memperluas pasal yang akan diamendemen itu, apalagi malah mengaitkan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan PPHN kepada MPR. Ia mengingatkan bahwa PPHN harus kompatibel dengan sistem demokrasi Indonesia saat ini, yakni meletakkan penguatan presidensial, bukan parlementer.
”Jadi, kalau fokusnya ke meminta pertanggungjawaban Presiden atas pelaksanaan PPHN ke MPR, itu terlalu jauh. Sejak awal komitmen pimpinan MPR, kan, fokus pada pentingnya hadirnya PPHN, bukan fokus pada pertanggungjawaban PPHN. Saya pikir kalau pertanggungjawaban PPHN, kan, MPR sudah punya mekanisme sidang tahunan yang selama ini sudah dilakukan,” ujar Bayu.
Jika MPR tetap berkukuh memasukkan gagasan tersebut, menurut Bayu, ini justru akan mendapat penolakan kembali dari publik. ”Amendemen itu mencari titik persamaan, bukan mencari titik perbedaan. Nah, sesuatu yang justru akan menimbulkan perbedaan, ya, dihindari. Fokus saja pada titik persamaan. Fokus saja pada kajian MPR yang sudah mengerucut pada dua pasal yang ada, jangan ditambahi lain-lain,” katanya.