MK Diminta Jatuhkan Putusan Sela Uji Materi UU Kejaksaan
Akibat aturan baru soal usia pensiun dalam UU Kejaksaan, banyak jaksa kelahiran 1961-1962 yang diberhentikan. Aturan baru itu juga dinilai tak didasarkan analisis kebutuhan. Saat ini masih ada kekurangan 6.000 jaksa.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Pegawai Kejaksaan Agung bersiap mengikuti upacara bendera dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa Ke-55 di Lapangan Upacara Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (22/7/2015).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta menjatuhkan putusan sela dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI yang mempercepat usia pensiun jaksa dari 62 tahun menjadi 60 tahun. Akibat pengaturan tersebut, banyak jaksa dengan kelahiran tahun 1961 dan 1962 yang diberhentikan, sementara norma tersebut masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Kuasa hukum pemohon uji materi, Viktor Santoso Tandiasa, mengirimkan surat kepada Ketua MK agar segera menjatuhkan putusan provisi/sela dalam pengujian UU Kejaksaan. Seperti diungkapkannya pada Rabu (21/9/2022), putusan sela MK dapat menyelamatkan jaksa dari pemberhentian dengan hormat secara paksa sampai ada putusan akhir.
Adapun perkara yang diregister dengan nomor 70/PUU-XX/2022 itu diajukan oleh Irnensif, Zulhadi Savitri Noor, Wilmar Ambarita, Renny Aryanni, Indrayati Siagian, dan Fahriani Suyuti. Mereka adalah jaksa dan mantan jaksa. Irnensif, Zulhadi, dan Wilmar, misalnya, merupakan jaksa yang sudah diberhentikan setelah berlakunya UU No 11/2021, sementara Renny dan Indrayati akan segera menerima konsekuensi pemberhentian yang sama.
Mereka menguji Pasal 12 Huruf c UU No 11/2021 terkait ketentuan batas usia pensiun jaksa yang menjadi 60 tahun. Pemohon menilai perubahan batas usia pensiun tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan yang obyektif serta berdasarkan kebutuhan instansi kejaksaan. Meskipun pengaturan mengenai usia merupakan kebijakan hukum yang terbuka pembentuk undang-undang, hal itu dapat menghambat kinerja kejaksaan dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak didasarkan pada analisis kebutuhan. Menurut Viktor, kebutuhan jaksa saat ini mencapai 16.000 orang. Sementara jumlah jaksa yang ada hanya berkisar 10.000 orang. Artinya masih ada kekurangan jaksa sekitar 6.000 orang.
Jaksa penuntut umum kasus pelanggaran HAM berat Paniai berdiskusi sebelum sidang dimulai, Rabu (21/9/2022).
Saat ini, penanganan perkara 70/2022 telah memakan waktu cukup lama. Sidang perdana digelar pada 19 Juli 2022 dan sidang kedua dilaksanakan pada 2 Agustus lalu. Sidang ketiga sedianya dilaksanakan pada 19 Agustus, tetapi kemudian ditunda menjadi Kamis (22/9/2022) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
Viktor mengatakan, pihaknya memperkirakan putusan terhadap perkara tersebut memakan waktu lama hingga tiga bulan ke depan, yakni Desember 2022, atau bahkan bisa sampai memasuki tahun 2023.
Padahal, sejumlah pemohon, yaitu Renny dan Indrayati, akan diberhentikan dengan hormat pada November dan Desember mendatang. ”Artinya, pemohon IV (Renny) dan pemohon V (Indrayati) harus merasakan terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum yang adil dan pelanggaran atas jaminan pemberlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana telah dialami oleh pemohon I (Irnensif), pemohon II (Zulhadi), dan pemohon III (Wilmar),” ungkap Viktor.
Berdasarkan data yang ada, total jaksa yang merupakan kelahiran tahun 1961 dan 1962 atau yang memasuki usia 60 tahun sebanyak 360 orang. Viktor mengaku mendapat banyak pertanyaan dari jaksa-jaksa tersebut mengenai kapan perkara uji materi itu akan diputuskan. Terkait dengan hal tersebut, para pemohon sangat berharap MK dapat memberikan putusan sela dalam perkara ini.
KOMPAS/RINI KUSTIASIH
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengatakan, mungkin tidaknya MK menjatuhkan putusan sela sangat bergantung pada urgensi dan pertimbangan majelis hakim. Ia tidak mengetahui apakah hakim akan menjatuhkan putusan sela atau tidak dalam perkara uji materi UU Kejaksaan. Hanya saja, berdasarkan catatan MK, praktik penjatuhan putusan sela di dalam perkara pengujian undang-undang pernah diajukan oleh Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah tahun 2009.