Penanganan kasus korupsi pada pengadaan helikopter AW-101 memasuki babak baru. Dalam persidangan diungkap, dana korupsi itu, di antaranya, digunakan sebagai Dana Komando yang ditujukan kepada eks KSAU.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 tahun 2016-2017 merugikan keuangan negara sebesar Rp 738,9 miliar. Dana korupsi itu mengalir ke sejumlah pihak, di antaranya ke eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna sebesar Rp 17,7 miliar yang disebut sebagai dana komando.
Korupsi ini juga memperkaya dua korporasi, yakni Agusta Westland sebesar 29,5 juta dollar AS atau setara Rp 391,6 miliar, dan Lejardo Pte Ltd sebesar 10,9 juta dollar AS atau setara Rp 146,3 miliar.
Aliran dana korupsi tersebut, disebutkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Arif Suhermanto, saat membacakan dakwaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 terhadap Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, Rabu (12/10/2022), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Irfan selaku terdakwa juga disebut memperoleh bagian dana korupsi sebesar Rp 183,2 miliar.
”(Perbuatan terdakwa) merugikan keuangan negara sebesar Rp 738,9 miliar,” ujar Arif.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djuyamto dengan didampingi Rianto Adam Pontoh dan Ida Ayu Mustikawati selaku hakim anggota, jaksa KPK menguraikan bahwa dalam kurun waktu 2015 hingga Februari 2017, terdakwa dan Agus bersama sejumlah pihak mengatur spesifikasi teknis pengadaan helikopter angkut AW-101, termasuk proses pengadaannya.
Pada mulanya, menurut jaksa, Irfan menawarkan produk Agusta Westland di depan pejabat TNI AU. Atas penawaran tersebut, pihak TNI AU pun menanyakan kepada Irfan apakah Agusta Westland dapat mengirimkan helikopter VIP/VVIP AW-101 untuk diterbangkan pada 9 April 2016 saat acara HUT TNI AU. Irfan pun berusaha memenuhinya.
Sebelumnya, TNI AU mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun. Dana itu di antaranya untuk pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden sebesar Rp 742,5 miliar.
Dengan adanya kesanggupan tersebut, TNI AU mengirimkan surat kepada Menteri Pertahanan yang isinya menyatakan bahwa pada 2016 akan direncanakan pengadaan 4 helikopter VVIP. Mengetahui TNI AU membutuhkan helikopter tersebut, pada Oktober 2015 Irfan memesan satu unit helikopter VVIP AW-101 ke Agusta Westland, dengan membayar uang tanda jadi sebesar Rp 13,3 miliar.
Namun kemudian, dalam rapat terbatas pada 3 Desember 2015, Presiden memberikan arahan agar helikopter Agusta Westland tidak dibeli dulu karena kondisi ekonomi tidak normal. Anggaran terkait pengadaaan helikopter VVIP RI-1 itu pun diblokir dengan diberi tanda bintang.
Karena Irfan telah memesan helikopter tersebut, Agus selaku KSAU pun memerintahkan Asisten Perencanaan Anggaran KSAU mengirim surat ke Kementerian Pertahanan yang isinya perubahan kegiatan pengadaan yang semula pengadaan helikopter VVIP RI-1 menjadi pengadaan helikopter angkut berat. Hingga akhirnya TNI AU pada Mei 2016 melakukan pengadaan helikopter tersebut. Untuk kepentingan tersebut, TNI AU mengajukan surat ke Kemenhan agar pemblokiran anggaran pengadaan helikopter dicabut.
Kepala Dinas Pengadaan TNI AU kemudian membuat harga perkiraan sendiri yang langsung menyebutkan bahwa helikopter merek AW-101, sebagaimana arahan Agus selaku KSAU saat itu, dengan estimasi harga total Rp739,1 miliar. Lelang pengadaan helikopter kemudian diselenggarakan dengan spesifikasi sesuai dengan helikopter yang telah dipesan Irfan.
Kepala Dinas Pengadaan TNI AU kemudian membuat harga perkiraan sendiri yang langsung menyebutkan bahwa helikopter merek AW-101, sebagaimana arahan Agus selaku KSAU saat itu, dengan estimasi harga total Rp739,1 miliar.
Untuk itu, Irfan menyediakan dua perusahaan sebagai peserta lelang, yakni PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karsa Cipta Gemilang. Irfan juga membuat perusahaan bernama Lejardo Pte Ltd di Singapura yang berfungsi seolah-olah mempunyai kontrak dengan Agusta Westland. Hingga akhirnya TNI AU menetapkan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang lelang pengadaan helikopter angkut senilai Rp 738,9 miliar pada Juli 2016.
Pengadaan pun dilanjutkan dengan pembayaran tahap pertama, yang 4 persen di antaranya sebesar Rp 17,7 miliar digunakan sebagai Dana Komando yang ditujukan untuk Agus.
Panglima TNI kala itu telah mengingatkan agar TNI AU membatalkan kontrak pengadaan helikopter tersebut. Akan tetapi, Agus menolaknya.
Sesudah helikopter angkut AW-101 diterima, setidaknya ada 12 kekurangan pada unit tersebut. Irfan kemudian melepaskan label helikopter guna menyembunyikan bukti bahwa unit itu merupakan bekas pesanan AU India.
Helikopter tersebut diproduksi tahun 2012 dan memiliki waktu terbang selama 152 jam, dengan jam operasi selama 167,4 jam hingga Desember 2016. Artinya, helikopter yang didatangkan dalam proyek pengadaan itu bukanlah barang baru.
PT Diratama Jaya Mandiri milik Irfan memodifikasi interior kabin helikopter tersebut tanpa mengubah struktur rangka sehingga helikopter yang diberikan ke TNI AU tak dapat digunakan untuk operasi angkut.
Berdasarkan tindakannya, Irfan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU itu telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Irfan juga diancam pidana Pasal 3 juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Di akhir persidangan, Hakim Djuyamto menanyakan apakah Irfan memahami dakwaan jaksa. Irfan mengaku mengerti semua dakwaan, diikuti penasihat hukumnya yang tak mengajukan eksepsi.