Demokrat Sebut Penjegalan terhadap Anies, Penjegalan Pula terhadap AHY
Partai Demokrat mengaku mendapat informasi ada upaya pihak-pihak tertentu yang mengatur Pemilu 2024 agar hanya dua pasang capres-cawapres. Pernyataan tersebut mendapat respons keras dari petinggi PDI-P.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) menerima kunjungan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (6/5/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrat menyebutkan ada pihak-pihak yang disebut dengan the invisible hand atau tangan tak terlihat yang ingin menjegal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar tidak bisa maju ke Pemilihan Presiden 2024. Penjegalan terhadap Anies ini dianggap pula sebagai penjegalan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Sebelumnya, Kamis (15/9/2022), dalam Rapat Pimpinan Nasional Demokrat di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan harus ”turun gunung” menghadapi Pemilu 2024. Sebab, Yudhoyono mendengar dan mengetahui informasi bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bakal diselenggarakan secara tidak jujur dan tidak adil.
”Konon akan diatur dalam pemilihan presiden nanti yang hanya diinginkan oleh mereka, dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki oleh mereka. Informasinya, Demokrat sebagai oposisi jangan harap bisa mengajukan capres-cawapresnya sendiri bersama koalisi tentunya,” ujar Yudhoyono, sebagaimana terungkap dalam sebuah video yang diunggah oleh akun Tiktok @pdemokrat.sumut.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (18/9/2022), mengatakan, hal itu sebenarnya merupakan pesan moral dari Yudhoyono sebagai tokoh bangsa dan negarawan. Demokrat, lanjutnya, memang mendapat informasi bahwa ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengatur Pemilu 2024 sebagaimana disampaikan Yudhoyono.
”Tetapi, sebagai negarawan, sebagai tokoh bangsa, mantan presiden, beliau beri pesan moral, jangan sampai hal semacam itu terjadi karena itu merusak demokrasi sehingga, ya, mudah-mudahan dengan adanya pernyataan sedemikian ini, mereka-mereka itu mengurungkan niatnya,” ujar Andi.
Baca juga: Optimisme Partai Demokrat Bergaung dari Sudut Senayan

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) mencium tangan presiden keenam RI yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono seusai memberikan pidato politik saat Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Jakarta, Jumat (16/9/2022).
Andi kemudian menyinggung pemilu di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan era pemerintahan Presiden Yudhoyono. Di zaman Presiden Megawati, tidak ada upaya untuk menjegal calon presiden (capres) atau calon waki presiden (cawapres) tertentu agar tidak bisa maju di kontestasi pilpres. Bahkan di zaman itu, yakni tahun 2004, terdapat lima pasangan capres-cawapres.
Kemudian, di zaman Presiden Yudhoyono, yakni tahun 2009, terdapat tiga pasangan capres-cawapres. ”Nah, alangkah baiknya juga, pada 2024, tidak perlu ada yang berusaha mengatur-atur, menjegal-jegal, atau membatas-batasi pasangan yang ini dan yang itu. Tidak boleh. Kami ini, kan, partai oposisi, cuma dua, Demokrat dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), biarlah rakyat yang menentukan. Siapa saja yang mau jadi capres-cawapres, tidak perlu dihalang-halangi, dan biarkan rakyat diberikan pilihan-pilihan. Monggo (silakan) dipilih. Kan, tidak ada masalah,” tutur Andi.
Apalagi, lanjut Andi, Demokrat juga mendapatkan informasi bahwa upaya penjegalan itu dispesifikkan kepada tokoh tertentu, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Penjegalan dimaksudkan agar Anies tidak bisa maju sebagai capres di Pilpres 2024 mendatang. Namun, ia enggan mengungkapkan siapa pihak yang ingin menjegal Anies tersebut.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbicara dalam diskusi yang mengusung topik bahasan "Will, Wit, and Wisdom : Lessons for the Future Leaders" dalam Kompasfest 2022 Presented by BNI di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Jumat (19/8/2022).
”Oh iya, kami ada informasi. Adanya ‘the invisible hand’. Karena itu, Pak SBY (Yudhoyono) merasa perlu untuk mengingatkan. Kita tidak perlulah jegal-menjegal. Biarlah rakyat yang menentukan. Kalau Mas Anies bisa maju, janganlah dijegal, begitu juga Mas AHY (Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono), begitu juga yang lain, Mas Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Mbak Puan Maharani (Ketua DPR),” ujar Andi.
Ia melihat penjegalan terhadap tokoh tertentu ini tidak elok secara etika politik. Sebab, rakyat seharusnya bisa mendapatkan pilihan-pilihan yang beragam demi kepentingan bangsa. ”Kalau PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), kan, sudah jelas bisa jalan sendiri. Kalau kami, kan, perlu cari koalisi. Jadi, jangan lalu dipaksakan hanya boleh dua pasangan,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Renanda Bachtar mengatakan, sebenarnya apa yang disampaikan Yudhoyono di Rapimnas beberapa hari lalu merupakan diskursus bagi internal partai, bukan pernyataan yang ditujukan untuk publik. Partai juga tidak mengundang media saat penyampaian pidato oleh Yuhdoyono tersebut.
”Jadi, saya tidak dalam kapasitas untuk mengembangkan hal tersebut. Semoga dapat dimaklumi,” ujar Renanda.

Renanda Bachtar
Namun, saat ditanyakan apakah benar upaya menjegal Anies ini sama artinya menjegal Agus dalam Pilpres 2024 mendatang karena Demokrat sudah berkeinginan menduetkan Anies dan Agus sebagai pasangan capres-cawapres, Renanda hanya menjawab, ”Ya, kira-kira begitulah,” ucapnya.
Baca juga: Pasang Surut Partai Demokrat, 21 Tahun Menjaga Eksistensi
Jangan play victim
Dalam konferensi pers, Minggu siang, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan, baik partainya maupun Presiden Joko Widodo tidak pernah berupaya untuk menjegal tokoh tertentu untuk maju di Pilpres 2024 mendatang. Menurut dia, apabila Anies ingin maju sebagai capres atau cawapres, itu merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
”Jadi, sebaiknya kita tidak perlu prejudice, kalau Pak Anies mau maju, itu juga sebagai hak konstitusional warga negara, hanya saja rakyat tentu ingin tahu prestasinya, demikian pula calon-calon yang lain,” ujar Hasto.
Hasto juga mengingatkan bahwa ketika seseorang tidak mendapatkan dukungan dari partai politik, janganlah kemudian dikatakan sebagai sebuah penjegalan. ”Jadi, apa yang disampaikan Pak SBY sebenarnya menunjukkan kekhawatiran beliau kalau ada dua pasangan calon kemudian Pak AHY enggak bisa masuk (kontestasi Pilpres 2024) sehingga dikatakan itu instrumen penjagalan. Itu, kan, yang harus diluruskan,” tuturnya.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto
Menurut Hasto, itu kekhawatiran yang sangat berlebihan dan berbahaya karena Yudhoyono menggunakan suatu instrumen, yakni bisa tidaknya maju calon dari Demokrat, sebagai indikator adanya kecurangan atau tidak di Pemilu 2024. Padahal, maju atau tidaknya seorang calon itu harus melalui dukungan partai atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat 25 persen dari suara sah secara nasional dan 20 persen kursi di DPR.
”Jadi kalau tidak bisa maju karena tidak memenuhi ketentuan itu, jangan dimaknakan itu sebagai bentuk penjegalan. Tidak ada (penjegalan),” ucap Hasto.
Hasto justru mengungkapkan fakta sebaliknya, yakni PDI-P kerap berusaha dijegal, termasuk pada saat Yudhoyono berkuasa dan menjabat presiden pada tahun 2009. Pada 2009, sebenarnya elite PDI-P dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali sudah merencanakan untuk berkoalisi sehingga memenuhi syarat-syarat presidential threshold. Namun, di putaran terakhir, ada penjegalan sehingga pada akhirnya PDI-P bekerja sama dengan Partai Gerindra.
Kemudian, pada 2019, PDI-P pernah membuka diri untuk bekerja sama dengan Demokrat jelang periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Pada saat itu, muncul wacana Demokrat ingin bergabung dengan pemerintah. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pun tak menolaknya. Bahkan, kesediaan PDI-P itu sudah disampaikan langsung oleh Hasto kepada ipar Yudhoyono, Agus Hermanto.
”Nah, lalu diadakanlah lobi-lobi. Pak SBY, kan, memainkan lobi ke Gerindra, ke tempat Pak Jokowi, dan kemudian tidak mengambil-mengambil keputusan. Tiba-tiba, Pak SBY berpidato bahwa di dalam kerja sama itu tidak bisa bergabung karena ada salah satu ketum yang keberatan. Nah, itu langsung saya bantah,” kata Hasto.

Presiden Joko Widodo dan para ketua umum partai politik pengusung Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019.
Kemudian, pada malam hari jelang pendaftaran ke KPU terkait capres-cawapres 2019, Hasto mendapatkan informasi bahwa Demokrat akan bergabung. Hasto juga langsung menggelar rapat dengan para sekjen parpol lainnya. Namun, ternyata, semua menolak Demokrat untuk bergabung.
”Akhirnya, penawaran terakhir itu kami tolak sehingga sebenarnya tidak gabungnya Demokrat, tidak ada penjegalan, tetapi itu karena strategi yang salah. Jadi untuk informasi jegal-menjegal, itu, kan, bagian dari strategi ‘playing the victim’. Tetapi, strategi itu, kan, sudah kuno. Kami enggak perlu diskenario menjadi victim-lah untuk menaikkan elektoral,” ucap Hasto.
Hasto menyampaikan, apabila Yudhoyono menemukan ada indikasi kecurangan dalam Pemilu 2024, seyogianya hal tersebut ditempuh melalui jalur hukum. Dengan demikian, pernyataan politik yang disampaikan tidak justru menciptakan kegaduhan politik yang baru. ”Itu semua akan fair kalau itu semua dilakukan melalui jalur hukum, daripada membuat pernyataan politik yang cenderung memfitnah bapak Presiden Jokowi,” katanya.