JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung saat ini tengah mematangkan rancangan Peraturan MA tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. MA akan membatasi penerapan keadilan restoratif hanya untuk tindak pidana tertentu di luar korupsi, pelanggaran hak asasi atau HAM berat, dan terorisme.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, Selasa (1/11/2022), mengungkapkan, rancangan Peraturan MA (Perma) tentang Pedoman Mengadili Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif itu masih terus dibahas hingga pekan depan. Awalnya, pada saat pembahasan, pendapat jajaran pimpinan dan para hakim agung terbelah mengenai apakah pendekatan keadilan restoratif dapat digunakan untuk tiga tindak pidana khusus, yaitu korupsi, pelanggaran HAM berat, dan terorisme.
Pendapat pertama, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi. Sebab, keadilan restoratif tidak menghentikan proses perkara. Lagi pula penanganan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif berorientasi pada pemulihan keadaan dan perlindungan terhadap hak-hak korban tindak pidana, bukan berorientasi pada kepentingan terdakwa.
Rancangan Peraturan MA (Perma) tentang Pedoman Mengadili Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif itu masih terus dibahas hingga pekan depan.
Pendapat lain yang mengemuka dalam pembahasan rancangan perma itu adalah keberatan jika keadilan restoratif diterapkan dalam perkara korupsi. Sebab, pendekatan penanganan perkara keadilan restoratif mengandung sifat kompromi dan mengakibatkan efek jera putusan hakim akan berkurang.
”Disepakati bahwa penerapan restorative justice dalam perma nanti hanya sebatas pada tindak pidana tertentu saja sehingga tidak termasuk tindak pidana korupsi, tindak pidana pelanggaran HAM berat, atau tindak pidana terorisme,” ujar Andi Samsan.
Mengenai keadilan restoratif dapat diterapkan untuk tindak pidana apa saja, menurut Andi Samsan, hal tersebut saat ini masih dibahas oleh kelompok kerja yang dibentuk untuk menyiapkan rancangan perma tersebut. Pembahasan masih dilakukan hingga pekan depan.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak yang sudah dilantik menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 28 Oktober lalu melontarkan gagasan penerapan keadilan restoratif tak hanya untuk kasus tindak pidana umum, tetapi juga kasus korupsi. Meski disebut jelas di dalam UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana, penerapan keadilan restoratif tetap dimungkinkan jika ada payung hukum baru seperti keputusan presiden.
Johanis Tanak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat menjadi pimpinan KPK dalam rapat paripurna 29 September 2022 untuk menggantikan Lili Pintauli Siregar. Seperti diberitakan sebelumnya, Lili Pintauli mengajukan pengunduran diri saat Dewan Pengawas KPK menggelar persidangan dugaan pelanggaran etik atas penerimaan gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Gratifikasi tersebut diketahui berasal dari sebuah perusahaan milik negara.
Rancangan KUHP
Dalam diskusi Konferensi Nasional Keadilan Restoratif di Jakarta, Selasa ini, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Cahyani Suryandari mengungkapkan sebenarnya saat ini ada sejumlah peraturan pemerintah yang mengatur keadilan restoratif. Sebagai contoh, penerapan diversi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu, ada pula sejumlah peraturan yang tersebar di lembaga penegak hukum.
Bahkan menurut Cahyani, keadilan restoratif juga sudah diusulkan untuk diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah disusun pemerintah. Dalam beberapa pasal diatur tujuan pemidanaan untuk memulihkan korban dengan prinsip pemaafan. Selain itu, ada pula tindak lanjut beberapa pasal KUHP yang mengatur keadilan restoratif.
”Nah apakah itu mau dijadikan sarana menuangkan secara utuh, sehingga tidak tersebar dengan peraturan perundang-undangan lain. (Atau) kita menggunakan sarana yang sudah mengatur keadilan restoratif walau tersebar di beberapa pasal,” tuturnya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu yang juga hadir dalam konferensi itu mengingatkan, keadilan restoratif jangan sampai beralih pada keadilan transaksional. Tujuan utamanya mengedepankan pemulihan korban, tapi malah pelaku yang diuntungkan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menekankan keadilan restoratif bukan negosiasi pasal. Ide tersebut penting diterapkan di negeri ini karena isu berulang, yakni lembaga pemasayarakat dan rumah tahanan yang penghuninya terus melebihi kapasitas. Sanksi pidana dengan pemenjaraan memang dianggap memberi efek jera, tetapi menimbulkan sejumlah dampak turunan.
”Kelebihan dan kepadatan populasi lapas membawa masalah dalam berbagai aspek, seperti keamanan, kesehatan, dan biaya. Mahal sekali itu. Pemberian fasilitas mahal, tapi kebanyakan orang enggak kembali bermasyarakat,” tutur Mahfud.
Persoalan kelebihan penghuni di penjara, lanjutnya, butuh penyelesaian dari hulu. Salah satu caranya adalah mengubah paradigma politik hukum negara. Keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia bisa menjadi salah satu pilihan dan saat ini sudah diadopsi dalam strategi perbaikan sistem pidana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Berdasarkan data World Prison Brief, total populasi penjara di Indonesia 275.518 orang per awal Oktober 2022. Padahal sesuai kapasitas, penjara di Indonesia hanya dapat menampung 132.107 narapidana.
Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN Agus Irianto mengatakan, mayoritas penghuni LP maupun rutan adalah tersangka serta narapidana kasus narkotika. Padahal selama ini, BNN hanya menangkap pengedar, bukan pemakai narkotika. Individu yang tertangkap hanya mengonsumsi akan langsung menjalani rehabilitasi.
Hal yang menjadi persoalan saat ini adalah BNN juga mendapat limpahan pasien rehabilitasi dari lembaga penegak hukum lain.
Penanganan perkara ini dapat diikuti dengan pendekatan hukuman yang berefekjera, tapi juga pendekatan kesehatan atau rehabilitasi, sementara kapasitas rehabilitas di Tanah Air terbatas. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi secara otomatis juga membengkak.