Koalisi Nasdem, Demokrat, PKS Masih Terganjal Pilihan Bakal Cawapres
Meskipun sudah beberapa kali bertemu, pembentukan koalisi Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera masih terganjal aturan main penentuan bakal calon wakil presiden.Konsensi politik ikut menentukan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan koalisi Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera masih terganjal aturan main penentuan bakal calon wakil presiden. Nasdem mendorong agar ada kesepakatan bahwa bakal calon wakil presiden tidak boleh berasal dari kader ketiga partai agar semua berada dalam posisi setara, tetapi itu belum disepakati parpol lain. Diperlukan pembicaraan serius untuk menentukan konsesi politik agar untuk menghindari kegagalan koalisi.
Pembentukan koalisi Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak kunjung tuntas meski ketiganya saling mengklaim semakin intens menjalin komunikasi dalam beberapa bulan ke belakang. Terakhir, para elite dari partai politik (parpol) tersebut pun bertemu sambil berbincang di satu meja pada pesta pernikahan anak Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri di Jakarta, Minggu (16/10/2022) malam.
Sejumlah elite yang dimaksud di antaranya adalah Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum Demokrat Agus Harirmurti Yudhoyono, dan Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Selain mereka, hadir pula Ketua Majelis Tinggi Demokrat yang juga Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Ketua Umum Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, serta Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla. Tak hanya itu, hadir pula bakal calon presiden (capres) yang didukung Nasdem, yakni Anies Baswedan.
Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali mengatakan, para elite ketiga partai bertemu karena sama-sama diundang untuk menghadiri acara pernikahan. Oleh karena itu, pertemuan berlangsung santai dan tak menghasilkan keputusan politik apa pun, termasuk soal rencana koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS untuk menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. ”Murah sekali jika koalisi dibentuk di pesta perkawinan,” katanya dihubungi dari Jakarta, Senin (17/10).
Ahmad mengakui, pembicaraan di antara ketiga parpol selama ini belum mencapai titik temu terkait pilihan bakal calon wakil presiden (cawapres). Setelah mendeklarasikan dukungan terhadap Anies, Nasdem mendorong agar platform koalisi salah satunya mengatur soal pemilihan bakal cawapres yang berasal dari luar kader ketiga parpol. Hal itu penting untuk mewujudkan prinsip koalisi yang setara. ”Setara itu maksudnya tidak saling mengunci, tidak berpandangan bahwa pokoknya kalau bukan saya, kalau bukan kader saya (menjadi cawapres), tidak jadi,” ujarnya.
”Murah sekali jika koalisi dibentuk di pesta perkawinan. ”
Meski menyangkal telah terjadi situasi saling mengunci, Ahmad menekankan, membuat aturan untuk memilih bakal cawapres dari luar kader tiga parpol itu merupakan pilihan yang rasional. Jika Nasdem, Demokrat, dan PKS, sama-sama bersikukuh untuk mengusulkan kadernya menjadi bakal cawapres, koalisi diyakini tidak akan terbentuk. Padahal, ketiganya saling membutuhkan untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni memiliki setidaknya 20 persen kursi di DPR dan 25 persen perolehan suara nasional.
Selain itu, aturan main dalam pemilihan bakal cawapres juga dibutuhkan guna menghindari politik transaksional. Potensi itu terbuka karena sebagai ketua umum partai pendukung, Surya Paloh telah memberikan kewenangan kepada Anies itu untuk memilih sendiri calon pasangannya. Tanpa aturan main, bisa saja terjadi transaksi antara parpol tertentu dan bakal capres.
”Mungkin saja Nasdem tidak bertransaksi, tetapi justru capresnya. Supaya tidak terjadi hal seperti itu, maka kami kunci dengan membuat kesepakatan. Kesepakatan itu yang akan mengikat semuanya,” kata Ahmad.
Belum ada kesepakatan strategis
Ketua DPP PKS Ahmad Mabruri mengakui, belum ada kesepakatan strategis yang dihasilkan saat para elite PKS, Nasdem, dan Demokrat bertemu pada Minggu malam. Meski demikian, ia mengklaim, selalu ada kemajuan yang dihasilkan dari setiap pertemuan. ”Minimal silaturahmi semakin lengket,” katanya.
Terkait dengan pembicaraan tentang bakal cawapres, Mabruri membenarkan, ada wacana agar figur tersebut dipilih dari luar kader ketiga parpol. Meski PKS semula juga ingin mengusulkan kadernya untuk menjadi bakal cawapres, tetapi niat tersebut bisa diurungkan. PKS tidak mempermasalahkan jika kesempatan untuk mengusung kadernya hilang, asalkan ada kesepakatan antarparpol untuk membentuk koalisi.
”Buat kepentingan negara yang lebih baik, PKS siap,” kata Mabruri.
”Kami hormati itu, tetapi dari Demokrat, kan, tentu saja mengajukan AHY (sebagai cawapres). Kemudian dari PKS, kami belum dengar, tetapi harus duduk bersama, kan, untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Andi.
”Kami hormati itu, tetapi dari Demokrat, kan, tentu saja mengajukan AHY (sebagai cawapres). Kemudian dari PKS, kami belum dengar, tetapi harus duduk bersama, kan, untuk menyelesaikan masalah ini. ”
Menurut dia, perlu ada agenda formal yang mempertemukan elite ketiga parpol untuk membahas persoalan bakal cawapres. Apalagi, Anies pun mendapatkan kewenangan dari Surya Paloh untuk memilih calon pasangannya. Artinya, keputusan Anies anak menjadi faktor lain yang sangat menentukan.
”Bagi kami, bolanya sekarang ada di Anies. Kami siap setiap saat kalau diminta untuk bertemu dengan teman-teman,” kata Andi.
”Keputusan Anies memilih bakal cawapres akan sangat berpengaruh pada nasib koalisi. Akan tetapi, hal itu akan menciptakan situasi yang tidak adil bagi ketiga parpol, karena mereka seolah pasif dan tidak dilibatkan dalam diskusi yang berimbang. ”
Bola di tangan Anies
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati sepakat, dengan kewenangan khusus yang telah diberikan Surya Paloh kepada Anies, keputusan Anies memilih bakal cawapres akan sangat berpengaruh pada nasib koalisi. Akan tetapi, hal itu akan menciptakan situasi yang tidak adil bagi ketiga parpol, karena mereka seolah pasif dan tidak dilibatkan dalam diskusi yang berimbang.
Menurut Wasisto, Nasdem, Demokrat, dan PKS sebaiknya tidak terburu-buru menentukan nama bakal cawapres, hingga menemukan kesalingpahaman satu sama lain. Sebab, ketergesa-gesaan akan berpotensi pada kegagalan berkoalisi. Jika rencana koalisi ketiga parpol ini gagal, mereka terancam kesulitan mendapatkan rekan koalisi lain, karena
Jika melihat peta koalisi yang mulai terbentuk saat ini, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang belum menentukan porosnya. Sangat kecil kemungkinan PDI-P pun bersedia bekerja sama untuk mengusung Anies sebagai capres.
Oleh karena itu, kata Wasisto, perlu ada pertemuan intensif antarketiga parpol untuk membicarakan bakal cawapres ideal bagi Anies. Dibutuhkan pula formula tersendiri untuk menghasilkan konsesi politik bagi para anggota koalisi kelak. ”Idealnya memang cawapres itu dari luar koalisi, terlebih Anies sudah dinominasikan oleh Nasdem. Risiko capres dan cawapres sama-sama dari internal koalisi berpotensi menimbulkan konflik kepentingan terutama soal posisi,” ujarnya.