Papua Kembali Diusulkan untuk Dimekarkan
Kali ini muncul usulan membentuk Provinsi Papua Utara. Wilayahnya mencakup Kabupaten Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Waropen, dan Supiori. Jika disetujui, nantinya akan ada tujuh provinsi di Pulau Papua.
JAKARTA, KOMPAS — Papua kembali diusulkan untuk dimekarkan. Kali ini, Provinsi Papua Barat yang diusulkan dimekarkan lagi menjadi Provinsi Papua Utara. Terhadap usulan pemekaran tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengaku belum mengetahuinya.
Untuk diketahui, pada 12 September 2022, DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Provinsi Papua Barat Daya. Pembentukan Papua Barat Daya ini merupakan pemekaran dari Papua Barat. Pada akhir Agustus lalu, tiga DOB Papua juga telah dibentuk, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Artinya, dengan ditambah dua provinsi existing, yakni Provinsi Papua dan Papua Barat, total saat ini sudah terbentuk enam provinsi di Papua.
Salah satu pengusul RUU Provinsi Papua Utara dari Fraksi Partai Nasdem, Roberth Rouw, dalam rapat harmonisasi RUU Papua Utara di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (21/9/2022), berharap agar DPR menuntaskan pembentukan DOB Papua sesuai wilayah adat, yakni tujuh provinsi. Artinya, tinggal satu DOB lagi yang perlu segera diproses, yakni Provinsi Papua Utara.
”Saya mohon dengan sangat agar (harmonisasi) Papua Utara ini bisa segera kita selesaikan agar bisa kita bawa ke dalam proses lebih lanjut ke paripurna. Dengan begitu, semua wilayah adat di Papua sudah paripurna sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus. Kita juga tidak meninggalkan pekerjaan rumah lagi. Saya harap, kita bisa segera menyelesaikan satu DOB ini,” ujar Roberth yang juga Wakil Ketua Komisi V DPR. Selain Roberth, pengusul lainnya adalah anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Yan Permenas Mandenas. Baik Roberth maupun Yan berasal dari daerah pemilihan Papua.
Baca juga: Papua dalam Pusaran Pemekaran
Yan Permenas menambahkan, setelah mencermati hasil harmonisasi dari tim Baleg DPR, terdapat beberapa penyesuaian di dalam draf RUU Papua Utara. Misalnya, di draf awal, Kabupaten Nabire masuk ke Papua Utara. Namun, kemudian di draf yang baru, Kabupaten Nabire tidak lagi masuk ke Papua Utara. Dengan demikian, cakupan wilayah Papua Utara hanya ada empat, yakni Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Waropen, dan Kabupaten Supiori.
Berkaitan dengan batas wilayah, itu juga telah disepakati. Papua Utara mempunyai sejumlah batas wilayah. Pertama, sebelah utara berbatasan dengan Samudra Pasifik. Kedua, sebelah timur berbatasan dengan Samudra Pasifik dan Kabupaten Mamberamo Raya di Provinsi Papua. Ketiga, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Dogiyai di Provinsi Papua Tengah. Keempat, sebelah barat berbatasan dengan Teluk Cenderawasih dan Kabupaten Manokwari di Provinsi Papua Barat.
Untuk ibu kota Papua Utara berkedudukan di Kabupaten Biak Numfor. Kemudian, ketentuan substansi penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan pengaturan di dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua.
”Kami sebagai pengusul juga menyampaikan, sekiranya proses harmonisasi dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Untuk selanjutnya, dapat diagendakan rapat pengambilan keputusan sebagai RUU usul inisiatif (DPR),” ucap Yan Permenas.
Kesalahan tik
Dalam rapat harmonisasi tersebut, tim ahli dari Baleg DPR kemudian memaparkan hasil harmonisasi RUU Papua Utara. Tim menyebut, draf RUU diterima dari pengusul pada akhir Maret 2022. Semula, draf RUU itu terdapat 27 pasal. Kemudian, tim ahli dari Baleg DPR bersepakat bahwa penyusunan dan format RUU Papua Utara disesuaikan dengan tiga UU DOB Papua sebelumnya yang baru disahkan. Jadi, dari 27 pasal itu, otomatis sekarang hanya tinggal 23 pasal.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi melihat masih ada beberapa salah tik di draf RUU Papua Utara. Untuk itu, ia berharap beberapa salah tik itu dapat segera diperbaiki.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hermanto, pun mengingatkan agar pembahasan RUU Papua Utara ini juga harus memperhatikan situasi keamanan Papua saat ini. Sebab, sekarang situasi di Papua sedang sensitif.
”Jadi, harus ada pengawalan yang cukup serius dari pemerintah pusat supaya implementasinya tidak terjadi gejolak yang belakangan sering kita dengar dari Papua ini. Jadi, memang pemerintah harus memberikan sebuah garansi bahwa implementasi UU ini betul-betul aman dan menjaga komitmen NKRI,” kata Hermanto.
Baca juga: Percepatan Pemekaran Papua Dinilai Mengabaikan Aspirasi Publik
Penempatan ibu kota
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, mengkritisi soal penempatan ibu kota Papua Utara di Biak Numfor. Sebab, Biak berada di kepulauan. Menurut Ledia, penempatan lokasi ibu kota ini perlu belajar dari kasus seperti di Provinsi Kepulauan Riau.
Sebagaimana diketahui, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau adalah Kota Tanjung Pinang. Adapun kota industrinya adalah Batam. Hal semacam ini, ujar Ledia, justru akan membebani daerah karena proses perpindahannya akan memakan biaya besar.
Selain itu, Ledia mempertanyakan ketiadaan klausul keterwakilan 30 persen perempuan berkaitan dengan anggota DPR Papua Utara. Padahal, klausul keterwakilan 30 persen perempuan ini telah disebutkan di empat UU DOB Papua terdahulu. ”Apakah ini juga polanya, template-nya, sama dengan (empat UU DOB Papua) yang kemarin (disahkan)? Sebab, jika tidak sama, nanti akan menimbulkan persoalan. Ini usul saja agar keterwakilan perempuan di Papua juga jadi teperhatikan,” kata Ledia.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Sturman Panjaitan, sependapat dengan Ledia terkait dengan penempatan ibu kota. Ia berharap penentuan ibu kota provinsi Papua Utara ini dimatangkan terlebih dahulu sehingga tidak memunculkan persoalan baru di kemudian hari. ”Karena bukan hanya jarak saja, dari daratan Papua ke Biak itu agak sedikit jauh, bisa jadi kecemburuan sosial bisa terjadi di sana,” ujarnya.
Sturman juga menyampaikan bahwa belakangan ini banyak sekali provinsi dan kabupaten yang juga ikut mengajukan pemekaran akibat pemerintah dan DPR memekarkan Papua. Untuk itu, ia mengingatkan agar proses pembahasan RUU Papua Utara ini dapat dilakukan secara cermat, jeli, teliti, dan hati-hati. Jangan sampai pembentukan Papua Utara justru mendapatkan tantangan, hambatan, bahkan rintangan ke depan.
Tidak langsung diterapkan
Menanggapi masukan dari para anggota Baleg, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya pun meminta kepada tim ahli dari Baleg agar dapat memperbaiki salah tik dalam draf RUU Papua Utara. Selain itu, ia juga meminta agar draf tersebut disinkronkan dengan undang-undang lain.
”Jadi, spiritnya, kan, pendistribusian kesejahteraan dan kesempatan, tanpa mendistorsi bingkai NKRI juga. Tentu prinsip-prinsip itu yang harus kita rapikan sebelum kita ambil keputusan terkait hal ini,” kata Willy.
Willy pun menegaskan, dengan dibahasnya RUU Papua Utara, ini bukan berarti RUU tersebut akan langsung diterapkan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebab, tahun anggaran juga sudah dibahas dan bahkan akan diketok pada 30 September mendatang. Ini, menurut dia, ingin lebih menunjukkan keseriusan dan kemauan politik (political will) DPR untuk menjalankan amanat UU Otsus Papua secara menyeluruh.
”Yang penting, seperti yang disampaikan pengusul, political will-nya tidak diskriminatif begitu. Jadi, amanat UU Otsus Papua benar-benar bisa kita realisasi dan itu menjadi political will dari DPR secara menyeluruh,” tutur Willy.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yanuar Prihatin mengatakan, pembahasan RUU Papua Utara kemungkinan berlangsung cepat, seperti pembahasan RUU empat daerah otonom baru yang disahkan sebelumnya. Sebab, dari sudut dasar hukum dan nomenklaturnya tidak ada permasalahan. Perbedaan dari RUU DOB sebelumnya hanya terletak di antaranya pada nama, cakupan wilayah, dan batas wilayah. ”Yang lainnya hampir sama karena menginduknya ke UU Otonomi Khusus,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Yanuar, karakteristik Papua secara umum hampir sama, seperti latar belakang, sosial, dan kulturalnya sehingga pembentukan provinsi lebih mencerminkan proses administrasi, proses efektivitas pemerintahan, dan proses optimalisasi pembangunan. Oleh sebab itu, pembentukan RUU cenderung hanya soal administrasi saja, sedangkan masalah politik, sosial, dan kultural tetap terikat pada otsus Papua.
Ia pun tidak bisa memastikan jumlah DOB Papua hingga akhir tahun ini. Sebab pemekaran terikat dengan waktu dan aspirasi pemekaran dari provinsi lain yang juga ada usulan untuk memekarkan wilayahnya. ”Soal ikut pemilu atau tidak, nanti kita lihat karena harus berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu,” kata Yanuar.
Secara terpisah, Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri Valentinus Sudarjanto Sumito mengatakan, pemerintah hingga saat ini belum mendapatkan informasi mengenai rencana pembentukan DOB Papua Utara. ”Setahu saya belum pernah dibicarakan,” ucapnya.
Pemekaran bergerak liar
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Nurcahyadi Suparman menyayangkan pemekaran di Papua yang dilakukan terus-menerus dalam beberapa bulan terakhir tanpa didasarkan pada desain penataan daerah. Pemekaran tersebut cenderung bergerak secara liar karena tidak didasarkan pada basis yang kuat dalam menentukan kebutuhan jumlah provinsi dan kabupaten yang ideal di Papua. Akhirnya, yang terjadi usulan-usulan dari elite langsung ditanggapi oleh pembentuk UU.
Baca juga: Pembangunan Papua Tak Hanya Bisa Andalkan Pemekaran
”Keberhasilan pengesahan tiga DOB di awal memicu antusiasme kelompok masyarakat lain untuk mengajukan hal serupa. Meskipun di revisi UU Otsus memberikan ruang pemekaran, seharusnya tetap didasarkan pada persyaratan yang jelas sehingga dinamika usulan pemekaran bisa terkendali,” katanya.
Menurut Herman, pemekaran di Papua seharusnya didasarkan pada persiapan yang matang. Sebab, permasalahan di Papua sangat kompleks, mulai dari kemiskinan, pelayanan publik, hingga ketersediaan dan kualitas infrastruktur. Oleh sebab itu, seharusnya syarat pemekaran tidak dilonggarkan, justru harus diperketat. Jika syarat-syarat itu kalah dibandingkan dengan kepentingan politik sesaat, potensi kegagalan pemekaran menanti di depan mata.
”Kalau syarat-syarat dilonggarkan, akan kontraproduktif dengan tujuan pemekaran untuk efektivitas dan pemerataan pembangunan. Seharusnya hulunya yang diperkuat karena itu menjadi kunci memastikan keberhasilan pemekaran,” tuturnya.
Ia mengingatkan, pembahasan RUU Papua Utara seharusnya tidak seperti pembahasan empat DOB sebelumnya. Sebab, harus ada keterlibatan publik yang tinggi dalam proses pembahasan dari pihak-pihak yang terlibat. ”Kalau prosesnya sama dengan empat DOB Papua lainnya, saya khawatir hanya akan menimbun masalah di masa depan, apalagi kalau pengawasannya longgar,” ucap Herman.