Literasi Digital Perkuat Penerimaan Digitalisasi Pemilu
Kepercayaan publik terhadap penggunaan teknologi dalam pemilu sangat penting. Sebab, akan banyak pertanyaan dan isu yang menyerang penggunaan teknologi oleh penyelenggara pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi dalam berbagai tahapan pemilihan umum menjadi keniscayaan di tengah pelaksanaan Pemilu 2024 yang sangat kompleks. Penyiapan infrastruktur dan sumber daya manusia perlu dilakukan secara beriringan dengan peningkatan literasi digital untuk memastikan penerimaan pemilih terhadap keberadaan teknologi dalam pemilu.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, digitalisasi pemilu di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Padahal, penggunaan teknologi menjadi suatu hal yang tidak terelakkan di tengah pelaksanaan Pemilu 2024 yang kompleks dan bebannya berat. Tantangan tersebut, di antaranya, adalah tingkat literasi digital masyarakat yang masih rendah. Kondisi itu ditambah dengan situasi sebagian besar masyarakat perdesan yang gagap teknologi. Terlebih, infrastruktur digital di daerah yang belum merata membuat kekhawatiran masyarakat terhadap penggunaan teknologi dalam pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Tetapi, di tengah situasi ini, kita tetap harus mulai bertransformasi dari pemilu yang konvensional menuju pemilu yang menggunakan teknologi karena ini sudah menjadi tuntutan, apalagi Pemilu 2024 kompleks, yang kompleksitasnya sudah terlihat pada Pemilu 2019 yang lalu,” ujarnya saat diskusi bertajuk ”Digitalisasi Pemilu 2024: Menuju Penguatan Demokrasi?”, Kamis (20/10/2022).
Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional itu turut menghadirkan narasumber anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Betty Epsilon Idroos, dan Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay.
Oleh sebab itu, kata Saan, penyelenggara pemilu harus berinovasi memanfaatkan teknologi dalam pemilu. Sebab, kompleksitas Pemilu 2024 bisa kembali menjadi persoalan apabila tidak disederhanakan menggunakan teknologi.
Selain beban kerja penyelenggara badan ad hoc yang berat, lanjutnya, hasil pemilu legislatif yang baru diketahui sangat lama masih menjadi persoalan. Rekapitulasi berjenjang mulai tingkat tempat pemungutan suara hingga KPU RI dinilai tidak efektif dan efisien. Bahkan, pemilih terkadang mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas proses rekapitulasi tersebut. ”Salah satu jawabannya ialah penggunaan teknologi. KPU bisa membuat Peraturan KPU yang mengatur penggunaan teknologi dalam rekapitulasi suara dan ini bisa menjadi alternatif karena mempercepat hasil pemilu diketahui publik,” ujarnya.
Betty mengatakan, hampir semua tahapan Pemilu 2024 memanfaatkan teknologi. KPU juga telah membuat peta jalan terkait dengan penggunaan teknologi dalam pengelolaan data dan informasi. Beberapa yang digunakan ialah sistem informasi data pemilih (Sidalih), sistem informasi partai politik (Sipol), sistem informasi pencalonan (Silon), dan sistem rekapitulasi elektronik (Sirekap). Bahkan, penggunaan Sipol pada masa pendaftaran parpol calon peserta pemilu awal Agustus lalu mampu mempercepat pemeriksaan kelengkapan berkas yang biasanya dilakukan hingga belasan jam kini bisa diselesaikan dalam waktu dua jam hingga tiga jam.
”Memang, perlu sosialisasi dan uji coba karena tidak semua parpol memiliki keahlian yang sama dalam penggunaan sistem informasi,” katanya.
Menurut Hadar, pemahaman dan kesadaran dari penyelenggara pemilu, parpol, dan pemilih dalam penggunaan teknologi di pemilu mesti ditingkatkan. Literasi digital pun mestinya dilakukan sejalan dengan penyiapan sumber daya manusia dan infrastruktur agar penggunaan teknologi tidak justru digunakan untuk memanipulasi pemilu. Sebab, publik akan mengetahui dan memahami kebutuhan penggunaan teknologi tersebut.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pembentukan Peraturan KPU yang mengatur penggunaan teknologi perlu segera dibuat agar penerapannya tetap mengikuti prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. ”Penggunaan teknologi mestinya bisa meningkatkan transparansi. Jika tidak terjadi, publik pun akan mempertanyakan korelasi digitalisasi pemilu dengan peningkatan demokrasi,” ujar Hadar.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Expret International Idea Peter Wolf mengatakan, kepercayaan publik terhadap penggunaan teknologi dalam pemilu sangat penting. Sebab, akan banyak pertanyaan dan isu yang menyerang penggunaan teknologi oleh penyelenggara pemilu. Jika publik memberikan kepercayaan tinggi kepada penyelenggara, rumor dan isu negatif itu akan mudah ditepis.
Untuk mencapai itu, penyelenggara pemilu mesti mengajak semua pemangku kepentingan dalam pemilu ikut terlibat dalam digitalisasi pemilu. Penyelenggara tidak bisa bekerja sendirian karena butuh dukungan publik untuk meningkatkan kepercayaan dan penerimaan pemilih. Dengan demikian, semua pemangku kepentingan memiliki suara yang sama untuk terus meningkatkan penggunaan teknologi dalam pemilu. ”Pastikan digitalisasi tidak terjadi di ruang tertutup dan harus ada komunikasi strategis yang melibatkan semua stakeholder yang tepat,” ujar Wolf.