Putusan MK yang membatalkan kewajiban mundur menteri saat maju dalam pemilihan presiden perlu ditindaklanjuti dengan pengawasan yang lebih ketat. Meski menteri wajib cuti, potensi penyimpangan masih terbuka.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan menteri atau pejabat setingkat menteri untuk maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden tanpa mengundurkan diri dinilai problematik. Selain menimbulkan persoalan etika, hal itu membuka potensi penyalahgunaan jabatan serta fasilitas negara. Untuk mencegah hal itu, dibutuhkan pengawasan yang lebih kuat selain regulasi baru.
Guru Besar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Wahyudi Kumorotomo mengatakan, saat menteri atau pejabat setingkat menteri maju sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres), mereka bisa memobilisasi aparatur sipil negara (ASN) di bawah otoritasnya, hingga memobilisasi sumber dana negara untuk pemenangannya di pemilihan presiden. Ini tetap terjadi sekalipun menteri atau pejabat setingkat menteri harus cuti.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
"Itu pasti jelas tidak produktif. Artinya, itu menjadi bagian dari penyalahgunaan kewenangan. Birokrasi yang sudah terbangun akan rusak akibat kepentingan politik. Dan mestinya MK (Mahkamah Konstitusi) mengantisipasi hal-hal seperti itu, di luar pertimbangan bahwa hak yang sama bagi setiap warga negara," kata Wahyudi, Selasa (1/11/2022).
Pembatalan ketentuan Undang-Undang (UU) Pemilu yang menyatakan bahwa menteri atau pejabat setingkat menteri harus mundur ketika mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres berangkat dari putusan MK, Kompas (1/11/2022).
MK menyatakan ada pembedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan, yakni rumpun jabatan karena pemilihan (seperti kepala daerah) dan rumpun jabatan karena pengangkatan (seperti menteri). Pembatasan dan pembedaan itu dinilai diskriminatif serta mencederai hak konstitusional parpol sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 28 Ayat (2) UUD 1945. Kendati demikian, menteri atau pejabat setingkat menteri yang ingin maju di pemilihan presiden (pilpres) harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.
Indikasi penyalahgunaan kewenangan tersebut, lanjut Wahyudi, bahkan kerap dijumpai sebelum putusan MK tersebut terbit. Ia khawatir setelah putusan MK, bisa semakin menguat. "Kita sudah begitu lama menyaksikan pejabat-pejabat itu terpengaruh betul oleh nuansa dari kepentingan politik tertentu," katanya.
Oleh karena besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan itu, putusan MK tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengawasan yang lebih ketat. Ini terutama dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), selain pentingnya mengoptimalkan peran serta publik untuk mengawasi.
"Sebab, sekarang ini, kita berharap DPR pun sulit, karena DPR tidak punya kekuatan lagi yang bisa mengoreksi kekuasaan pemerintahan," katanya.
Regulasi baru
Deputi Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani pun menilai putusan MK itu problematik meski pihaknya menghormati putusan itu. Dari sisi etika, sulit bagi pejabat terkait untuk menjelaskan kepada publik bahwa tidak akan ada penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan jabatan untuk kepentingan kampanye dan pemenangan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, kata Kamhar, diperlukan aturan lebih lanjut untuk meminimalkan, bahkan mengeliminasi potensi penggunaan ASN dan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktis pejabat terkait. Namun, menurutnya, pengunduran diri tetap menjadi opsi terbaik.
“Akan jauh lebih baik sekiranya ada kesadaran untuk mengundurkan diri atau cuti di luar tanggungan negara untuk menghindari konflik kepentingan,” katanya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR Jazuli Juwaini menambahkan, MK memiliki otoritas dan mandat untuk membuat putusan yang bersifat final dan mengikat. Karena itu, apa pun putusan yang dibuat harus dihormati.
Akan tetapi, ketentuan itu jelas membuka potensi konflik kepentingan yang bisa mengganggu kinerja pemerintah. Ia berharap, para menteri yang nantinya maju sebagai capres atau cawapres pun tetap bekerja secara obyektif dan tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis.
“Bagus kalau ada pengawasan ekstra untuk mereka yang maju (di Pilpres),” kata Jazuli.
Sebaliknya, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto menerima argumentasi MK. Ini karena jabatan menteri dan pejabat setingkat menteri masuk ke dalam rumpun eksekutif. Dengan demikian, mereka menjadi setara dengan pejabat negara lain yang tidak harus mengundurkan diri saat ingin menjadi capres dan cawapres, yakni presiden, wapres, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, serta wakil bupati.
Larangan di UU Pemilu
Ia melanjutkan, sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, yang terpenting bagi para pejabat tersebut adalah tidak menggunakan fasilitas negara ketika berkontestasi di pilpres. “Jadi, kalau Mbak Puan Maharani (Ketua DPR) mencalonkan sebagai capres atau cawapres, perlu mundur enggak? Tidak. Pak Dasco (Wakil Ketua DPR dari Gerindra Sufmi Dasco Ahmad), tidak. Bambang Pacul, tidak. Asal tidak menggunakan menggunakan fasilitas negara. Kalau menggunakan fasilitas negara, ditangkap, masuk lautan teduh,” kata Bambang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengatakan, saat ini negara tengah menghadapi krisis di segala lini, sehingga membutuhkan pemerintahan yang solid. Soliditas yang dimaksud bisa terancam jika para menteri harus keluar dari kabinet untuk berkontestasi di pilpres. Pasalnya, butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun kecocokan dan kesepahaman kerja antara presiden dan para pembantunya.
Menurut dia, para menteri yang tetap menduduki posisinya ketika menjadi capres atau cawapres tidak akan menimbulkan permasalahan. Apalagi kampanye pilpres sudah ditentukan hanya akan berlangsung selama 75 hari.
“Seharusnya itu tidak ada masalah, selama tetap menjalankan tugas di posisinya masing-masing,” ujarnya.