Lima Jaksa Minta MK Perpanjang Usia Pensiun Jadi 65 Tahun
Lima jaksa meminta MK untuk mengubah ketentuan usia pensiun bagi jaksa, dari 60 tahun menjadi 65 tahun. Mereka menguji ketentuan usia pensiun di dalam UU Kejaksaan terbaru, UU No 11/2021
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lima jaksa menguji konstitusionalitas usia pensiun yang diatur di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Pengaturan di Pasal 12 Huruf c UU tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum sebab berbeda dengan pengaturan usia pensiun bagi hakim peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan Tata Usaha Negara. Padahal, baik jaksa maupun hakim sama-sama merupakan jabatan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman.
Saat ini, UU Kejaksaan mengatur usia pensiun bagi jaksa adalah 60 tahun. Sementara usia pensiun bagi hakim tingkat pertama (termasuk ketua dan wakil ketua pengadilan tingkat pertama) adalah 65 tahun. Sementara itu, hakim tingkat banding (termasuk ketua dan wakil ketua pengadilan tingkat banding) adalah 67 tahun. Usia pensiun tertinggi diatur untuk hakim agung, yakni 70 tahun.
Permohonan uji materi Pasal 12 Huruf c UU 11/2021 tersebut didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (4/2/2022). Permohonan diajukan oleh lima jaksa yang kini berusia 59 tahun, yaitu Fentje Eyert Loway, TR Silalahi, Renny Ariyanny, Fachriani Suyuti, dan Martini. Mereka diwakili oleh kuasa hukumnya Abdul Roman.
Saat ini, UU Kejaksaan mengatur usia pensiun bagi jaksa adalah 60 tahun. Sementara usia pensiun bagi hakim tingkat pertama (termasuk ketua dan wakil ketua pengadilan tingkat pertama) adalah 65 tahun. Sementara itu, hakim tingkat banding (termasuk ketua dan wakil ketua pengadilan tingkat banding) adalah 67 tahun. Usia pensiun tertinggi diatur untuk hakim agung, yakni 70 tahun.
Pasal 12 Huruf c UU tersebut berbunyi: ”Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan karena telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun.”
Abdul Roman mengungkapkan, para pemohon uji materi saat ini bertugas sebagai jaksa fungsional. Mengacu pada UU ASN, jabatan fungsional merupakan sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.
Dalam sistem peradilan pidana, Kejaksaan juga disebutkan di Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 sebagai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Keberadaan badan-badan lain itu kemudian diatur lebih lanjut di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 38 Ayat (2), yang menyebutkan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi, penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, serta penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Selain itu, Pasal 54 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Namun, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, pengaturan usia pensiun bagi jaksa menjadi tidak adil jika diberlakukan Pasal 12 Huruf c UU 11/2021 di mana jaksa harus pensiun di usia 60 tahun. Padahal, usia pensiun hakim 65 tahun (tingkat pertama) dan 67 tahun (hakim tingkat banding, ketua, dan wakil ketua pengadilan tinggi).
”Jika dari ruang lingkup kekuasaan kehakiman dan sifat fungsi pekerjaan, maka tidak ada perbedan antara Kejaksaan dan badan-badan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan TUN, semua adalah suatu jabatan fungsional, di mana seharusnya pengaturan usia pensiun juga seharusnya sama,” kata Abdul Roman.
Hal tersebut merugikan hak konstitusional para pemohon yang dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yakni adanya persamaan dan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan adanya kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Selain itu, mengacu pada pernyataan Jaksa Agung RI dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR pada 27 Januari 2022 lalu, jumlah jaksa di seluruh Indonesia saat ini 11.140 orang. Padahal, kebutuhan jaksa masih sangat tinggi seperti diungkapkan oleh Kepala Biro Kepegawaian Kejaksaan RI Katarina Endang Sarwestri dalam salah satu media, hingga mencapai 16.000 jaksa.
Dengan demikian, masih terdapat kekurangan ribuan jaksa sementara pemerintah telah memutuskan untuk melakukan moratorium perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 2022. ”Dengan demikian, jumlah SDM jaksa yang terbatas itu bisa dipastikan pelayanan-pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat tidak akan maksimal,” ujar Rohman.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 12 Huruf C UU No 11/2021 tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dimaknai bahwa jaksa diberhentikan karena telah mencapai usia 65 tahun.