Peta Politik Jelang Pilpres 2024 Masih Dinamis
Sosok-sosok yang ingin masuk ke gelanggang Pilpres 2024 dinilai sudah mulai terlihat di hadapan publik saat ini. Namun, dinamika menjelang pilpres masih dinamis. Terlebih, masih banyak warga belum menentukan pilihannya.

Warga memberikan hak suaranya dalam kegiatan simulasi pemungutan suara pilkada serentak 2020 di kawasan Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, Sabtu (12/9/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Peta politik tiga tahun menjelang Pemilihan Presiden 2024 dinilai masih akan dinamis. Nama-nama tokoh yang muncul dari hasil survei calon presiden, elektabilitasnya memang sudah ada yang menyentuh dua digit, tetapi belum ada nama bakal calon presiden yang amat kuat.
Survei Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan capres pilihan masyarakat relatif sama dengan survei April 2021. Mereka di antaranya Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (13,9 persen), Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (13,9 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (9,6 persen). Pada survei Kompas di bulan April 2021, elektabilitas Prabowo mencapai 16,4 persen, Anies (10 persen), dan Ganjar (7,3 persen).
Survei dilakukan secara tatap muka dengan pertanyaan terbuka. Di survei Oktober, nama lain yang muncul di antaranya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Nama sejumlah petinggi parpol juga muncul, seperti Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani. Sementara responden yang belum menentukan pilihan masih 37,2 persen.
Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha saat dimintai pandangan soal hasil survei itu menyampaikan, semua kandidat yang ingin masuk ke gelanggang kontestasi pemilihan presiden (pilpres) sebenarnya sudah mulai terlihat di hadapan publik saat ini. Media sosial sudah mulai aktif menampilkan kinerja bagi mereka yang punya panggung.
Baca juga: Adu Strategi Menuju 2024 Bakal Kian Kencang
”Dan, itu salah satu cara agar kerjanya diakui oleh masyarakat dan nantinya bisa berujung pada kesukaan dan akhirnya mau memilih,” kata Hanta lewat pesan tertulis, Selasa (19/10/2021).

Baca juga: Belum Ada Capres Dominan, Prabowo-Anies-Ganjar Masih Bersaing Ketat
Beberapa hasil survei pada saat ini memang mendapati banyak responden yang belum menentukan pilihan. Hal ini dinilai tidak lepas dari beberapa faktor, seperti masih jauhnya momentum pemilihan. Angka yang belum menentukan pilihan tersebut diperkirakan akan cenderung berkurang seiring berjalannya waktu mendekati momentum pilpres tersebut.
Hal lain penyebab banyaknya warga yang belum menentukan pilihan adalah terkait masih tabunya siapa yang benar-benar menjadi calon dan peta partai koalisi yang belum pasti. ”Dan, bisa jadi, karena belum ada calon yang benar-benak ’klik’ di hati pemilih tersebut,” ujar Hanta.
Baca juga: Capres PDI-P Bukan Asal Deklarasi, Tunggu Momentum
Beberapa kandidat dari kalangan gubernur yang masuk radar survei pada hari ini memang akan habis masa jabatannya. Ada di antara mereka yang habis masa jabatan pada 2022 dan ada pula di tahun 2023. Namun, kata dia, hal yang penting dalam menuju gelanggang pilpres bukan semata panggung politik. Hal yang juga penting menuju gelanggang pilpres adalah momentum politik.
”Pekerjaan rumah dari mereka yang habis masa jabatan hingga pendaftaran pilpres yakni menemukan momentum politik mereka,” kata Hanta.

Spanduk berisi tulisan ”Awas Politisasi Virus Corona” kini marak ditemui di sejumlah jembatan penyeberangan di sepanjang Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, seperti terlihat pada Rabu (1/4/2020).
Baca juga: Dari Panggung Selebritas ke Panggung Politik
Menurut dia, apabila melihat tahapan pemilu, gubernur yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 akan lebih berat karena ada jeda setahun menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Situasi mereka yang habis masa jabatan di tahun 2023 dimungkinkan tidak sekeras yang dialami kandidat yang habis masa jabatannya pada 2022.
Hal ini karena proses pendaftaran pemilu sudah dimulai pada pertengahan 2023. Selain itu, lanjut Hanta, ketika tahapan pendaftaran sudah mulai, semua akan menjadi pusat perhatian hingga tibanya hari pemilihan.

Baliho bergambar para politisi yang berniat maju dalam suksesi kepemimpinan di Tanah Air mulai banyak dipasang di sudut-sudut Ibu Kota, Rabu (11/8/2021). Selain media sosial, media luar ruang masih menjadi favorit politisi untuk mempromosikan dirinya pada masyarakat untuk kepentingan politik pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menuturkan, tantangan bagi tokoh yang ingin maju di ajang pilpres ialah untuk mencari strategi yang pas untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Hal pertama yang penting dikejar dan dijaga adalah popularitas dan elektabilitas tinggi. Hal kedua adalah menyangkut dukungan parpol.
Baca juga: Parpol Koalisi Dorong Kebersamaan Atasi Pandemi
”Apa pun, kan, untuk maju nanti (calon) pasti butuh partai politik. Dan, ukuran parpolnya adalah parpol hasil Pemilu 2019. Dengan demikian, sudah jelas partai mana yang bisa mencalonkan. Tiga partai papan atas, PDI-P, Gerindra, dan Golkar, adalah tiga partai yang nanti akan menentukan sebenarnya seperti apa komposisi pasangan capres-cawapres,” kata Ari.
Tiga partai papan atas, PDI-P, Gerindra, dan Golkar, adalah partai yang nanti akan menentukan sebenarnya seperti apa komposisi pasangan capres-cawapres.
Sekarang partai papan tengah dan bawah mulai memanggil capres dan cawapres sebagai bagian dari penjajakan; baik oleh partai maupun capres dan cawapres potensial untuk mencari perahu politik. ”Tetapi, penentunya tetap tiga partai tersebut. Bagaimana gerak politik PDI-P, Gerindra, dan Golkar? Partai lain akan mengikuti,” ujar Ari.

Menurut Ari, hal ketiga yang juga perlu diperhatikan bakal calon ialah logistik. Ada beberapa bakal capres dan cawapres yang melakukan gerakan untuk mendekati partai politik dengan pendekatan finansial politik, semisal membiayai survei dan lainnya.
”Banyaklah cara pendekatan dari para capres untuk mendekati partai-partai dan menggunakan instrumen survei. Logistik menjadi hal yang menentukan karena untuk memenuhi pembiayaan politik butuh finansial yang besar,” ujarnya.
Baca juga: Pandemi Mengubah Komunikasi Politik
Ari mengatakan, hal yang juga tidak kalah penting adalah penjagaan komunikasi dengan semua pihak, termasuk media dan publik. Apalagi, ada beberapa nama yang masuk radar bakal capres dari gubernur yang akan habis masa jabatan pada 2022 dan 2023 sehingga dari sisi panggung politik akan tertinggal.
Menurut Ari, dimungkinkan sekarang mereka sudah mencoba mempersiapkan sekoci, misalnya untuk panggung politik setelah 2022 dan 2023. Ada banyak sekoci panggung politik yang dapat diupayakan pasca-jabatan gubernur berakhir, semisal peluang masuk menjadi menteri atau masuk ke dalam organisasi.
Mereka yang aktif di media sosial juga dapat memanfaatkannya. ”Penting untuk mengelola komunikasi dengan publik dan media sehingga, paling tidak, mereka tak sampai putus di media dan media sosial. Tentu tim sukses yang secara informal sudah dibentuk, pasti diam-diam sudah mempersiapkan strategi pasca-2022 dan 2023. Dengan demikian, sebelum pencapresan definitif, mereka tetap mengelola panggung politik,” ujar Ari.
Isu utang, kemiskinan, dan pengangguran
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, isu terkait ekonomi diperkirakan akan banyak diangkat para kandidat ataupun partai politik di tahun politik 2022. Isu dimaksud terutama menyangkut utang serta penciptaan lapangan kerja demi menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan di tengah pandemi Covid-19.
”Meskipun penanganan pandemi sudah membaik dan diprediksikan prospek di 2021 lebih baik, artinya ekonomi lebih tinggi dan diharapkan terus begitu ke depannya, kemungkinan ada tiga titik kritis. Pertama, ekonomi membaik, tetapi meninggalkan warisan utang,” kata Faisal.

Walaupun hal ini terjadi juga di banyak negara, Faisal menuturkan, beberapa lembaga internasional menyoroti Indonesia termasuk ke dalam negara-negara yang rentan karena tingginya tingkat utang, terutama utang luar negeri. Utang ini pun bukan semata utang pemerintah, melainkan juga utang swasta. ”Hal ini yang kemungkinan digoreng menjelang pilpres,” katanya.
Baca juga: Pertumbuhan Utang Luar Negeri Indonesia Melambat
Selain utang pemerintah dan swasta, dampak pandemi lainnya adalah kemiskinan dan pengangguran. Pemberian bantuan sosial bukan solusi berkelanjutan untuk mengatasi. ”PR yang lebih susah adalah menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran setelah pandemi. Masalah pengangguran dan kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem, nanti mungkin juga akan diangkat menjelang pilpres,” katanya.
Sebagai gambaran, survei terbaru Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan kepercayaan publik di sektor ekonomi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin memang terus naik, yakni dari 52,8 persen pada Agustus 2020 menjadi 57,9 persen di Januari 2021. Kepercayaan publik di sektor ini turun tipis menjadi 57,8 persen pada April 2021, tetapi kemudian naik menjadi 58,4 persen pada Oktober 2021.

Sementara itu, kepuasan publik pada kinerja kesejahteraan rakyat pada Agustus 2020 sebesar 61,6 persen dan naik menjadi 67,2 persen di Januari 2021. Kepuasan publik di sektor ini naik lagi ke angka 71,3 persen di April 2021, tetapi kemudian turun menjadi 67,9 persen di Oktober 2021.
Di bidang penegakan hukum, kepuasan publik bergerak dari 62,5 persen di Agustus 2020, naik menjadi 63,4 persen di Januari 2021, naik lagi ke angka 65,6 persen di April 2021, sebelum kemudian turun menjadi 60,6 persen di Oktober 2021.
Baca juga: Saat ”Perang” Lawan Covid-19 Terus Dikawinkan dengan Berbagai Kebijakan Ekonomi...
Adapun kepuasan publik di bidang politik dan keamanan pada Agustus 2020 sebesar 70,8 persen dan turun menjadi 67,2 persen pada Januari 2021. Kepuasan publik naik menjadi 77 persen di April 2021 sebelum kemudian turun ke angka 70,8 persen pada Oktober 2021.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2Fd18b691b-3d17-412f-9b88-aaff6ac053b3_jpg.jpg)
Pengunjung bersantai di sisi depan Pos Bloc yang menempati Gedung Filateli di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (10/10/2021).
Kepuasan publik di sektor ekonomi memang terus meningkat. Tetapi, persentase kepuasan publik di sektor ekonomi ini tetap lebih rendah dibandingkan dengan aspek politik, keamanan, hukum, dan lainnya.
Faisal menuturkan, kepuasan publik di sektor ekonomi memang terus meningkat. ”Tetapi, perlu dicatat bahwa persentase (kepuasan publik) untuk yang ekonomi ini tetap lebih rendah dibandingkan dengan aspek politik, keamanan, hukum, dan lainnya,” katanya ketika membandingkan hasil survei tersebut.
Kecenderungan peningkatan kepuasan publik di sektor ekonomi, menurut Faisal, sejalan dengan penanganan pandemi Covid-19 atau surutnya kasus Covid-19 di Indonesia. Posisi ekonomi sedikit demi sedikit kian membaik sejalan dengan pelonggaran pembatasan aktivitas.