Presiden Setuju Berikan Amnesti kepada Saiful Mahdi, Dosen Korban UU ITE
Presiden Joko Widodo menyetujui pemberian amnesti untuk Saiful Mahdi, dosen di Aceh yang menjadi korban UU ITE. Kini, pemerintah tinggal menunggu persetujuan dari DPR.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya membebaskan Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala Aceh yang menjadi korban Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tinggal selangkah lagi. Setelah Presiden Joko Widodo menyetujui permohonan amnesti, kini pengampunan hukuman bagi Saiful tinggal menunggu persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Persetujuan Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Saiful disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Selasa (5/10/2021). ”Alhamdulillah kami bekerja cepat. Setelah dialog dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya tanggal 21 September, saya langsung rapat dengan pimpinan Kemenkumham dan Kejaksaan Agung, dan saya katakan pemerintah akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Lalu tanggal 24 saya lapor ke Presiden, dan bapak Presiden setuju,” ujarnya melalui keterangan resmi.
Saiful dilaporkan mencemarkan nama baik setelah mengirim pesan di sebuah grup percakapan Whatsapp. Ia kemudian divonis 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider kurungan 1 bulan penjara. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Aceh pada tanggal 16 Juni 2020. Tak hanya itu, permohonan kasasi yang diajukan Saiful juga tidak dikabulkan hakim agung.
Sekarang, kami tinggal menunggu dari DPR apa tanggapannya. Yang pasti, dari sisi pemerintah prosesnya sudah selesai.
Karena itulah pada 2 September 2021, Saiful memenuhi panggilan eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Ia kemudian ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar.
Mahfud menjelaskan, pemerintah juga telah selesai memproses permintaan amnesti Saiful. Presiden juga sudah berkirim surat permohonan persetujuan kepada DPR. Sesuai Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, Presiden harus mendengarkan dan meminta persetujuan dari DPR untuk memberikan amnesti dan abolisi.
”Sekarang, kami tinggal menunggu dari DPR apa tanggapannya. Yang pasti, dari sisi pemerintah prosesnya sudah selesai,” imbuhnya.
Pemerintah, lanjut Mahfud, berusaha bekerja cepat menangani permohonan amnesti Saiful untuk menunjukkan komitmen pada penegakan hukum dengan keadilan restoratif. Pemerintah juga berkomitmen tidak terlalu menghukum orang.
Apalagi, pemerintah menilai dalam kasus Saiful, kritik dilayangkan bukan untuk menyerang harkat dan martabat seseorang. Kritik disampaikan kepada fakultas sebagai bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan akademis sehingga Saiful sangat layak menerima amnesti dan harus diperjuangkan.
Menanggapi keputusan presiden, Muhammad Isnur dari koalisi masyarakat sipil yang mengadvokasi perkara tersebut menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas respons cepat pemerintah. Menurut dia, pemberian amnesti kepada Saiful merupakan bentuk pengakuan bahwa ada sesuatu yang salah dari penerapan UU ITE. Pasal-pasal karet UU ITE multitafsir dan dapat digunakan untuk kriminalisasi atau membungkam kebebasan sipil. Dirinya juga berharap DPR akan menyetujui pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi.
”Pada saat memohon amnesti kepada presiden, kami sudah mengumpulkan lebih dari 50 masyarakat sipil, baik lembaga nasional maupun internasional. Semoga ini menjadi pengalaman berharga dan aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam menerapkan pasal karet UU ITE,” terang Isnur.
Evaluasi SKB
Sementara itu, secara terpisah, Ketua Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE) M Arsyad menyebutkan bahwa hingga akhir Oktober 2021, sudah 23 kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang ditangani di seluruh Indonesia. Kasus-kasus itu ada yang sedang dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, kasasi, dan amnesti.
Pemidanaan sejumlah kasus itu dianggap berlawanan dengan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri. Misalnya, menyangkut pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dalam SKB disebutkan, harus korban penghinaan atau pencemaran nama baik yang mengadukan kepada aparat penegak hukum. Pelapor juga harus perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Namun, dalam kasus Stella Monica di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, pelapor adalah klinik kecantikan. Selain itu, implementasi Pasal 28 UU ITE juga tidak sesuai dengan SKB, terutama soal penafsiran penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antargolongan (SARA).
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto mengatakan, jika permohonan amnesti dikabulkan, ini merupakan kali kedua amnesti diberikan kepada korban UU ITE. Pertama, amnesti diberikan kepada perempuan guru korban kekerasan seksual berbasis online Baiq Nuril. Nuril dipidana setelah diputus bersalah oleh pengadilan saat meminta bantuan atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah. Kini, Saiful Mahdi juga dipidana karena menyuarakan kritik dalam penerimaan PNS di lingkungan Fakultas Teknik Unsyiah Kuala. Menurut dia, proses penerimaan pegawai kampus itu sarat kecurangan. Kritik disampaikan di dalam grup percakapan kampus (WAG) terbatas kampus.
”Jika ini dikabulkan, Saiful Mahdi termasuk orang yang beruntung karena mendapatkan amnesti dari presiden. Namun, bagaimana kemudian nasib korban UU ITE lain yang tidak punya akses? Ke depan, penegakan hukum UU ITE seharusnya tidak semuanya diselesaikan melalui pengadilan,” kata Damar.
Damar juga mengkritik bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengerem laju pemidanaan pasal karet UU ITE tidak cukup ampuh. Penerbitan SKB Pedoman Implementasi UU ITE tidak efektif. Kini, SKB itu usianya sudah berumur 100 hari, masih banyak kasus pasal karet UU ITE tetap diproses hingga pengadilan. Contohnya adalah perkara pencemaran nama baik di WAG yang dilakukan Ramsiah Tasruddin, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alaudin, Gowa, Sulawesi Selatan. Ramsiah dilaporkan oleh Wakil Dekan III ke polisi karena mengkritik penghentian dan penutupan secara paksa aktivitas siaran radio Syiar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin. Saat Safenet mendampingi Ramsiah dalam perkara itu, polisi menolak memedomani SKB UU ITE. Alasannya, polisi tidak mengetahui ada aturan itu, dan akan berkonsultasi terlebih dahulu kepada ahli.
”SKB tidak memiliki gigi untuk mengerem laju pemidanaan kasus UU ITE. Setelah 100 hari, SKB yang diharapkan mengisi kekosongan sebelum revisi UU ITE ini harus dievaluasi bersama,” imbuh Damar.
Selain itu, menurut Damar, masih banyak kasus pasal karet UU ITE yang tetap diproses oleh kepolisian pasca-SKB UU ITE. Bahkan, ada kasus yang tetap dibawa sampai ke pengadilan. Dengan kondisi itu, Safenet berharap ada evaluasi menyeluruh dalam implementasi SKB UU ITE. Apa kekurangan dari SKB tersebut sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan evaluasi, pemerintah dan DPR dapat mengevaluasi pasal-pasal mana yang seharusnya dihapus atau dapat direvisi terbatas di UU ITE. Menurut Safenet, UU ITE harus direvisi secara total sehingga dapat memperbaiki penegakan hukum agar tidak berdampak pada ketidakadilan di masyarakat.
”Evaluasi dapat dilakukan untuk membuat terobosan bagaimana agar SKB ini dapat mengikat pihak-pihak yang selama ini menjadi ujung tombak penerapan hukum digital di Indonesia. Selain itu juga bagaimana caranya agar revisi UU ITE benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat,” kata Damar. (DEA)