UU MK Kembali Direvisi, Akan Ada Mekanisme Evaluasi Hakim
UU MK kembali direvisi meski revisi terakhir baru dilakukan dua tahun lalu. Salah satu poin revisi, akan ada mekanisme evaluasi bagi hakim MK.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat UU Mahkamah Konstitusi untuk menjadi usul inisiatif DPR. Dua poin krusial yang akan diubah atau ditambahkan dalam RUU tersebut meliputi perubahan terkait batas usia hakim konstitusi dan penambahan materi terkait evaluasi hakim konstitusi oleh masing-masing lembaga pengusul.
Semua fraksi partai politik di Badan Legislasi DPR menyetujui RUU MK untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat dan ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Hal tersebut diputuskan dalam rapat panitia kerja harmonisasi RUU MK, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Pengusul RUU MK, Abdul Wahid, menjelaskan, setidaknya ada dua poin perubahan dalam UU MK. Pertama, mengenai batas bawah usia calon hakim konstitusi, yang semula berusia 55 tahun saat ini menjadi berusia paling rendah 50 tahun.
Kedua, menambahkan materi mengenai evaluasi hakim konstitusi, yakni bahwa Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden dapat melakukan evaluasi terhadap hakim konstitusi. Hakim konstitusi yang sedang menjabat dievaluasi setiap lima tahun sejak tanggal pengangkatannya oleh masing-masing lembaga pengusul.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Mohammad Idham Samawi, berpandangan, evaluasi hakim konstitusi dapat dilakukan setiap lima tahun sekali atau sewaktu-waktu oleh lembaga pengusul. Hal ini bisa didasarkan pada perkembangan dinamika di masyarakat.
”Hal ini berarti terjadi checks and balances supaya tidak terjadi kesewenangan hakim MK. Mekanisme diatur melalui peraturan masing-masing lembaga tersebut,” ujar Idham.
Idham berharap RUU MK ini dapat menjadi pembaruan hukum. Di sisi lain, ia meminta agar RUU MK ini diselaraskan dengan putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 dan putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf, menyampaikan, evaluasi terhadap hakim konstitusi diperlukan untuk menjaga independensi hakim. Menurut dia, ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi hakim konstitusi bisa diatur oleh masing-masing lembaga pengusul. ”Saya hanya mengingatkan, jangan sampai evaluasi ini jadi ganjalan bagi hakim untuk merdeka dalam memutus setiap perkara,” katanya.
Terkait batasan usia, menurut Bukhori, penting perlu ditegaskan bahwa seorang hakim konstitusi harus merupakan seorang negarawan. Ia pun berpandangan sikap kenegarawanan seorang hakim tidak bisa semata-mata ditentukan usia, tetapi dilengkapi norma dan kualitas diri.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Dessy Ratnasari, pun menegaskan bahwa PAN mendukung penambahan materi terkait evaluasi hakim konstitusi oleh lembaga pengusul setiap lima tahun. Evaluasi juga dapat dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan laporan pengaduan masyarakat kepada lembaga pengusul.
”Evaluasi ini sebagai checks and balances di cabang kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan pasca-putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tidak ada lembaga eksternal, seperti Komisi Yudisial, yang dapat mengawasi MK. Oleh karena itu, agar tetap menjaga marwah MK, perlu diatur mengenai evaluasi hakim konstitusi oleh lembaga pengusul,” kata Dessy.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso, menuturkan, evaluasi hakim diperlukan agar masa jabatan hakim konstitusi dapat diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Dengan begitu, diharapkan memperkecil potensi penyalahgunaan kekuasaan jabatan tersebut.
”Namun, perlu diperhatikan bahwa proses evaluasi terhadap hakim konstitusi harus bersifat obyektif dan juga jangan sampai mengganggu kinerja MK dalam menangani dan memutus perkara,” ujar Santoso.
Fraksi Partai Demokrat mengingatkan agar partisipasi masyarakat sebagai aspek formil sangat dibutuhkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentuk undang-undang jangan sampai melanggar empat asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, serta keterbukaan.
”Harapannya agar UU yang dihasilkan dapat bersifat jangka panjang dan berkualits, juga tidak mudah diubah untuk kepentingan jangka pendek,” kata Santoso.
Adapun anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, kembali mengingatkan agar pembahasan RUU MK ini tidak tergesa-gesa. Dengan begitu, psikologis publik dapat lebih terjaga.