Pembangunan Papua Tak Hanya Bisa Andalkan Pemekaran
Pemekaran wilayah harus tetap mengutamakan kepentingan warga Papua. Tiga Daerah Otonomi Baru di Papua harus menjadi pintu peningkatan kesejahteraan bagi warga Papua.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Perdebatan setuju dan tidak soal pemekaran wilayah Papua menjadi tidak relevan lagi seiring dengan disahkannya UU terkait Daerah Otonom Baru (DOB). Meskipun begitu, pekerjaan belum selesai setelah palu diketok. Setelah terbentuk, pembangunan wilayah-wilayah baru ini harus terus dikawal agar bisa membawa kebermanfaatan bagi warga Papua.
Pada Kamis pekan lalu (30/6/2022) DPR telah mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pemekaran wilayah di Provinsi Papua. Bersama dengan itu, lahirlah tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah.
Keputusan ini sebetulnya tidak hadir secara tiba-tiba. Isu ini telah dibahas selama beberapa tahun lalu. Jejak dari pembahasan soal pemekaran ini dapat terlihat dari Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041 yang dikeluarkan oleh Kementerian PPN/Bappenas.
Dari dokumen ini dapat terlihat bahwa pemekaran provinsi baru cukup sejalan dengan wilayah adat yang ada di Papua, seperti wilayah adat Laa Pago yang kini menjadi wilayah Papua Pegunungan, wilayah adat Mee Pago yang menjadi wilayah Papua Tengah, dan wilayah adat Anim Ha yang sekarang menjadi Provinsi Papua Selatan.
Tak dapat dimungkiri, keputusan ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Sebagian dari masyarakat Papua sepakat dengan potensi percepatan pembangunan yang hadir pasca keputusan pemekaran. Meskipun begitu, tidak sedikit juga dari mereka yang merasa tak sepakat dengan keputusan tersebut.
Kekhawatiran ini tentu bisa dipahami. Pasalnya, di balik dampak positif, tersimpan berbagai persoalan yang mungkin muncul akibat dari keputusan ini. Salah satunya, desentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi juga turut mendesentralisasi potensi korupsi.
Ancaman korupsi yang timbul akibat pemekaran wilayah ini telah beberapa kali dikaji. Beberapa penelitian seperti yang digarap oleh Wu pada 2005, Schermerhorn pada 2010, dan Dellaportas pada 2013 menghasilkan temuan yang serupa, yakni desentralisasi wilayah memicu korupsi, terutama oleh kepala daerahnya.
Pasalnya, desentralisasi fiskal yang memberikan kebebasan pada kepala daerah untuk mengatur kegiatan belanja di daerahnya. Hal ini menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh elite politik yang menjabat untuk meraup untung.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbincang dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat rapat paripurna yang membahas Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (RUU DOB) Papua di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Dalam rapat paripurna tersebut, DPR mengesahkan RUU DOB Papua, dan mengesahkan hakim agung terpilih.
Terlebih lagi, dengan kekuasaan yang telah dipegang, mekanisme kontrol dalam institusi menjadi tidak efektif. Dengan mudahnya, kepala daerah dapat memengaruhi dan memaksa pegawainya untuk turut terlibat dalam praktik korupsi.
Nyatanya, pengalaman sebelumnya di Indonesia telah menunjukkan bahwa penambahan DOB lewat pemekaran dalam kurun dua dekade terakhir masih kurang berdampak maksimal.
Salah satu yang menyebabkan hal ini ialah korupsi yang tumbuh subur di wilayah-wilayah hasil pemekaran. Hasil penelusuran tim Litbang Kompas menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari wilayah DOB di tingkat kabupaten/kota kepala daerahnya terjerat korupsi.
Pengalaman sebelumnya di Indonesia telah menunjukkan bahwa penambahan DOB lewat pemekaran dalam kurun dua dekade terakhir masih kurang berdampak maksimal.
Selaras dengan hasil-hasil studi sebelumnya, umumnya kasus-kasus korupsi yang terjadi terkait dengan penyalahgunaan anggaran daerah (APBD).
Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, pemekaran wilayah secara otomatis akan juga berujung pada penerapan desentralisasi fiskal, di mana kepala daerah memiliki kebebasan untuk mengatur kegiatan belanja dan membuat regulasi terhadap anggarannya. Berdasar laporan dari ICW pada 2017, wewenang inilah yang kemudian menjadi celah yang kerap disalahgunakan.
Beberapa lainnya terkait juga dengan perizinan, pemanfaatan lahan atau penyelenggaraan aset daerah. Bahkan, ditemukan juga korupsi yang menyangkut institusi yudikatif seperti kasus korupsi terkait sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Tak ayal, ancaman korupsi ini perlu untuk dimitigasi. Studi sebelumnya dari Fiorino pada 2012 dan Albarnoz pada 2013 menunjukkan bahwa potensi korupsi dari proses desentralisasi fiskal bisa saja diminimalisir dengan peran aktif masyarakat yang terus mengawal dan mengawasi kinerja pemerintah daerahnya.
Maka, di sinilah pentingnya peran kontrol dari publik yang tentunya hanya bisa dicapai dengan pemerintah yang tidak takut untuk bekerja secara transparan.
Hal lain yang tidak mungkin tidak dibahas terkait dengan DOB Papua ialah soal dana otonomi khusus yang nantinya akan mengalir ke wilayah-wilayah baru.
Selain rawan diselewengkan oleh oknum pejabat daerah, diperlukan perencanaan yang serius agar bisa dimanfaatkan secara sebaik-baiknya untuk kepentingan publik. Apalagi, Papua menjadi salah satu provinsi yang disuplai dengan dana otonomi khusus yang tak sedikit tiap tahunnya.
Sayangnya, sampai sesaat sebelum dimekarkan, pemanfaatan dana otonomi khusus ini belum dirasa maksimal. Dari matriks pembangunan dan kesejahteraan mana pun, termasuk IPM, harapan hidup hingga pengangguran, Papua dan Papua Barat menjadi provinsi yang relatif tertinggal dibandingkan dengan 32 provinsi lainnya.
DOKUMENTASI HENDRIK R
Aksi unjuk rasa penolakan kebijakan daerah otonom baru untuk Provinsi Papua di Kota Jayapura, Selasa (10/5/2022).
Padahal, dana yang digelontorkan dari pemerintah pusat juga tidak bisa dibilang sedikit. Jika dirata-rata, tiap tahunnya dana otsus yang diberikan pusat meningkat sekitar 9 persen.
Pada 2022 saja, pemerintah telah menganggarkan lebih dari Rp 8 triliun dana otsus untuk Papua Barat dan Papua. Dana ini masih belum termasuk transfer dana lain seperti dana tambahan infrastruktur sebesar lebih dari Rp 4 triliun bagi kedua provinsi tersebut.
Nilai transfer yang terus membesar dan pembangunan wilayah dan manusia yang cenderung stagnan bisa menjadi indikasi bahwa dana otsus sebetulnya belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan, dana yang bertujuan untuk mendorong pembangunan ini justru membuat kedua daerah ini bak kecanduan bantuan pemerintah pusat.
Pasalnya, temuan dari Kementerian PPN/Bappenas menunjukkan bahwa dana otsus mengambil porsi sekitar separuh dari pendapatan daerah. Artinya, dana yang diberikan belum bisa memantik geliat perekonomian di kedua dearah ini. Kenyataannya, baik Papua dan Papua Barat masih belum bisa berdikari dan sangat bergantung dengan suntikan dana dari pemerintah pusat.
Bersamaan dengan bertambahnya pemerintah provinsi, besar kemungkinan jatah dana khusus ini pun akan makin membengkak. Apabila hal ini terjadi, beban APBN untuk menanggung hak otonomi khusus ini juga pasti semakin berat. Tak ayal, pemekaran wilayah ini harus dijadikan momentum untuk dapat memperbaiki pola ketergantungan yang sebelumnya terjadi di Papua dan Papua Barat.
Karena pada akhirnya, pemekaran wilayah harus didasari dan dijalankan untuk sebaik-baiknya kepentingan warga Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan. Jangan sampai, keputusan yang beresiko tinggi ini akhirnya hanya dijadikan ajang bagi para elit lokal untuk berebut jatah kursi kekuasaan dan akses ke dana otonomi khusus saja.(LITBANG KOMPAS)