Putusan Menteri Tak Perlu Mundur jika ”Nyapres” Dapat Respons Beragam
MK menilai ketentuan dalam UU Pemilu yang mengatur menteri atau pejabat setingkat menteri harus mundur ketika menjadi capres atau cawapres bersifat diskriminatif. MK membatalkan ketentuan itu.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi, Senin (31/10/2022), membatalkan ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu yang menyatakan menteri atau pejabat negara setingkat menteri harus mundur ketika mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Namun, MK menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri itu perlu mendapat persetujuan dan izin cuti dari presiden.
Putusan MK ini disambut baik sejumlah partai politik yang elitenya menjabat menteri. Namun, pakar hukum tata negara khawatir ada potensi persoalan jika menteri tak mundur saat jadi capres atau cawapres.
MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Partai Garuda yang mempersoalkan konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 170 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mengatur, pejabat negara yang maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Dalam penjelasan Pasal 170 Ayat (1) diatur bahwa menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam kategori pejabat negara yang harus mundur jika dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai capres ataupun cawapres. Pemohon mendalilkan, ketentuan tersebut diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Atas permohonan itu, MK menyatakan ada pembedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan, yakni rumpun jabatan karena pemilihan (presiden, wakil presiden, anggota legislatif, kepala daerah) dan rumpun jabatan karena pengangkatan (menteri dan lainnya). Padahal, apabila ditinjau dari perspektif seorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu, sejatinya pada diri orang tersebut melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Dengan catatan, hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang ataupun putusan pengadilan.
Menurut MK, dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Arief Hidayat, terlepas pejabat negara menduduki jabatan karena sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih dan memilih tidak boleh dikurangi. MK menilai, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara harus mundur jika dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional.
”Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945,” ujar Arief.
Oleh karena itu, MK menyatakan tidak lagi relevan untuk mempertahankan syarat pengunduran diri menteri atau pejabat setingkat menteri jika dicalonkan menjadi capres atau cawapres oleh partai/gabungan partai. Dengan demikian, Pasal 170 Ayat (1) harus dimaknai secara bersyarat.
Meskipun tidak harus mengundurkan diri, MK menegaskan bahwa menteri yang maju dalam pencalonan presiden/wakil presiden harus mendapatkan izin cuti dari presiden. ”Demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan pejabat negara yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden,” kata Arief.
Dalam putusan tersebut, hakim konstitusi Saldi Isra mengajukan alasan berbeda atau concurring opinion. Ia mengatakan, perlu dicarikan titik keseimbangan antara normalitas penyelenggaraan sistem pemerintahan presidensial agar tidak terjebak dalam sejumlah anomali dan hak konstitusional warganegara untuk dipilih, termasuk dipilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Keseimbangan baru tersebut memberikan kesempatan kepada menteri/pejabat setingkat menteri untuk mengajukan diri sebagai calon presiden/wapres sepanjang mendapat persetujuan dari presiden dan nonaktif/cuti sebagai menteri.
Persetujuan dan izin cuti dari presiden diperlukan untuk menjaga timbulnya kondisi dilematis dan sekaligus potensial merusak bangunan sistem pemerintahan presidensial. Misalnya ketika presiden masih dalam periode pertama jabatannya dan berpotensi untuk maju untuk periode masa jabatan kedua, akan ada pertarungan antara presiden dan anggota cabinet yang notabena adalah bawahan dan pembantu presiden.
Menurut dia, kondisi anomali tersebut akan samakin sulit dipahami jika anggota kabinet mengalahkan presiden petahana. ”Lalu apa yang akan terjadi dalam masa lame duck, yaitu ketika calon presiden yang merupakan anggota cabinet berhasil memenangi kontenstasi pemilihan presiden, sementara presiden incumbent masih melanjutkan sisa masa jabatan hingga akhir masa jabatan. Jikalau dikaitkan dengan tahapan Pilpres 2024, masa lame duck tersebut bisa mencapai enam sampai delapan bulan,” kata Saldi.
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi soal izin presiden terhadap menteri yang ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Gerindra menyambut baik putusan tersebut. Menurut dia, putusan itu sudah selayaknya. Sebab, menteri atau setingkat menteri adalah pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden. Saat mereka ingin menjadi capres atau cawapres, tentu harus meminta persetujuan dan izin kepada presiden.
Dasco yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR itu berpandangan, pemberian izin dari presiden tidak akan mengganggu jalannya pemerintahan. Sebab, masa kampanye pada Pemilu 2024 hanya 75 hari. Kemungkinan, menteri yang nyapres atau nyawapres hanya cuti sepanjang masa kampanye itu. Dengan masa kampanye yang pendek, diyakininya tidak akan mengganggu efektivitas pemerintahan.
Baca juga: Menteri yang Ingin Maju di Pilpres 2024 Diingatkan untuk Jaga Etika Politik
”Masa kampanye hanya tiga bulan, seharusnya tidak mengganggu jalannya pekerjaan menteri. Itu juga pasti akan dibagi kampanye fisik dan virtual, jadi tidak harus setiap hari kampanyenya,” kata Dasco.
Senada, Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi mengatakan, PAN juga setuju dengan putusan MK tersebut. Menteri yang memutuskan untuk maju sebagai capres atau cawapres cukup hanya cuti dan mendapatkan izin dari presiden. Dengan syarat, menteri itu secara formal dan resmi didaftarkan oleh parpol atau gabungan parpol di Komisi Pemilihan Umum.
Selama menjadi calon, menteri yang bersangkutan juga tak boleh melakukan penyelewengan kekuasaan dengan menggunakan fasilitas negara atau menggunakan sumber daya lembaga negara untuk tujuan pemenangan elektoral Pilpres 2024. ”Harus ada sanksi jika ada yang melanggar aturan ini,” kata Viva.
Selain itu, dia juga berpandangan, presiden tentu akan mengawasi kinerja kementerian dan lembaga jika ada menterinya maju sebagai capres atau cawapres. Jika kinerjanya menurun, seharusnya presiden bisa menggunakan hak prerogatifnya untuk mengganti jabatan tersebut agar tidak menggangu kinerja pemerintah.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, berpandangan, pada dasarnya menteri adalah hak prerogatif presiden. Tentu presiden yang pantas memutuskan terganggu atau tidak terganggu dengan pencalonan menteri di kabinetnya. Namun, secara etika, daripada kinerjanya tidak fokus karena pencalonannya, menteri tersebut mundur dari jabatannya.
”Presiden juga rugi karena pembantunya tidak bekerja sebagaimana dimandatkan pasal 17 UUD 1945,” kata Feri.
Feri juga mengingatkan agar pengawasan penyalahgunaan menteri yang mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres ditingkatkan. Sebab, jika menteri tersebut memanfaatkan program kementerian untuk tujuan elektoral, hal itu tidak etis. Presiden seharusnya merasa terganggu. Adapun jika sampai ada penyimpangan anggaran, seharusnya masuk dalam dugaan korupsi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas itu menyebut, menteri yang maju sebagai capres atau cawapres pasti berdampak pada efektivitas pemerintahan Jokowi-Amin. Sebagai pemegang hak prerogatif, presiden bisa menentukan sikap terganggu atau tidak. Idealnya, menurut dia, jika sudah resmi mendaftar sebagai capres dan cawapres, lebih baik menteri tersebut mengundurkan diri.
”Kalau dengan mekanisme izin ini, presiden sebagai pengguna menteri membolehkan. Persoalannya, di etika profesional, ada potensi benturan kepentingan karena itu adalah hak prerogatif presiden,” kata Feri.