Saat DPR ”Manjakan” Hakim MK
DPR dan pemerintah akan mengambil keputusan tingkat pertama RUU MK, Senin ini. Praktis, pembahasan materi RUU MK hanya tujuh hari dan akan menjadi RUU yang tercepat disahkan DPR. Bahkan, lebih cepat dari revisi UU KPK.

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020). Saat ini, pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. RUU tersebut merupakan revisi terhadap UU MK. Salah satu hal yang banyak mendapat sorotan dalam RUU MK ialah soal perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun atau maksimal pensiun pada usia 70 tahun.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah Senin (31/8/2020) ini akan mengambil putusan pembicaraan tingkat pertama terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Praktis, pembahasan materi revisi UU MK hanya tujuh hari. Revisi UU MK ini akan menjadi RUU yang paling cepat disahkan oleh DPR. Bahkan, lebih cepat daripada revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pembahasan RUU MK yang kilat memancing pertanyaan publik. Apalagi, substansi revisi ketiga terhadap UU MK Nomor 24/2003 ini menitikberatkan pada usia minimal hakim, masa jabatan hakim, dan pengaturan masa jabatan pimpinan MK. Dalam rapat terakhir Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU MK di Komisi III DPR, Jumat (29/8/2020), isu-isu tersebut telah disepakati antara DPR dan pemerintah.
Pembahasan RUU MK yang kilat memancing pertanyaan publik. Apalagi, substansi revisi ketiga terhadap UU MK Nomor 24/2003 ini menitikberatkan pada usia minimal hakim, masa jabatan hakim, dan pengaturan masa jabatan pimpinan MK.
Pembentuk UU menyepakati usia minimal hakim MK 55 tahun, dari yang sebelumnya diusulkan 60 tahun oleh DPR. Di dalam aturan peralihan RUU MK juga disepakati hakim MK pensiun sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Ketentuan ini disepakati retroaktif, yakni berlaku pada hakim yang sekarang menjabat.
Pemerintah dan DPR juga sepakat menambah anggota Mahkamah Kehormatan MK dari unsur akademisi. Sebelumnya, DPR mengusulkan anggota Mahkamah Kehormatan MK hanya dari unsur hakim konstitusi dan Komisi Yudisial (KY). Selain itu, rapat panja menyepakati masa jabatan pimpinan MK selama lima tahun, dari yang sebelumnya 2 tahun 6 bulan.
Baca juga: Masa Jabatan Dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat Hingga Usia 70 Tahun

Suasana rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Secara prosedural, tren pembahasan RUU kilat ini mengkhawatirkan, terlebih karena pembahasan oleh Panitia Kerja RUU MK dilakukan tertutup untuk umum. Berbeda misalnya dengan pembahasan oleh Panja RUU Cipta Kerja, yang sekalipun mendapatkan penolakan luas dari berbagai elemen publik tetap dilakukan secara terbuka. Hari per hari, Panja Baleg RUU Cipta Kerja mengadakan rapat terbuka membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) dari fraksi-fraksi. Dibandingkan dengan RUU MK yang hanya 121 DIM, DIM fraksi dalam RUU Cipta Kerja jauh lebih banyak, yakni 7.197 DIM. Namun, Panja RUU Cipta Kerja tetap menggelar rapat terbuka untuk umum.
Sebagai perbandingan lagi, RUU KPK, tahun 2019, dibahas kilat dalam 12 hari, dan pengesahannya di dalam paripurna digugat ke MK karena dinilai belum memenuhi kuorum. Namun, RUU MK lebih kilat lagi. Senin, pekan lalu, DPR dan pemerintah pertama kali rapat dengan membacakan sikap dan keterangan masing-masing. Selasa, rapat dilanjutkan dengan penyerahan DIM dari pemerintah, dan panja dibentuk. Rabu, panja pertama kali rapat dan dilakukan secara tertutup. Rapat pada Kamis dan Jumat kembali tertutup.
Dari jadwal pembahasan RUU MK, paripurna pengesahan RUU MK itu dijadwalkan, Selasa (1/9). Praktis, RUU MK tuntas dalam tujuh hari.
Selanjutnya, Senin (31/8) ini, DPR dan pemerintah mengagendakan rapat pengambilan keputusan pembahasan tingkat pertama. Artinya, pembahasan substansi tuntas, dan dapat diusulkan untuk disahkan di dalam paripurna. Dari jadwal pembahasan RUU MK, paripurna pengesahan RUU MK itu dijadwalkan, Selasa (1/9). Praktis, RUU MK tuntas dalam tujuh hari.
Baca juga: Aturan Peralihan Bisa Hindarkan RUU MK dari Konflik Kepentingan
Tidak ada urgensi
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Bivitri Susanti, menuturkan, pembentuk UU mestinya meyakinkan publik, dugaan barter politik dan keinginan memanjakan hakim MK di balik pembahasan RUU MK tidak terbukti. Sayangnya, pembahasan RUU MK justru tertutup, sehingga dugaan tersebut kian menguat di tengah publik.

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti
”Tidak ada urgensi mempercepat pembahasan RUU MK, karena yang diutamakan adalah pengaturan mengenai usia hakim, yang ini berpotensi membuat ada hakim yang terlempar. Kalau mau mengubah UU MK, sebaiknya ikuti saja hasil studi KPK, yakni menguatkan antikorupsi kelembagaan MK, dan etika hakim. Pengaturan itu lebih penting daripada usia hakim,” ujarnya.
Kalangan masyarakat sipil menyinyalir perpanjangan jabatan hakim ini ditujukan untuk memanjakan hakim. Upaya ini tidak terlepas dari adanya UU problematik dibawa ke MK, seperti UU KPK, UU Stabilitas Keuangan Negara di dalam kondisi pandemi Covid-19 (Perppu No 1/2020), dan potensi pengujian RUU Cipta Kerja. Pertanyaan adanya barter dalam pembahasan RUU MK ini pun menyeruak.
Sulit untuk mengelak dari berbagai kecurigaan publik dalam pembahasan RUU MK, terutama karena revisi dilakukan terburu-buru, dan substansinya berkutat soal usia dan masa jabatan hakim, yang dinilai memanjakan hakim saat ini.
Direktur Pusat Studi dan Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, sulit untuk mengelak dari berbagai kecurigaan publik dalam pembahasan RUU MK, terutama karena revisi dilakukan terburu-buru, dan substansinya berkutat soal usia dan masa jabatan hakim, yang dinilai memanjakan hakim saat ini.
”Kecuali, aturan mengenai hal itu tidak berlaku untuk hakim saat ini, melainkan diterapkan untuk hakim berikutnya. Hal itu menghindarkan hakim dari konflik kepentingan,” ujarnya.

Majelis Hakim Kosntitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menggelar sidang Pembacaan Putusan Perkara Nomor 75/PUU-XVII/20 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Dari sembilan hakim konstitusi, sebagian besar memenuhi syarat minimal 55 tahun, dan pensiun usia 70 tahun. Mengikuti logika pembentuk UU, jika maksimal menjabat 15 tahun, ada hakim pensiun sebelum usia 70 tahun, yakni Aswanto, karena lebih dulu sampai masa jabatannya 15 tahun. Tetapi, ada pula yang mungkin tidak bisa menuntaskan periode keduanya karena terputus pada usia 70 tahun, yakni Manahan Sitompul. Hakim lainnya, Saldi Isra, jika usia hakim minimal 55 tahun diberlakukan, ia tidak memenuhi syarat, kecuali aturan peralihan menyatakan lain.
Namun, Ketua Komisi III DPR Herman Hery saat dihubungi, Minggu (30/8), membantah pembahasan RUU MK tertutup. Ia menyebutkan pembahasan selalu dilakukan di dalam ruang rapat Komisi III dan terbuka untuk umum.
”Urusan barter-barteran tidak ada. Apa kepentingan Komisi III buat barter-barteran. Kami bekerja profesional. Setiap pembahasan kami lakukan di dalam ruang rapat Komisi III dan terbuka untuk umum. Kami bekerja cepat karena hanya pasal-pasal substantif yang dibahas,” ujarnya.
Urusan barter-barteran tidak ada. Apa kepentingan Komisi III buat barter-barteran. Kami bekerja profesional (Herman Herry)
Pada kenyataannya, selama rapat panja Rabu-Jumat, semua diselenggarakan tertutup. Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) P Khairul Saleh mengatakan, rapat Panja RUU MK memang harus tertutup karena masih pembahasan pasal-pasal.
”Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau salah persepsi apabila pasal-pasal yang belum disetujui sudah di-publish ke masyarakat,” ujarnya.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengucapkan sumpah hakim konstitusi di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Selasa (7/1/2019). Daniel merupakan hakim konstitusi dari usulan Presiden, pengganti I Dewa Gede Palguna yang habis masa jabatannya. Sementara itu, Suhartoyo merupakan petahana yang kembali diusulkan Mahkamah Agung untuk periode kedua.
Pelemahan lembaga?
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, fenomena pembahasan kilat ini seolah menjadi tren di DPR setelah mereka berhasil meloloskan UU KPK yang baru. Hal yang ditakutkan ialah jika perilaku ini dijadikan kebiasaan untuk memuluskan agenda politik DPR dan pemerintah.
”Saya khawatir pembahasan cepat itu dilakukan untuk meminimalisir suara-suara kritis dari publik yang bisa mengganggu agenda politik mereka untuk mengacak-acak lembaga independen seperti MK dan KPK. Ini cara pemerintah dan DPR untuk memandulkan lembaga-lembaga yang selama ini bekerja atas prinsip independensi,” kata Lucius.
Selama ini, baik KPK maupun MK dinilai cukup mampu merefleksikan semangat Reformasi untuk pemberantasan korupsi dan penegakan konstitusi. Namun, dengan regulasi baru yang memberikan jaminan jabatan sangat lama, hal itu berpotensi membuat independensi hakim melunak, lantaran mereka merasa berutang budi, dan rentan untuk mudah dikontrol sehingga kepentingan DPR dan pemerintah bisa terjaga.
Baca juga: MK Diminta Batalkan Seluruh UU KPK

Peneliti Formappi Lucius Karus
”Misalnya, dalam uji materi UU Cipta Kerja nanti, pembahasannya itu, kan, lama dan butuh kerja keras. Kalau dengan satu putusan MK, pasal-pasal itu bisa dimentahkan, sia-sia, kan,kerja mereka. Karena itu, untuk memastikan lembaga MK tidak sekuat sebelumnya, dan kontrol elite politik kuat, RUU MK direvisi sangat cepat,” ujar Lucius.
Jika kekhawatiran Lucius dan masyarakat sipil lainnya benar adanya, intervensi terhadap lembaga melalui regulasi bagian dari upaya melemahkan demokrasi. Lembaga-lembaga negara itu tetap ada, tetapi seolah tanpa jiwa, karena kewenangannya diamputasi, struktur birokrasinya diperumit, bahkan orang-orangnya mudah dikontrol. Lembaga negara seperti KPK dan MK boleh jadi tetap ada, dan seolah menjadi simbol supremasi hukum dan demokrasi, tetapi semua berpotensi jatuh menjadi dekorasi demokrasi semata.
Secara substantif, perpanjangan masa jabatan hingga 15 tahun pun dinilai terlalu panjang. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, masa jabatan ideal untuk hakim MK adalah 10 tahun.

Jimly Asshidiqie menjawab pertanyaan wartawan seusai rapat dengan sesama anggota Tim Independen di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Selasa (27/1/15). Pembentukan tim yang beranggotakan sembilan orang itu masih menunggu Keppres dari Presiden Joko Widodo. Tim tersebut dibentuk untuk memberi masukan kepada presiden guna meredam kisruh KPK-Polri.
”Masa jabatan 15 tahun terlalu panjang, dan membuat hakim dimanjakan, atau terjebak pada zona nyaman. Untuk menjaga konstitusi itu diperlukan hakim yang kreatif, segar, sehingga konstitusi tetap relevan dengan kondisi masyarakat. Kalau 15 tahun, hakim terjebak pada zona nyaman. Patokan ideal kalau melihat pada praktik di AS, hakim menjabat 10 tahun,” katanya.
Selain itu, sebaiknya usia pensiun dan perpanjangan masa jabatan itu diberlakukan bukan pada hakim yang menjabat sekarang, melainkan pada hakim selanjutnya. Tujuannya menghindari konflik kepentingan.
Namun, bagaimanakah akhirnya substansi RUU MK itu disepakati? Sejarah yang akan mencatatnya.