Asosiasi Diduga Himpun Dana untuk Rekayasa Kuota Impor Garam
Uang yang dihimpun Asosiasi Industri Pengolah Garam Indonesia disebut diberikan pada pejabat Kemenperin yang tugasnya menyusun data pengajuan kuota impor garam. Dalam kasus ini, kejaksaan menetapkan lima tersangka.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik menemukan adanya dugaan permainan dalam penyusunan data yang menjadi dasar bagi kuota impor garam industri dalam kasus dugaan korupsi impor garam industri. Selain itu, diduga terjadi penggalangan dana bagi pejabat Kementerian Perindustrian untuk memuluskan kuota impor garam industri.
Dalam kasus impor garam industri, penyidik telah menetapkan lima tersangka. Kelimanya adalah Muhammad Khayam (MK) selaku Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) periode 2019-2022; Fridy Juwono (FJ) selaku Direktur Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kemenperin; Yosi Arfianto (YA) selaku Kepala Subdirektorat Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kemenperin; F Tony Tanduk (FTT) selaku Ketua Asosiasi Industri Pengolah Garam Indonesia (AIPGI); serta Sanny Wikodhiono (SW) alias Sanny Tan (ST) selaku Manajer Pemasaran PT Sumatraco Langgeng Makmur/Direktur PT Sumatraco Langgeng Abadi.
Para tersangka tersebut diduga merekayasa data kebutuhan dan distribusi garam industri sehingga seolah-olah dibutuhkan impor garam sebesar 3,7 juta ton. Tidak hanya berakibat impor garam industri menjadi berlebihan, tetapi juga garam industri tersebut akhirnya membanjiri pasar garam konsumsi domestik.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Kuntadi, Selasa (15/11/2022), mengatakan, tersangka SW selaku bendahara asosiasi menghimpun dana dari beberapa anggota asosiasi. Uang yang terkumpul tersebut diberikan kepada pejabat Kemenperin yang tugasnya menyusun data yang akan diajukan sebagai dasar kuota impor garam.
”(Jumlah uang yang dikumpulkan) ratusan juta, belum terlalu signifikan. Tetapi, sudah tampak bahwa di lapis bawah itu memang sudah ada pengondisian itu terjadi. Dan yang terlibat itu pelaku usaha, organisasi (asosiasi), pejabat. Jadi sudah ada rangkaiannya,” tutur Kuntadi.
Menurut Kuntadi, penggalangan dana tersebut memang diminta oleh asosiasi kepada para importir. Tersangka FTT selaku Ketua AIPGI dulunya menjabat sebagai pejabat di Kemenperin sehingga mengetahui seluk-beluk kegiatan importasi garam industri.
Penggalangan dana itu diduga dimaksudkan agar perusahaan importir memperoleh kuota impor garam industri. Keputusan itu bukan merupakan keputusan asosiasi, melainkan tergantung setiap perusahaan. Oleh karena itu, menurut Kuntadi, kasus dugaan korupsi impor garam tersebut bukan sebatas kasus suap, melainkan kasus korupsi dengan ada pola di dalamnya.
Terkait kemungkinan penetapan korporasi yang terlibat sebagai tersangka, Kuntadi mengatakan hal itu masih akan didalami. ”Nanti kita evaluasi, sejauh mana korporasi itu memang menghendaki terjadinya perbuatan itu atau memang dia (korporasi) diuntungkan oleh itu. Apakah ini policy dari korporasinya atau enggak, ya, tunggu,” katanya.
Kuntadi mengatakan, dalam kasus korupsi semacam ini, polanya adalah birokrasi di level bawah banyak terkait dengan materiil, sementara di level atas terkait dengan administratif. Bisa jadi data yang dibuat di tingkat bawah memang sudah keliru atau salah, sementara pejabat di tingkat atas tidak mengetahuinya sehingga tidak bisa serta-merta ikut ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, pemeriksaan dan penetapan tersangka tergantung dari alat bukti yang ditemukan penyidik. Dan dalam kasus dugaan korupsi impor garam industri tersebut, penyidik masih mendalami dugaan korupsi yang terjadi di tingkat bawah.
”Kecuali kalau memang atasan itu menghendaki atau ada perintah atau terjadi suap,” terang Kuntadi.
Permainan lama
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, modus korupsi dalam kasus dugaan korupsi importasi garam industri adalah memainkan kuota. Kuota terhadap komoditas atau barang tertentu sengaja dibatasi sehingga memberikan celah bagi oknum tertentu untuk memainkannya atau menambah kuota. ”Otomatis yang bisa melakukan adalah pejabat yang berwenang menambah kuota dan mereka yang dekat dengan pejabat itu. Dan itu memang permainan lama,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, upaya untuk mempermainkan data itu tidak hanya terjadi pada kuota impor garam, tapi juga komoditas lain, seperti impor beras, impor buah, hingga impor bawang putih. Bahkan, lanjut Boyamin, dulu terdapat oknum di kementerian yang bukan merupakan pejabat struktural, melainkan mendapat julukan sebagai juru pungut atau juru setor karena terkait dengan permainan kuota impor barang tertentu.
Modus korupsi dengan mempermainkan kuota impor itu menjadi salah satu keprihatinan MAKI. Oleh karena itu, MAKI telah melaporkan dugaan korupsi serupa, yakni dalam kegiatan impor bawang putih. Modusnya adalah titip harga, yakni sebesar Rp 500 per kilogram untuk pemberian rekomendasi dan Rp 1.000 per kilogram untuk pemberian izin impor. ”Memang permainan semacam itu sudah sangat masif dan itu harus diberantas oleh aparat penegak hukum kita sebagai kasus korupsi,” ujar Boyamin.
Dalam permainan tersebut, asosiasi yang menaungi para importir tersebut biasanya turut berperan, baik sebagai saluran untuk mendapatkan jatah kuota maupun mengumpulkan dana setoran ke pejabat pemerintah.
Untuk mencegah korupsi dengan modus memainkan kuota impor, Boyamin mendesak agar penentuan kuota impor dibuka transparan. Selain itu, perusahaan yang hendak melakukan importasi harus terlebih dulu melalui seleksi terbuka, bukan dipilih berdasarkan kedekatan dengan pejabat tertentu.