Pemerintah Didesak untuk Kembalikan Rasa Aman Berpendapat
Temuan Amnesty International Indonesia, kasus serangan terhadap kebebasan sipil semakin marak. Pemerintah diminta untuk mengembalikan iklim demokrasi yang sehat.
JAKARTA, KOMPAS — Amnesty International Indonesia mencatat, sedikitnya ada 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban sejak 2019 hingga 2021. Serangan-serangan ini tak bisa terus dibiarkan karena bisa membuat masyarakat takut berpendapat. Pemerintah pun didesak guna mengembalikan rasa aman masyarakat untuk berpendapat dan berekspresi.
Kasus-kasus tersebut, antara lain, intimidasi dan serangan fisik sebanyak 259 korban, penangkapan 239 korban, percobaan dan ancaman pembunuhan 17 korban, kriminalisasi 166 korban, serangan digital 148 korban, serangan fisik terhadap lembaga 5 korban.
Korbannya beragam, mulai dari petani, nelayan, buruh, jurnalis, aktivis lingkungan dan HAM, mahasiswa, hingga akademisi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan karena bisa membuat masyarakat semakin takut berpendapat. Meskipun, pada teorinya, Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan komitmen negara untuk melindungi kebebasan sipil.
Baca juga: Skor Indeks Demokrasi Indonesia Membaik, tetapi Tantangan Masih Besar
”Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, ruang masyarakat untuk berpendapat akan semakin menyempit, bahkan bisa jadi menakutkan,” kata Usman saat jumpa pers bertajuk ”Meredam Suara, Membungkam Kritik”, di Jakarta, Jumat (7/10/2022).
Salah satu faktor yang dinilai membatasi kebebasan sipil adalah penyalahgunaan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Amnesty mencatat, sedikitnya ada 316 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 322 korban.
UU ITE ini dinilai sering digunakan pihak yang memiliki kekuasaan, termasuk pemerintah, untuk mengadili masyarakat, mulai dari jurnalis, akademisi, hingga konsumen yang memberikan ulasan buruk.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu korban penyalahgunaan UU ITE, Stella Monica, bercerita soal kasus yang menimpanya yang hampir membuat dirinya terpikir untuk bunuh diri. Saat itu, ia mengkritik klinik kecantikan di Surabaya, Jawa Timur, pada 2019, melalui media sosialnya. Stella kemudian dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik.
”Ketika kritik konsumen yang saya rasakan secara riil malah dipidanakan, ancamannya tidak main-main, empat tahun penjara. Itu nyaris membuat saya hampir mengakhiri hidup saya,” kata Stella.
Kasus Stella mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai pihak karena ia dinilai hanya menyampaikan kritik sebagai hak konsumen. Atas dukungan publik dan pertimbangan hukum, hakim Pengadilan Negeri Kota Surabaya memvonis bebas Stella dan meminta jaksa penuntut umum untuk memulihkan nama baik Stella.
Baca juga: Terdakwa Kasus UU ITE Stella Monica Divonis Bebas, Jaksa Tak Perlu Banding
Kebebasan akademik
Selain itu, kebebasan akademik juga dinilai kian terkekang. Sepanjang 2019-2022 ada 20 kasus yang melibatkan 64 orang dan 5 lembaga yang menjadi korban serangan terhadap kebebasan akademik. Serangan-serangan itu berupa penganiayaan, penahanan, sanksi internal universitas, kriminalisasi, intimidasi, hingga serangan digital.
Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Saiful Mahdi, menjadi salah satu korbannya. Pada 2018, dia mengkritik hasil tes CPNS untuk dosen fakultas teknik yang tak sesuai persyaratan, tetapi tetap diloloskan pihak kampus. Kritik itu disampaikannya di sebuah grup Whatsapp akademisi Unsyiah.
Kritik itu membuat Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Taufiq Mahdi melaporkan Saiful ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Saiful pun ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik, dengan menggunakan UU ITE pada 2018. Dia kemudian divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta oleh hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 2020.
Setelah sampai ke telinga Presiden, Saiful mendapatkan amnesti yang kemudian disetujui DPR agar vonis tersebut dibatalkan pada 2021.
”Dulu ketika seluruh dunia membongkar pelanggaran HAM berat di Aceh saya sempat berpikir untuk alih kewarganegaraan. Kini, kali kedua saya berpikir lagi untuk alih kewarganegaraan saat pembungkaman yang saya alami sebagai akademisi,” kata Saiful.
Baca juga: Presiden Setuju Berikan Amnesti kepada Saiful Mahdi, Dosen Korban UU ITE
Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun, juga melihat tekanan dan ancaman terhadap kebebasan akademik di Indonesia semakin menguat.
KIKA mencatat, ada 29 kasus terkait pelanggaran kebebasan akademik. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan 2020 sebanyak sembilan kasus dan pada 2019 hanya ada enam kasus.
”Situasi ini tidak nyaman di lingkungan kampus, sebenarnya kita bisa berdebat dan berdiskusi, kalau berbeda data kita bisa saling memberi. Apalagi pergeseran bahwa semua riset harus di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), mungkin kalau saya boleh bilang BRIN dan BIN (Badan Intelijen Negara) itu cuma beda huruf R di dalamnya,” ucap Dhia.
Dengan kondisi kebebasan sipil tersebut, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, semangat demokrasi di Indonesia semakin tergerus. Ia pun mendorong masyarakat sipil untuk tetap independen dan semakin melek politik agar bisa berdaulat memilih pemimpin dan wakil rakyat di DPR.
Menurut Nasir, masih banyak masyarakat, terutama kelompok kelas bawah, yang belum mengerti kondisi kebebasan sipil saat ini. Akibatnya, setiap pemilu masyarakat tidak memberikan efek jera bagi para politisi yang masih membatasi suara rakyat.
”Ini tantangan demokrasi masyarakat kita, kita perlu masyarakat sipil yang independen dan kritis untuk bisa memperingatkan penyelenggara atau kekuasaan. Saya pikir kalau ini berjalan, maka negara kuat masyarakat lemah tidak akan terjadi. Ini tidak boleh terjadi berlarut-larut karena akan mengancam, sementara kita sudah memilih jalan demokrasi,” ujar Nasir.
Dari laporan tersebut, Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah mengembalikan rasa aman masyarakat untuk berpendapat dan berekspresi. Selain itu, para terduga pelaku pelanggar HAM harus dibawa ke proses peradilan yang adil. Pemerintah juga diminta untuk memulihkan hak-hak korban.